Zhengzhou, Bharata Online - Simposium Edgar Snow ke-20 mempertemukan para akademisi, mahasiswa, dan tamu internasional dari Tiongkok dan Amerika Serikat minggu ini di Kota Zhengzhou, Provinsi Henan, Tiongkok tengah, untuk menghormati warisan jurnalis Amerika yang tulisannya memperkenalkan Tiongkok kepada dunia dan terus menginspirasi persahabatan antar-masyarakat lintas generasi.
Acara tahunan ini menghormati warisan jurnalis Amerika, Edgar Snow, terkait bukunya yang inovatif, "Red Star Over China", yang menawarkan kepada dunia sebuah kisah langka dan langsung tentang Tiongkok di masa ketika negara tersebut sebagian besar disalahpahami oleh Barat.
Pada tahun 1936, ketika Tiongkok terlibat dalam konflik internal dan agresi eksternal, Snow pergi ke markas terpencil Partai Komunis Tiongkok (PKT) di Yan'an, Provinsi Shaanxi, Tiongkok barat laut. Sebagai jurnalis Barat pertama yang memasuki wilayah tersebut, ia melakukan wawancara ekstensif dan dokumentasi yang cermat di sana.
Liputan Snow berpuncak pada "Red Star Over China", saat ia melukiskan gambaran negara yang tangguh dan menjanjikan yang jarang dilihat dunia, dan menantang kesalahpahaman serta prasangka dunia tentang Tiongkok.
"Melalui simposium ini, kita dapat lebih memahami semangat dan gagasan Snow. Apa yang ingin ia sampaikan adalah melampaui batasan, menjembatani budaya, dan menghubungkan hati lintas bangsa," kata Zhang Qianhong, Mantan Wakil Presiden Universitas Zhengzhou.
Dengan buku catatan di tangan dan kejernihan moral di hatinya, Snow membangun jembatan rasa saling menghormati dan pengertian yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Tiongkok dan seluruh dunia yang masih berdiri hingga saat ini.
Tahun ini menandai peringatan 80 tahun kemenangan Perang Anti-Fasis Dunia dan peringatan 120 tahun kelahiran Snow. Kini, semangat yang diwujudkan Snow terus berfungsi sebagai penghubung yang bermakna antarbudaya -- kekuatan abadi untuk saling menghormati di dunia yang semakin kompleks.
Eric Foster, keponakan Snow, mengenang bagaimana paman dan bibinya, Helen Foster Snow, mengabdikan hidup mereka untuk menceritakan kisah Tiongkok secara jujur kepada dunia.
"Baik Edgar maupun Helen mengabdikan hidup mereka untuk Tiongkok melalui tulisan-tulisan mereka. Mereka memiliki cinta yang sangat mendalam, dan kejujuran dalam tulisan-tulisan jurnalistik mereka, menyampaikan kebenaran apa adanya dan jujur tanpa kacamata hitam. Dan menyampaikan kebenaran, inilah hal terbaik yang bisa kita miliki untuk para jurnalis masa depan," kata Foster.
Simposium tersebut juga menampilkan pameran foto yang menelusuri kembali perjalanan Snow di Tiongkok, dari Beijing hingga gua-gua di Yan'an, tempat bukunya lahir.
Bagi banyak peserta, pameran ini menjadi pengingat bahwa Snow bukan hanya seorang jurnalis, tetapi juga seorang pembangun jembatan, seorang pria yang mengubah pengamatan menjadi pemahaman, dan pemahaman menjadi persahabatan.
"Seperti yang diketahui semua orang di Tiongkok, Edgar Snow [sangat] terhubung erat dengan rakyat Tiongkok dan juga membawa informasi tersebut kembali ke AS. Maka, itulah peran kami, itulah misi kami -- untuk terus melakukannya," ujar Sidne Gail Ward, Presiden Yayasan Peringatan Edgar Snow AS.
Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Snow mengunjungi negara itu tiga kali. Ia tetap prihatin terhadap Tiongkok setelah kunjungannya, dan dengan teguh mendukung perjuangan rakyat Tiongkok, menjadikan dirinya sebagai sahabat seumur hidup rakyat Tiongkok.
Semangat ikatan luar biasa Snow dengan Tiongkok masih melekat di perbukitan Yan'an yang bermandikan sinar matahari. Kini, generasi baru pengunjung global menelusuri kembali jejaknya -- melihat Tiongkok bukan melalui kacamata prasangka, melainkan melalui keajaiban penemuan langsung yang jernih.
Di era ketika dunia menghadapi tantangan dan ketidakpastian baru, nilai-nilai yang diperjuangkan Snow -- kebenaran, rasa hormat, dan persahabatan -- terasa lebih relevan dari sebelumnya. Semangat jurnalismenya yang mencari kebenaran masih bergema kuat, mengingatkan orang-orang bahwa pemahaman yang jujur, bukan ideologi, adalah landasan persahabatan antarbangsa.
Selama 20 tahun perjalanannya, simposium ini telah menunjukkan bahwa dialog bukan sekadar pertukaran gagasan, melainkan upaya bersama untuk menjaga hubungan antarmanusia.