Minggu, 13 April 2025 14:7:24 WIB
Jejak Panjang Diplomasi: Rahasia Hubungan 75 Tahun Indonesia dan Tiongkok
Indonesia
OPINI/Muhammad Rizal Rumra

Logo Resmi 75 Tahun Hubungan Indonesia-Tiongkok
Pada tahun 2025, Republik Indonesia (RI) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merayakan 75 tahun hubungan diplomatik yang telah berkembang pesat dalam berbagai bidang. Sejak penandatanganan perjanjian persahabatan pada 13 April 1950, hubungan kedua negara mengalami berbagai fase yang mencerminkan dinamika politik dan ekonomi regional.
Hubungan bilateral keduanya telah menjadi salah satu relasi strategis yang memainkan peran penting di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Meskipun sejarah panjang hubungan kedua negara telah mengalami pasang surut, mulai dari kerja sama hangat di era awal kemerdekaan, hingga pembekuan hubungan diplomatik selama lebih dari dua dekade, sebelum akhirnya menguat kembali pada era reformasi.
Namun kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, hubungan IndonesiaTiongkok memasuki fase baru dengan penekanan pada stabilitas geopolitik, kemitraan ekonomi, serta diplomasi strategis yang lebih terukur. Lantas bagaimana sejarah dinamika hubungan bilateral kedua negara? Apa yang bisa dipelajari dari sejarah tersebut?.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Tiongkok termasuk negara awal yang mengakui kedaulatan Indonesia secara resmi, yakni pada tahun 1950. Hubungan kedua negara di masa itu cukup harmonis, didasari oleh semangat solidaritas antara negara-negara Asia yang baru merdeka serta semangat anti-kolonialisme.
Presiden Soekarno dan pemimpin Tiongkok Mao Zedong menjalin kedekatan ideologis yang kuat, terutama dalam konteks Gerakan Non-Blok dan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, yang menjadi tonggak sejarah hubungan Selatan-Selatan.
Namun, kerjasama ini tidak lepas dari dinamika politik domestik. Keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kedekatannya dengan Beijing menimbulkan kecurigaan dalam negeri, terutama dari kalangan militer dan kelompok Islam konservatif.
Ketegangan pun akhirnya memuncak setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 yang dituduhkan pada PKI. Tiongkok dianggap memberikan simpati terhadap PKI, sehingga menimbulkan kemarahan dari pemerintahan Orde Baru yang mulai naik ke tampuk kekuasaan.
Pada tahun 1967, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok resmi dibekukan. Indonesia menutup Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta, dan selama lebih dari dua dekade tidak ada hubungan diplomatik formal antara kedua negara. Ini merupakan masa pembekuan es dalam hubungan bilateral, meski secara informal masih terdapat kontak ekonomi dan perdagangan terbatas melalui pihak ketiga.
Setelah lebih dari 23 tahun hubungan beku, pada 8 Agustus 1990, Indonesia dan Tiongkok menormalisasi hubungan diplomatik. Hal ini terjadi di tengah perubahan geopolitik global pasca-Perang Dingin dan kebutuhan Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi asing.
Kunjungan balasan Presiden Soeharto ke Tiongkok pada November 1990 menjadi penanda penting dalam upaya pemulihan hubungan yang lebih konstruktif. Tiongkok mulai menjadi mitra dagang yang menjanjikan bagi Indonesia, khususnya dalam ekspor komoditas primer.
Normalisasi hubungan tersebut kemudian secara bertahap membuka hubungan Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) dengan Tiongkok, hingga akhirnya pada 1996 Tiongkok menjadi mitra dialog penuh ASEAN.
Bagi Indonesia, dalam sektor ekonomi, hubungan dengan Tiongkok menjadi sangat penting, terutama setelah negara ini dihantam badai krisis finansial Asia pada tahun 1997. Di lain pihak, era tersebut menjadi saksi perekonomian Tiongkok, pasca reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1978, hingga tinggal landas dengan pertumbuhan ekonomi dua digit tiap tahun.
Setelah kejatuhan Orde Baru dan masuknya Indonesia ke era reformasi, hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok mengalami percepatan yang signifikan. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri berupaya memperkuat kembali kerja sama ekonomi, sosial, dan budaya.
Puncaknya terjadi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana Indonesia dan Tiongkok menandatangani Kemitraan Strategis pada tahun 2005, yang ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada tahun 2013. Kerja sama itu pun akhirnya meluas ke sektor energi, infrastruktur, pendidikan, dan militer.
Setelah itu, dilanjutkan oleh kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo yang sangat pragmatis dan ekonomi-sentris. Dalam konteks ini, Tiongkok menjadi mitra kunci, terutama karena inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) yang sejalan dengan ambisi infrastruktur besar-besaran di Indonesia.
Salah satu proyek monumental adalah kereta cepat Jakarta-Bandung, proyek infrastruktur transportasi modern pertama di Asia Tenggara yang dibiayai oleh Tiongkok. Selain itu, Tiongkok menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan mencapai $112,5 miliar atau sekitar 1,8 kuadriliun rupiah pada tahun 2023. Tiongkok juga menempati posisi kedua sebagai investor asing terbesar di Indonesia, setelah Singapura.
Selanjutnya, dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia pada tahun 2024, banyak pihak menanti arah baru hubungan IndonesiaTiongkok. Latar belakang militer Prabowo dan nasionalismenya memunculkan spekulasi bahwa ia mungkin mengambil pendekatan lebih hati-hati terhadap Tiongkok. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Prabowo memilih pendekatan pragmatis dan melanjutkan kerja sama strategis dengan Beijing.
Kunjungan pertama luar negeri Presiden Prabowo dilakukan ke Tiongkok pada November 2024, menandakan pentingnya posisi Tiongkok dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam pertemuan dengan Presiden Xi Jinping, keduanya menyepakati berbagai proyek kerja sama strategis.
Beberapa hasil penting dari kunjungan tersebut yaitu penandatanganan protokol ekspor kelapa segar ke Tiongkok, kerja sama dalam perikanan tangkap berkelanjutan, penguatan kemitraan ekonomi biru dan eksplorasi sumber daya mineral hijau, kesepakatan pendidikan untuk peningkatan jumlah pelajar Indonesia di Tiongkok, dan masih banyak lagi lainnya.
Presiden Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia melihat Tiongkok sebagai mitra strategis dan "teman berharga untuk masa depan". Pemerintah Indonesia mendorong peningkatan investasi dari Tiongkok, terutama di sektor energi hijau, teknologi, hilirisasi mineral, dan pembangunan kawasan industri. Tiongkok juga berkomitmen untuk investasi tambahan senilai lebih dari $10 miliar atau sekitar 167 triliun rupiah dalam berbagai proyek strategis.
Meskipun hubungan IndonesiaTiongkok terlihat kuat, sejumlah tantangan tetap perlu diantisipasi. Indonesia harus terus menjaga hubungan baik dengan Tiongkok tanpa kehilangan keseimbangan dengan mitra tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan ASEAN.
Tiongkok adalah mitra dagang dan investor besar, namun Indonesia perlu berhati-hati agar tidak terlalu bergantung sehingga mengurangi daya tawarnya secara geopolitik. Di bawah kepemimpinan Prabowo, yang memiliki pendekatan nasionalistik, akan menarik melihat bagaimana investasi asing terutama dari Tiongkok akan diselaraskan dengan kepentingan ekonomi dalam negeri.
Oleh karena itu, sejarah dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok menjadi cerminan dari bagaimana negara berkembang menavigasi dinamika geopolitik dan ekonomi global. Dari masa konfrontasi ideologis hingga menjadi mitra dagang utama, relasi kedua negara telah berevolusi secara signifikan.
Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, arah hubungan bilateral tampaknya akan tetap pragmatis, berfokus pada manfaat ekonomi nasional, namun dengan sensitivitas terhadap isu-isu kedaulatan dan kepentingan strategis jangka panjang.
Tantangan terbesar Indonesia ke depan adalah memastikan bahwa kemitraan dengan Tiongkok tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkontribusi pada kedaulatan, kemakmuran, dan stabilitas nasional.
Komentar
Berita Lainnya
Inflasi September 2022 1,17 Persen, Tertinggi Sejak Desember 2014 Indonesia
Selasa, 4 Oktober 2022 14:34:54 WIB

HUT ke-77 TNI, Jokowi Beri Tanda Kehormatan Bagi Tiga Prajurit TNI Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 10:4:36 WIB

Naik-Turun Bus TransJakarta Wajib Tempel Kartu, Saldo Minimum Rp5.000 Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 10:12:43 WIB

BMKG Minta Warga Waspada Gelombang 2,5 Meter di Empat Wilayah Laut NTT Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 10:33:18 WIB

Presiden Ingatkan TNI untuk Selalu Siap Hadapi Tantangan Geopolitik Global Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 14:31:19 WIB

Mesir Gelar Kegiatan Interaktif Belajar Bahasa Mandarin Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 15:20:17 WIB

Memperkuat Ketahanan Pangan Nasional Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 17:33:33 WIB

Pertemuan P20 di Buka Indonesia
Kamis, 6 Oktober 2022 14:20:55 WIB

Seluruh Biaya Perawatan Korban Kanjuruhan DItanggung Pemkab Malang Indonesia
Kamis, 6 Oktober 2022 14:48:18 WIB

Direktur PT Liga Indonesia Baru Jadi Tersangka Tragedi Kanjuruhan Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 10:59:49 WIB

Kronologi Tragedi Kanjuruhan, 11 Tembakan Gas Air Mata Dilepaskan Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 11:9:42 WIB

Jokowi Minta Dewan Direksi BPJS Ketenagakerjaan Kelola Dana dengan Hati-Hati Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 14:43:21 WIB

Sekjen PBB Prihatin Atas Insiden Penembakan di Thailand Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 15:55:21 WIB

Kirab Kebangsaan Merah Putih di Kota Pekalongan Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 16:3:8 WIB

Mahfud Md Tidak Mempermasalahkan Media Asing Investigasi Tragedi Kanjuruhan Indonesia
Sabtu, 8 Oktober 2022 8:53:51 WIB
