Bharata Online - Pembukaan resmi Pusat Kebudayaan Tiongkok di Kuwait pada 12 Oktober 2025 tampak sederhana di permukaan, sebuah acara penuh warna dengan musik rakyat, seni ukir kertas, dan budaya panda yang menarik perhatian publik.
Namun di balik kemeriahan itu, berdiri makna geopolitik yang jauh lebih besar. Inilah representasi dari bagaimana Tiongkok menata pengaruh globalnya dengan cara yang jauh lebih halus dan efektif dibandingkan strategi lama Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat.
Di kawasan Teluk, yang selama beberapa dekade menjadi panggung dominasi ekonomi dan militer Barat, Tiongkok kini menanamkan pengaruhnya melalui kebudayaan, pendidikan, dan hubungan antarmasyarakat. Dengan langkah strategis ini, Beijing tidak hanya memperkenalkan nilai-nilai peradabannya, tetapi juga membangun basis kepercayaan dan kedekatan emosional yang tidak mampu diciptakan oleh kekuatan Barat melalui intervensi politik dan militer.
Upacara peresmian itu dihadiri oleh lebih dari seratus tokoh penting, termasuk keluarga kerajaan Sabah, pejabat tinggi Kuwait, serta diplomat dari berbagai negara. Fakta bahwa kalangan elit Kuwait hadir secara langsung menunjukkan pengakuan terhadap Tiongkok sebagai mitra budaya dan strategis yang setara. Liu Xiang, Kuasa Usaha Kedutaan Besar Tiongkok di Kuwait, menyebut pusat ini sebagai simbol persahabatan dua bangsa dan platform penting bagi pertukaran budaya.
Bagi Tiongkok, pernyataan ini bukan basa-basi diplomatik, melainkan implementasi konkret dari visi “Komunitas dengan Masa Depan Bersama bagi Umat Manusia”, sebuah gagasan bahwa hubungan antarnegara harus didasarkan pada saling menghormati, kesetaraan, dan kerja sama, bukan pada dominasi dan subordinasi seperti yang selama ini diterapkan Barat dalam hubungan internasional.
Dalam kacamata teori hubungan internasional, langkah Tiongkok ini menunjukkan kombinasi strategi realis dan kekuatan lunak (soft power) yang elegan. Secara realis, Tiongkok memahami betul bahwa kawasan Teluk adalah jantung energi dunia dan wilayah penting bagi stabilitas perdagangan global. Dengan menjalin hubungan budaya dan sosial yang erat, Beijing membangun fondasi politik yang memungkinkan kerja sama ekonomi berjalan lebih stabil.
Namun yang membedakan Tiongkok dari Barat adalah cara pendekatannya yang mana Tiongkok tidak menekan, tidak memaksa, dan tidak mengintervensi kebijakan domestik negara lain. Pendekatan ini jauh lebih diterima oleh negara-negara Timur Tengah yang sudah lama jenuh terhadap gaya “hegemonik” Washington yang sering menyertai bantuan ekonomi dengan syarat politik dan ideologis.
Lebih dalam lagi, pendekatan Tiongkok juga merupakan implementasi nyata dari soft power yang efektif. Berbeda dengan propaganda politik Barat yang sering diselimuti oleh narasi demokrasi liberal dan “hak asasi” versi mereka, Tiongkok menawarkan sesuatu yang lebih substansial yakni saling belajar antarperadaban.
Melalui pameran seni, pertunjukan musik rakyat, dan kegiatan kebudayaan lainnya, Tiongkok menampilkan kekayaan sejarah dan filosofi Timur yang berakar pada harmoni dan keseimbangan. Konsep ini sangat resonan bagi masyarakat Timur Tengah yang memiliki tradisi spiritualitas mendalam. Di sinilah keunggulan Tiongkok, ia tidak datang untuk mengubah budaya setempat, tetapi untuk mempertemukan nilai-nilai bersama yang menekankan kedamaian, kerja keras, dan saling menghormati.
Dalam perspektif konstruktivis, pusat kebudayaan ini adalah instrumen pembentukan makna baru dalam hubungan internasional. Tiongkok tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga “infrastruktur makna” sebagai suatu proses di mana nilai-nilai Tiongkok, seperti inklusivitas, kerja sama, dan kedamaian, diterjemahkan dalam interaksi nyata antara rakyat kedua negara.
Direktur Pusat Kebudayaan Tiongkok, Liu Jinhong, menyebut momen peresmian ini sebagai “pertemuan spiritual” antara dua bangsa. Ungkapan ini menggambarkan bahwa hubungan Tiongkok-Kuwait tidak lagi sebatas ekonomi atau diplomasi formal, tetapi telah memasuki ranah peradaban yang lebih dalam seperti pertukaran ide, rasa, dan nilai kemanusiaan. Dari sini lahir bentuk baru hubungan antarnegara yang lebih beradab dan berkelanjutan.
Kuwait sendiri memandang inisiatif ini sebagai peluang berharga. Putri Al-Anoud Ibrahim Al-Sabah, yang hadir dalam upacara itu, menyebut pusat ini sebagai “mercusuar dialog dan jembatan abadi” antara dua budaya yang terikat oleh perdamaian dan persahabatan. Ucapan ini mencerminkan harapan masyarakat Kuwait untuk memperluas hubungan dengan Tiongkok tanpa rasa curiga atau tekanan politik seperti yang sering muncul dalam hubungan dengan negara Barat.
Dalam konteks ini, kehadiran pusat kebudayaan Tiongkok justru memberi ruang bagi Kuwait untuk mempraktikkan politik luar negeri yang lebih independen mengimbangi ketergantungan historis mereka terhadap AS sambil membuka peluang baru dalam perdagangan, teknologi, dan pendidikan bersama Tiongkok.
Selain aspek budaya, pembukaan pusat ini juga memiliki nilai ekonomi dan geopolitik yang signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir, perdagangan Tiongkok-Kuwait terus meningkat, dan Tiongkok kini menjadi salah satu mitra dagang utama Kuwait. Lebih dari itu, inisiatif ini sejalan dengan visi pembangunan “New Kuwait 2035” yang ingin mentransformasikan ekonomi berbasis minyak menjadi ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi.
Tiongkok, dengan pengalaman luar biasa dalam pembangunan infrastruktur, transformasi digital, dan industri teknologi tinggi, adalah mitra ideal bagi Kuwait untuk merealisasikan visi tersebut. Maka, pusat kebudayaan ini tidak hanya memperkenalkan seni dan musik Tiongkok, tetapi juga membuka jalur diplomasi teknologi dan pendidikan yang dapat menghasilkan kolaborasi strategis jangka panjang.
Dari perspektif global, langkah Tiongkok di Kuwait adalah bagian dari strategi besar Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang kini tidak hanya fokus pada konektivitas ekonomi, tetapi juga pada konektivitas peradaban. Melalui jalur budaya seperti ini, Tiongkok memperluas pengaruhnya dengan cara yang damai dan konstruktif berbeda tajam dengan pendekatan geopolitik Barat yang sering menggunakan tekanan militer dan embargo ekonomi.
Di kawasan yang selama ini menjadi arena rivalitas AS dan sekutunya, Tiongkok datang sebagai kekuatan yang menawarkan alternatif kerja sama yang saling menguntungkan tanpa agenda tersembunyi. Inilah yang membuat pendekatan Beijing semakin disambut hangat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat setempat.
Namun, keunggulan strategi Tiongkok tidak berarti tanpa tantangan. AS dan Barat tentu melihat langkah ini sebagai ancaman terhadap dominasi lama mereka di kawasan Teluk. Mereka mungkin merespons dengan retorika “perang pengaruh” atau memperkuat kehadiran militer sebagai penyeimbang.
Akan tetapi, strategi berbasis kekuatan lunak seperti yang dilakukan Tiongkok cenderung lebih efektif karena membangun loyalitas emosional dan kepercayaan jangka panjang. Kekuatan yang tumbuh dari kesadaran kultural jauh lebih tahan lama dibanding kekuasaan yang dipertahankan lewat ancaman dan tekanan.
Apa yang dilakukan Tiongkok di Kuwait hari ini sesungguhnya mencerminkan transformasi mendalam dalam tatanan dunia. Jika abad ke-20 adalah era dominasi Barat yang mengekspor nilai-nilai mereka melalui kekuatan ekonomi dan militer, maka abad ke-21 sedang ditandai oleh kebangkitan Timur yang menawarkan paradigma baru yakni harmoni antarperadaban.
Dengan cara yang tenang namun sistematis, Tiongkok membangun jaringan pengaruh global melalui kerja sama budaya, pendidikan, dan teknologi yang saling menguntungkan. Pusat Kebudayaan Tiongkok di Kuwait adalah salah satu simpul dari jaringan besar itu, sebuah simbol bahwa kekuatan tidak selalu harus hadir dalam bentuk pangkalan militer, tetapi juga dapat tumbuh melalui galeri seni, panggung musik, dan ruang belajar bersama.
Pada akhirnya, upacara peresmian itu bukan sekadar pembukaan sebuah gedung, tetapi tonggak sejarah dalam hubungan antarbangsa. Ia menandai pergeseran besar dalam dinamika kekuasaan global dari dominasi unipolar Barat menuju keseimbangan multipolar yang lebih inklusif dan manusiawi.
Melalui diplomasi kebudayaan yang lembut namun strategis, Tiongkok menunjukkan kepada dunia bahwa menjadi kuat tidak berarti menindas melainkan mampu menyatukan. Dari Kuwait, pesan ini bergema ke seluruh dunia bahwa peradaban besar tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi, tetapi oleh kemampuan membangun jembatan hati antarbangsa. Dan dalam hal itu, Tiongkok kini berada di barisan terdepan.