Film sejarah Tiongkok terbaru berjudul Evil Unbound yang resmi dirilis secara nasional pada 18 September 2025, sekaligus diputar perdana sehari sebelumnya di Harbin, bukanlah sekadar tontonan hiburan atau drama sejarah. Film ini merupakan karya seni yang sarat muatan politik, kultural, sekaligus ilmiah, karena mengangkat kembali salah satu bab tergelap dalam sejarah modern Asia Timur.
Siapakah mereka? Yaitu kekejaman Unit 731, pasukan perang biologis Jepang yang beroperasi pada masa Perang Dunia II. Dalam banyak hal, Evil Unbound tidak hanya menghadirkan ulang kisah penderitaan yang menimpa rakyat Tiongkok, melainkan juga memposisikan film sebagai instrumen diplomasi budaya, alat pendidikan sejarah, serta senjata naratif dalam kompetisi global memperebutkan kebenaran dan memori kolektif.
Unit 731 dikenal sebagai lembaga penelitian rahasia Jepang di distrik Pingfang, Harbin, yang sejak 1936 hingga 1945 menjalankan berbagai eksperimen manusia tanpa perikemanusiaan. Di balik kedok penelitian kesehatan, unit ini melakukan uji coba senjata biologis, menyebarkan penyakit menular ke desa-desa, serta melakukan eksperimen medis brutal seperti pembekuan tubuh manusia, paparan gas beracun, hingga pembedahan tanpa anestesi.
Catatan sejarah menunjukkan setidaknya 3.000 orang menjadi korban eksperimen langsung, sementara lebih dari 300.000 orang tewas akibat penyebaran senjata biologis yang dikembangkan unit tersebut. Fakta-fakta kelam inilah yang menjadi inti cerita Evil Unbound.
Film ini tidak hanya menampilkan adegan dramatis, melainkan didukung bukti autentik berupa arsip, gambar, rekaman suara, serta catatan resmi yang dikurasi dari museum dan pusat penelitian sejarah. Dengan demikian, film ini menempati posisi unik yang tidak hanya sebuah karya seni, tetapi juga bentuk rekonstruksi sejarah berbasis bukti.
Sejak hari pertama penayangannya, Evil Unbound mendapat sambutan luar biasa. Box office domestik dengan cepat melampaui angka 200 juta yuan (sekitar 466 miliar rupiah), dan secara global melampaui 1,2 miliar yuan (sekitar 2,8 triliun rupiah) hanya dalam hitungan hari. Film ini diputar serentak di Tiongkok daratan, Hong Kong, Makau, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, hingga Eropa.
Di Hong Kong, film ini langsung menjadi karya terlaris pada hari pembukaan, menarik ribuan penonton di ratusan pemutaran. Di Amerika Serikat, penonton menggambarkan film ini sebagai “sangat kuat” dan “emosional”.
Di Kanada, komunitas diaspora Tiongkok menontonnya bersama-sama, menjadikannya ruang pertemuan antara ingatan sejarah dan rasa kebangsaan di perantauan. Fenomena ini menandai bahwa Evil Unbound tidak hanya sebuah film lokal, tetapi juga produk budaya global yang mengguncang ruang publik lintas batas.
Dari perspektif teori hubungan internasional, film ini bisa dianalisis dengan berbagai pendekatan. Pertama, konstruktivisme memandang Evil Unbound sebagai produksi identitas. Melalui narasi visual, film ini mengingatkan rakyat Tiongkok bahwa mereka pernah menjadi korban imperialisme dan kekejaman perang biologis. Ingatan kolektif semacam ini tidak hadir begitu saja, melainkan dibentuk secara aktif oleh negara, institusi budaya, dan media.
Dengan menghadirkan korban dan penderitaan, film ini membangun identitas Tiongkok sebagai bangsa yang pernah diperlakukan tidak manusiawi, dan karena itu kini harus kuat, bersatu, dan tidak lagi membiarkan diri dipermalukan.
Ini sejalan dengan proyek “peremajaan bangsa” (national rejuvenation) yang menjadi visi besar pemerintahan Xi Jinping. Ingatan masa lalu dipakai untuk menegaskan pentingnya kedaulatan, keamanan, dan ketahanan nasional di era kontemporer.
Kedua, realisme memberikan dimensi yang lebih keras. Film ini bisa dibaca sebagai cara mengingatkan publik bahwa dunia internasional adalah arena konflik dan ancaman. Dengan menegaskan bahwa Tiongkok pernah menjadi korban perang biologis, narasi ini secara tidak langsung membenarkan kebijakan pertahanan yang kuat dan modernisasi militer yang gencar dilakukan Beijing.
Dari perspektif realistis, sejarah penderitaan digunakan untuk membangun legitimasi politik bahwa rakyat akan menerima perlunya anggaran militer besar, teknologi pertahanan mutakhir, dan kebijakan luar negeri yang tegas jika mereka yakin bahwa ancaman dari luar adalah nyata dan berulang.
Dalam konteks hubungan Tiongkok-Jepang yang hingga kini masih sarat ketegangan, Evil Unbound dapat memperkuat memori kolektif yang menjadikan Jepang sebagai “yang lain” dalam narasi nasionalisme Tiongkok.
Namun, jika dilihat melalui lensa liberalisme dan norma internasional, film ini juga memiliki potensi positif. Pengakuan atas luka sejarah dapat menjadi pintu masuk bagi rekonsiliasi internasional dan penguatan norma global melawan kejahatan perang.
Film seperti Evil Unbound dapat mendukung implementasi Konvensi Senjata Biologis (Biological Weapons Convention) dengan meningkatkan kesadaran publik bahwa senjata semacam itu pernah digunakan dan menimbulkan penderitaan luar biasa.
Kesadaran global semacam ini sangat penting di tengah perkembangan teknologi biologi modern yang membuka kemungkinan penyalahgunaan baru. Dengan kata lain, film ini bisa menjadi alarm moral sekaligus instrumen edukasi internasional.
Selain dimensi teoritis, kita juga perlu melihat konteks politik budaya domestik. Evil Unbound dirilis bertepatan dengan peringatan 94 tahun Insiden 18 September 1931, yang menandai awal invasi Jepang ke Tiongkok, serta 80 tahun kemenangan Tiongkok dalam Perang Perlawanan Melawan Agresi Jepang sekaligus Perang Anti-Fasis Dunia.
Pemilihan tanggal rilis bukan kebetulan, melainkan bagian dari strategi simbolik untuk mengaitkan sejarah dengan identitas nasional kontemporer. Pemerintah Tiongkok melalui industri filmnya menggunakan karya ini untuk memperkuat narasi patriotisme, menanamkan kesadaran sejarah pada generasi muda, dan membangun solidaritas nasional.
Hal ini sejalan dengan teori memori kolektif Maurice Halbwachs yang menegaskan bahwa ingatan sosial diproduksi melalui ritual, simbol, narasi bersama, dan pengalaman emosional, yang semuanya membantu kelompok membentuk dan menegaskan identitas kolektif mereka di masa kini, dan bukan sekadar menyimpan masa lalu.
Tanggapan publik memperlihatkan betapa dalam dampak emosional film ini. Mahasiswa Tiongkok mengaku menangis saat menontonnya, merasa seolah menghadapi langsung penderitaan bangsanya di masa lalu. Penonton di Hong Kong menyatakan bahwa film ini membuat mereka lebih menghargai perdamaian.
Sementara itu, diaspora Tiongkok di Kanada menyebut film ini sebagai pengingat bahwa kekuatan negara saat ini adalah jaminan agar tragedi tidak terulang. Reaksi ini menunjukkan bagaimana karya seni dapat menghubungkan masa lalu dengan identitas masa kini, membangun ikatan emosional antara individu dengan sejarah kolektif bangsanya.
Namun, ada juga sisi problematis. Jika memori sejarah digunakan secara eksklusif untuk memperkuat antagonisme politik, maka hasilnya justru memperpanjang luka dan permusuhan. Risiko politisasi sejarah selalu ada, terutama bila film semacam ini digunakan sebagai alat propaganda yang menutup ruang dialog dengan pihak lain.
Sejarah seharusnya menjadi ruang refleksi bersama, bukan sekadar instrumen politik. Karena itu, penting agar karya seperti Evil Unbound juga dipakai dalam konteks pendidikan, diskusi publik, dan penelitian akademik lintas negara. Dengan cara ini, film tidak hanya mengingatkan kita akan masa lalu, tetapi juga membuka jalan bagi rekonsiliasi dan kerja sama internasional.
Implikasi global dari film ini tidak bisa diabaikan. Di tengah ketegangan geopolitik kontemporer, terutama antara Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat, Evil Unbound berfungsi sebagai pengingat keras bahwa perang biologis pernah nyata, menimbulkan penderitaan masif, dan meninggalkan luka sejarah yang belum sepenuhnya pulih.
Dengan menampilkan kebenaran kelam ini ke panggung internasional, Tiongkok sekaligus menegaskan posisinya sebagai bangsa yang tidak hanya berperan sebagai kekuatan ekonomi dan militer, tetapi juga sebagai “penjaga kebenaran sejarah”. Narasi ini bisa memperkuat soft power Tiongkok, sekaligus memperluas pengaruhnya di ruang publik global.
Pada akhirnya, Evil Unbound mengajarkan dua hal mendasar. Pertama, sejarah kelam harus terus diingat bukan untuk menumbuhkan kebencian yang tak berujung, melainkan untuk membangun mekanisme pencegahan agar kejahatan serupa tidak pernah terulang.
Kedua, seni memiliki kekuatan unik untuk menyatukan fakta, emosi, dan moralitas dalam satu narasi yang kuat. Dengan capaian box office masif, sambutan luas dari berbagai negara, dan dampak emosional yang mendalam, film ini membuktikan bahwa ingatan sejarah bila dipadukan dengan kekuatan budaya dapat menjadi instrumen politik internasional yang berpengaruh.
Dalam dunia yang masih rawan konflik, pesan film ini sederhana namun penting bahwa perdamaian adalah hasil dari pengorbanan besar, dan menjaga perdamaian berarti mengingat masa lalu dengan jujur sekaligus membangun masa depan dengan tekad untuk tidak mengulanginya.