Kamis, 14 Agustus 2025 19:23:12 WIB

Opini: Qujiang Buktikan, Drama Tiongkok Tak Lagi Kalah Bahkan Bisa Unggul dari Drama Korea dan Jepang
Tiongkok

Muhammad Rizal Rumra

banner

Drama Tiongkok dan drama Korea

Distrik Qujiang di Quzhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok Timur, telah muncul sebagai kekuatan baru dalam industri budaya digital global melalui pengembangan industri drama pendek yang sangat pesat dan terintegrasi. Dengan membangun rantai produksi yang komprehensif dan fasilitas modern seperti Meigao Short Drama Super Factory yang mencakup lebih dari 59.000 meter persegi dengan lebih dari 200 latar berbeda, Qujiang tidak hanya menciptakan ekosistem kreatif yang produktif, tetapi juga berhasil menjadikan industri ini sebagai motor penggerak ekonomi lokal.

Buktinya, dengan adanya 27 perusahaan terkait film dan kemitraan dengan tujuh firma produksi terkemuka, Qujiang telah memproduksi total 130 drama pendek, menghasilkan lebih dari 13 juta yuan atau sekitar 29 miliar rupiah untuk sektor budaya dan pariwisata. Video-video tersebut telah mencapai ratusan juta penonton, menjadikan Qujiang bukan hanya pusat produksi, tetapi juga pusat distribusi narasi budaya Tiongkok yang viral dan efektif.

Fenomena ini mencerminkan arah baru dalam pembangunan ekonomi kreatif, di mana Tiongkok memadukan antara strategi industri, kebijakan insentif, teknologi digital, dan kekuatan budaya lokal dalam satu model pembangunan terpadu. Hal ini sejalan dengan konsep ekonomi kreatif yang diperkenalkan oleh John Howkins, di mana nilai ekonomi dihasilkan dari eksploitasi kreativitas, ide, dan konten simbolik, bukan semata-mata dari sumber daya alam atau industri manufaktur.

Melalui integrasi dengan e-commerce dan pariwisata, Qujiang bahkan melampaui model ekonomi kreatif konvensional, menjadi laboratorium dari apa yang bisa disebut sebagai “ekonomi naratif digital.” Keunggulan model Qujiang menjadi semakin menonjol jika dibandingkan dengan industri drama dari negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan.

Selama beberapa dekade terakhir, Korea telah mendominasi pasar global dengan K-Drama yang mengusung estetika tinggi, nilai-nilai emosional, dan produksi sinematik yang solid. Jepang pun memiliki warisan kuat dalam bentuk dorama yang sering menggambarkan isu-isu sosial dan psikologis dengan nuansa khas. Namun, kedua model tersebut memiliki format yang relatif panjang, membutuhkan waktu produksi yang tinggi, dan bersifat episodik dalam jangka menengah hingga panjang. Sementara itu, industri drama pendek Tiongkok hadir dengan pendekatan yang jauh lebih gesit dan adaptif terhadap pola konsumsi media baru, khususnya masyarakat digital yang lebih menyukai konten ringkas, cepat, dan mudah dibagikan.

Drama pendek di Qujiang tidak hanya diproduksi dalam waktu singkat dengan biaya lebih efisien, tetapi juga memanfaatkan algoritma dan data dari platform-platform seperti Douyin yakni TikTok versi Tiongkok untuk menyesuaikan alur cerita dengan preferensi audiens secara real-time. Pendekatan ini membuat konten menjadi lebih relevan, personal, dan viral. Dengan demikian, dibandingkan dengan drama Korea atau Jepang yang sangat tergantung pada kualitas naratif jangka panjang dan distribusi melalui televisi atau OTT premium, drama pendek Tiongkok jelas lebih inklusif, mudah diakses, dan cocok untuk pasar massal di era digital mobile-first.

Keunggulan lainnya terletak pada kemampuan Qujiang dalam mengintegrasikan konten digital dengan pengembangan ekonomi lokal. Jalan Tua Duzhe dan kawasan wisata Tianji Longmen yang menjadi lokasi syuting drama, kini menjelma menjadi destinasi wisata populer yang mendatangkan lebih dari 25.000 pengunjung dan menyumbang pendapatan sebesar 12 juta yuan atau sekitar 27 miliar rupiah pada tahun lalu.

Hal ini mungkin jarang terlihat dalam model produksi Jepang maupun Korea, yang meskipun menghasilkan destinasi wisata budaya, tidak sepenuhnya dikelola secara sistematis untuk mendukung ekonomi lokal. Di Qujiang, sinergi antara budaya, pariwisata, dan e-commerce dikelola dalam satu ekosistem berbasis kebijakan publik dan investasi strategis.

Dari perspektif hubungan internasional dan teori soft power, kebangkitan drama pendek Qujiang juga memperlihatkan dimensi strategis yang lebih luas. Seperti yang dikemukakan oleh Joseph Nye, soft power berasal dari kemampuan suatu negara untuk menarik, bukan memaksa. Konten budaya seperti drama pendek kini menjadi alat penting dalam menyampaikan citra Tiongkok yang kreatif, modern, dan berbudaya tinggi kepada dunia internasional. Ini adalah bentuk dari soft power 2.0, yang bersifat non-institusional, viral, dan tersebar melalui platform digital, bukan hanya melalui diplomasi budaya formal seperti Konfusius Institute.

Namun, harus diakui bahwa di balik keberhasilan ini, terdapat pula dinamika kekuasaan yang khas dalam sistem politik Tiongkok. Negara tetap menjadi aktor utama dalam mengatur arah produksi konten, mengawasi narasi, serta mengarahkan investasi ke sektor-sektor budaya strategis. Dengan kata lain, industri drama pendek bukan hanya instrumen ekonomi dan budaya, tetapi juga menjadi bagian dari proyek besar Tiongkok dalam mengontrol dan menyebarluaskan narasi nasional secara domestik maupun global. Ini sesuai dengan pendekatan ekonomi politik kritis media yang melihat media tidak netral, tetapi menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang melayani kepentingan ideologis negara.

Secara keseluruhan, Qujiang tidak hanya mewakili revolusi dalam produksi konten hiburan, tetapi juga menunjukkan bagaimana kekuatan budaya dan ekonomi dapat dijalin dalam satu strategi pembangunan yang terukur dan progresif. Model Qujiang menjadi bukti bahwa keberhasilan dalam ekonomi digital bukan semata ditentukan oleh kecanggihan teknologi atau kekuatan modal, tetapi oleh kemampuan untuk menciptakan ekosistem naratif yang hidup, relevan, dan mendalam.

Di tengah kompetisi budaya global, di mana narasi menjadi medan pertarungan baru antar negara, Qujiang telah menunjukkan bahwa kekuatan budaya bukan hanya milik kota besar seperti Seoul atau Tokyo, tetapi juga dapat tumbuh dari distrik yang visioner, terintegrasi, dan adaptif terhadap zaman yang menggabungkan warisan sejarah dengan inovasi modern secara harmonis.

Dengan demikian, pelajaran besar dari Qujiang bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, adalah pentingnya melihat industri konten tidak hanya sebagai sektor hiburan, tetapi sebagai instrumen strategis pembangunan, identitas budaya, dan bahkan diplomasi global. Di era di mana siapa yang menguasai narasi dapat menguasai persepsi dunia, maka investasi pada ekonomi kreatif bukanlah opsi, melainkan kebutuhan nasional yang mendesak dan menentukan masa depan.

Komentar

Berita Lainnya

Petani di wilayah Changfeng Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 14:51:7 WIB

banner
Pembalap Formula 1 asal Tiongkok Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 15:19:35 WIB

banner