Bharata Online - Masalah Palestina kembali menempati panggung utama politik global, bukan hanya karena tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Gaza, tetapi juga karena dinamika diplomasi internasional yang memperlihatkan pergeseran orientasi negara-negara besar maupun menengah.
Pernyataan Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 23 September lalu, menegaskan konflik Palestina bukan sekadar isu lokal, melainkan titik sentral yang mengganggu stabilitas regional, memperburuk keamanan global, dan menekan prospek ekonomi dunia.
Wakil Tetap Tiongkok untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Geng Shuang, menekankan bahwa penderitaan rakyat Palestina akibat blokade dan serangan militer Israel telah menimbulkan efek domino ke Lebanon, Suriah, Yaman, hingga Iran, bahkan ke negara yang relatif netral seperti Qatar.
Dengan bahasa lugas, ia menyampaikan bahwa solusi militer tidak akan pernah menyelesaikan akar masalah, dan satu-satunya jalan keluar adalah gencatan senjata segera, penghentian agresi Israel, serta implementasi solusi politik yang adil dan abadi.
Sementara itu, Pidato Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang di sidang umum Perseriktan Bangsa-Bangsa pada 26 September lalu juga menyiratkan strategi diplomatik Tiongkok yang ingin menegaskan peran globalnya dalam “membangun dunia baru yang adil” dan menyerukan penguatan sistem multilateral serta otoritas Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Meskipun dalam teks pidato itu Li tidak secara eksplisit menyebut Palestina dalam bagian inti yang tersedia, namun retorika anti‑hegemoni, kritik terhadap unilateralisme, dan dorongan agar masalah dunia diselesaikan melalui aturan kolektif adalah kerangka wacana yang jelas berpihak pada mereka yang memprotes dominasi militer dan tindakan sepihak termasuk perjuangan Palestina.
Dengan demikian, pidato tersebut secara implisit mendukung posisi Tiongkok yang selama ini menuntut penghentian operasi militer Israel dan memperkuat legitimasi Palestina sebagai subjek dalam sistem politik internasional.
Jika dilihat dari perspektif teori hubungan internasional, posisi Tiongkok merepresentasikan kombinasi realisme dan konstruktivisme. Dari sisi realisme, Beijing menyadari bahwa instabilitas di Timur Tengah mengancam kepentingan energinya, rantai pasok global, dan stabilitas harga komoditas internasional.
Itulah sebabnya Tiongkok mendorong penghentian konflik agar risiko terhadap ekonomi global dapat ditekan. Namun dari sisi konstruktivisme, Tiongkok memproyeksikan citra moral sebagai kekuatan dunia yang berpihak pada keadilan global dan aspirasi rakyat Palestina.
Ini sekaligus menjadi strategi soft power yang memperkuat kepemimpinan Tiongkok di antara negara-negara Global South. Makanya, dengan bergabung dan menyatakan dukungan pada Deklarasi New York, Tiongkok menunjukkan konsistensi bahwa Palestina bukan hanya isu pragmatisme jangka pendek, tetapi juga prinsip moral internasional.
Selain itu, kegagalan Dewan Keamanan Perserikatn Bangsa-Bangsa untuk meloloskan resolusi gencatan senjata akibat veto negara anggota tetap menjadi cerminan klasik dari logika realis, bahwa kepentingan strategis negara besar lebih dominan daripada norma internasional.
Hal ini menegaskan keterbatasan Perserikatn Bangsa-Bangsa sebagai institusi multilateral ketika menghadapi konflik yang menyangkut sekutu utama negara veto, khususnya Amerika Serikat terhadap Israel. Kondisi ini memperkuat desakan reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya mekanisme veto yang kerap menghambat penyelesaian konflik.
Namun, pendekatan liberalisme institusional tetap menunjukkan bahwa diplomasi multilateral masih berjalan melalui forum lain, seperti konferensi tingkat tinggi, deklarasi kolektif, serta peran negara-negara menengah.
Konferensi internasional yang digagas Prancis dan Arab Saudi beberapa bulan lalu, dan partisipasi aktif Indonesia setidaknya membuktikan adanya arsitektur alternatif yang berupaya menjaga relevansi diplomasi global meski terhambat veto.
Hasilnya, muncullah fenomena semakin banyak negara yang beralih mendukung Palestina, bahkan dari kalangan Barat yang selama ini menjadi sekutu kuat Israel. Inggris, Irlandia, Spanyol, hingga Norwegia dan masih banyak lagi telah mengakui Palestina sebagai negara.
Inggris, yang memiliki sejarah kolonial dalam pembentukan Israel modern, kini mencoba menebus “tanggung jawab sejarahnya” melalui pengakuan tersebut. Langkah ini menandai bahwa pengakuan Palestina tidak lagi menjadi tabu bagi negara-negara G7, sekaligus membuka jalan bagi diplomasi baru yang lebih setara.
Presiden Mahmoud Abbas menyambutnya sebagai modal politik penting yang memperkuat legitimasi Otoritas Palestina. Jika fenomena ini terus meluas, legitimasi Israel di mata dunia bisa menurun drastis, menciptakan isolasi diplomatik mirip yang dialami Afrika Selatan di era apartheid.
Secara teori konstruktivis, hal ini mencerminkan perubahan norma internasional. Yang mana, ketika norma global mengakui hak Palestina maka Israel menghadapi delegitimasi yang pada akhirnya membatasi ruang geraknya.
Namun, semua pengakuan itu masih berupa simbol yang tentu berbeda dengan realitas kekuasaan. Karena pada faktanya, Israel masih memegang kendali penuh atas wilayah, keamanan, dan akses vital Palestina, sementara Amerika Serikat tetap menjadi pelindung utama Israel di forum internasional.
Dengan kata lain, meski ada gelombang pengakuan internasional, tanpa perubahan sikap Israel dan Amerika Serikat, kemerdekaan Palestina masih jauh. Dukungan internasional harus diikuti implementasi nyata seperti sanksi ekonomi, embargo senjata, atau pemutusan hubungan dagang dengan Israel.
Contoh paling jelas adalah Iran, yang secara kontroversial memberi dukungan langsung berupa logistik dan strategi kepada kelompok perlawanan Palestina. Meski cara ini berbeda dengan dukungan simbolik negara Barat, dampaknya terhadap Israel lebih konkret. Artinya, pengakuan simbolik saja tidak cukup tanpa tindakan nyata.
Dalam dinamika global ini, Tiongkok berpotensi memainkan peran penentu. Berbeda dengan Barat yang condong pada Israel, atau Timur Tengah yang lebih berpihak pada Palestina, Beijing menjaga hubungan baik dengan keduanya.
Secara realistis, Tiongkok punya kepentingan energi dan teknologi dengan Israel, namun juga punya basis moral dengan mendukung Palestina. Prestasi diplomasi Beijing dalam memediasi rekonsiliasi Iran–Arab Saudi menunjukkan kapasitas Tiongkok sebagai mediator efektif.
Jika pendekatan serupa diterapkan di konflik Israel–Palestina, peluang solusi dua negara bisa kembali hidup, meski rintangan dari kubu sayap kanan Israel tetap besar. Sejarah membuktikan, saat Israel dipimpin tokoh terbuka seperti Yitzhak Rabin, jalan menuju perdamaian lebih besar.
Namun, dominasi politik sayap kanan Israel kini menutup peluang itu. Itu artinya, ada potensi besar kemungkinan terciptanya solusi dua Negara jika terdapat perubahan rezim politik di Tel Aviv yang menjadi faktor krusial dalam menentukan nasib Palestina seperti pada masa Yitzhak Rabin.
Sementara itu, proposal 20 poin perdamaian Donald Trump sempat membuka wacana baru. Hamas menanggapi sebagian besar poin dengan sikap positif, termasuk kesiapan membebaskan tawanan Israel dan menyerahkan administrasi Gaza kepada badan teknokrat independen Palestina dengan dukungan negara-negara Arab.
Trump menilai langkah ini membuka jalan menuju perdamaian dan bahkan mendesak Israel menghentikan pengeboman. Namun Israel tetap melanjutkan serangan, menunjukkan betapa dominannya logika militer dibanding solusi politik.
Hamas menolak perlucutan senjata dan penarikan bertahap Israel, menegaskan bahwa pendudukan harus berakhir total. Sikap ini menunjukkan adanya celah diplomasi, tetapi juga ketidakcocokan fundamental antara tuntutan Palestina dan posisi Israel.
Respon positif Hamas bahkan didukung Mesir, Qatar, Turki, hingga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi Israel tetap keras kepala. Inilah bukti bahwa selama Israel dan Amerika Serikat tidak berubah, bahkan proposal 20 poin perdamamain dari presiden Trump sendiri pun sulit dijalankan.
Makanya, Tiongkok meski menyatakan kesiapan mendukung proposal 20 poin perdamaian tersebut, namun penekanannya pada kepemimpinan internal Palestina menunjukkan sikap hati-hati terhadap solusi yang dipaksakan oleh kekuatan besar yang tidak melibatkan rakyat Palestina secara langsung.
Itulah mengapa, Tiongkok tegaskan prinsip “Palestina harus dipimpin oleh Palestina” sebagai respons terhadap kabar bahwa Tony Blair akan memimpin Gaza mencerminkan konsistensi posisi Tiongkok dalam mendukung kedaulatan penuh Palestina dan penolakan terhadap intervensi eksternal bergaya kolonial modern.
Sikap ini sejalan dengan prinsip non-intervensi dan anti-hegemoni dalam kebijakan luar negeri Tiongkok, serta memperkuat posisinya sebagai pendukung solusi dua negara yang adil dan berbasis pada legitimasi lokal, bukan dikendalikan oleh tokoh asing yang berpotensi memperpanjang ketidakpercayaan dan konflik di wilayah tersebut.
Selain itu, data lembaga internasional menyebut tragedi Gaza sebagai bencana kemanusiaan terbesar dua dekade terakhir. Infrastruktur luluh lantak, rumah sakit tak berfungsi, ratusan ribu pengungsi menghadapi kelaparan akut, dan masih banyak lagi.
Seruan Tiongkok agar Israel memenuhi kewajibannya sebagai kekuatan pendudukan adalah refleksi hukum internasional humaniter yang mewajibkan perlindungan warga sipil. Namun fakta di lapangan menunjukkan lemahnya daya paksa hukum internasional tanpa dukungan politik negara besar.
Hasilnya, opini publik pun berbalik dimana demonstrasi besar-besaran terjadi di ibu kota negara-negara Barat, aksi walk-out delegasi terhadap Netanyahu di Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga boikot produk Israel di kampus-kampus Amerika dan Kanada.
Indonesia pun turut memainkan peran penting sebagai middle power. Presiden Prabowo Subianto menegaskan dukungan solusi dua negara, namun juga membuka peluang mengakui Israel jika Palestina terlebih dahulu diakui.
Sikap ini mencerminkan fleksibilitas diplomasi Indonesia untuk menjaga solidaritas dengan Palestina sekaligus pragmatis menghadapi realitas geopolitik. Teori middle power diplomacy menjelaskan bahwa negara menengah seperti Indonesia bisa menjembatani kepentingan Barat dan Dunia Islam.
Pada saat yang sama, mayoritas mutlak anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan lebih dari 150 negara telah mengakui Palestina. Critical mass diplomatik ini sulit diabaikan, namun kemerdekaan Palestina tak hanya butuh pengakuan.
Palestina harus membangun institusi negara yang kredibel, rekonsiliasi internal Hamas–Fatah, jaminan keamanan bagi kedua belah pihak, serta pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Jika syarat ini terpenuhi, dukungan internasional bisa berkembang dari simbolik menjadi konkret.
Meski begitu, faktanya Israel khususnya rezim sayap kanan, bisa mempercepat ekspansi pemukiman ilegal dan menekan diplomasi Palestina. Makanya tekanan global harus lebih tegas, termasuk sanksi nyata. Sejarah apartheid Afrika Selatan menjadi bukti bahwa tekanan konsisten akhirnya meruntuhkan rezim diskriminatif. Artinya, Palestina bisa mengalami hal serupa jika dunia tak berhenti pada simbol saja atau pengakuan semata.
Oleh karena itu, dukungan moral dari Tiongkok, sikap Indonesia, dan gelombang pengakuan Palestina adalah bagian dari mosaik politik global yang sedang bergeser. Palestina kini bukan lagi isu lokal, melainkan ukuran moral dunia.
Jika koalisi baru ini gagal dimanfaatkan, dunia bukan hanya menyaksikan kegagalan diplomasi, melainkan krisis kemanusiaan yang mengguncang stabilitas global. Namun jika berhasil, Palestina bisa menjadi pintu masuk bagi lahirnya tatanan internasional baru yang lebih adil, multipolar, dan benar-benar mencerminkan suara mayoritas umat manusia.