Rabu, 24 Maret 2021 4:1:5 WIB

Lumba-lumba Dekati Pantai, Bahkan Hingga Mati, Kenapa Bisa Terjadi?
Tiongkok

Kinar Lestari - Bharata Online

banner

BBC

Kematian seekor lumba-lumba jenis hidung botol yang terdampar di pantai di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menambah rangkaian kejadian lumba-lumba terdampar di pantai dan sungai di Indonesia.

Sejak tahun 2013, warga di berbagai daerah melaporkan temuan lumba-lumba terdampar dan kerap menyebutnya sebagai 'kejadian langka'.

Khusus untuk kejadian di Tapanuli Selatan pekan ini, warga setempat mengaku sebelumnya mereka melihat ribuan lumba-lumba lalu-lalang di pantai tersebut.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) lumba-lumba hidung botol memang biasa bergabung dalam kawanan dengan jumlah banyak.

Namun tindakan mamalia laut itu mendekat ke pantai dinilai sebagai keputusan terpaksa yang membahayakan diri mereka.

Hari itu, Jumat (19/03), Kepala Desa Muara Upu Husnul Amir Harahap mengaku merasa takjub melihat ribuan ekor lumba-lumba berenang hingga ke tepian pantai. Menurutnya, fenomena ini sangat jarang terjadi di daerah tersebut.

Husnul melihat kawanan lumba-lumba nyaris memenuhi sisi pantai. Biasanya, menurut dia, nelayan setempat hanya melihat satwa itu di tengah laut.

"Kalau sebanyak itu sangat jarang terjadi. Baru kali ini. Jumlahnya mungkin ribuan karena tampak dari pinggir (pantai) sampai ke tengah," kata Husnul kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Husnul memperkirakan munculnya lumba-lumba tersebut tak lain untuk berburu ikan-ikan kecil.

Karena langka, lanjut Husnul, kemunculan lumba-lumba itu sempat menjadi ajang tontonan bagi warga setempat. Di sisi lain, kehadiran mereka menyulitkan para nelayan setempat untuk mencari ikan.

"Tapi yang jadi korbannya juga nelayan karena susah mendapatkan ikan," kata Husnul.

Namun malang, tak lama setelah kemunculan kawanan lumba-lumba, satu di antaranya ditemukan tewas terdampar.

Husnul berpikir hewan mamalia laut itu tewas lantaran terbawa ombak hingga ke daratan.

"Perkiraan saya karena terbawa ombak ke pantai dan tidak bisa kembali lagi," kata Husnul.

Lumba-lumba yang tewas itu memiliki panjang sekitar satu meter. Sedangkan bobotnya diperkirakan mencapai 30 kilogram. Kulitnya berwarna putih kehitaman.

Sekujur kulit bangkai lumba-lumba itu sudah mengelupas dan kini telah dikubur di pantai tak jauh dari lokasi penemuan.

"Seumur hidup saya baru tiga kali melihat (lumba-lumba). Inilah yang ketiga," katanya.

Muara Upu merupakan satu-satunya desa di Kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di pesisir. Desa ini memiliki garis pantai sepanjang 19 kilometer. Di samping panorama khas Pantai Barat Sumatera, kawasan desa ini juga menjadi tempat bertelur bagi satwa langka Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea).

Kejadian pertama

Kepala Seksi Wilayah V Sipirok BBKSDA Sumatera Utara Refdi Azmi mengatakan, pihaknya sudah meninjau lokasi terdamparnya lumba-lumba di Desa Muara Upu.

Saat ini, bangkai lumba-lumba itu sudah dikubur di pantai tersebut. Refdi memperkirakan bahwa lumba-lumba itu memiliki panjang satu meter dengan bobot mencapai 30 kilogram.

Karena kondisinya mulai membusuk, Refdi tidak bisa mengidentifikasi jenis kelaminnya.

Menurut Refdi, lumba-lumba sangat jarang mendekati kawasan pantai Desa Muara Upu. Sejauh ini, katanya, baru satu ekor mamalia laut yang ditemukan mati terdampar di lokasi tersebut.

"Itu memang ada satu ekor yang terdampar karena diperkirakan pada Jumat itu ada gelombang tinggi di sana, pasang besar. Jadi diduga dia terdampar dan tidak bisa balik lagi," kata Refdi kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (23/3/2021).

Refdi juga mendengar informasi dari masyarakat soal kemunculan kawanan lumba-lumba di sekitar pantai sebelum penemuan bangkai. Meski demikian, Refdi tidak bisa memastikan lantaran pihaknya tidak ada di lokasi saat peristiwa terjadi.

"Katanya seperti itu (ada ribuan ekor lumba-lumba). Tapi kita tidak melihat langsung. Cuma dengar dari masyarakat saja," kata Refdi.

Menurut Refdi, kemunculan lumba-lumba di Desa Muara Upu tergolong langka. Hewan itu biasa terlihat hanya di tengah laut. Sebab, Samudera Hindia memang menjadi habitat bagi mamalia laut seperti lumba-lumba.

Seharusnya mampu mengidentifikasi bahaya

Peneliti LIPI Rr Sekar Mira mengatakan, lumba-lumba yang terdampar di pantai kawasan Desa Muara Upu berjenis Lumba-lumba Hidung Botol atau Indo-Pacific bottlenose dolphin.

Jenis ini umum ditemukan di laut Indonesia. Lumba-lumba ini biasa biasa hidup berkelompok. Satu kawanan bahkan bisa mencapai ribuan anggota. Sedangkan untuk kelompok kecil biasanya terdiri atas 5-15 ekor.

Di samping itu, menurut Mira, kawanan Indo-Pacific bottlenose dolphin terkadang juga bergabung dengan kawanan saudara dekatnya, Common bottlenose dolphin (Tursiops truncatus).

Karena berkelompok dalam jumlah banyak, lumba-lumba ini memiliki strategi tersendiri untuk berburu mangsa.

"Strategi mereka mencari makan dengan menggiring ikan-ikan kecil ke daerah dangkal. Memang hal ini berisiko juga untuk mereka (lumba-lumba). Karena kelompok besar bisa terdampar," ujar Mira.

Mira mengatakan, fenomena kemunculan ribuan lumba-lumba bisa terjadi lantaran dua kawanan bergabung jadi satu untuk berburu mangsa.

"Soal ribuan ekor itu, karena lumba-lumba jenis Indo-Pacific bottlenose dolphin yang kadang bercampur antara Tursiops aduncus dan Tursiops truncatus, jadi wajar sih melihat mereka dalam jumlah besar," kata Mira.

Menurut Mira, hewan ini memiliki insting berburu dan dikaruniai sonar biologis yang disebut ekolokasi. Dengan insting yang dimiliki, kawanan lumba-lumba sejatinya mampu mengidentifikasi kedangkalan daerah yang mereka tuju.

Masyarakat bisa membantu

Namun karena kondisi tertentu, seperti jumlah ikan buruan yang kian sedikit, menyebabkan hewan tersebut terpaksa melakukan tindakan yang membahayakan mereka.

"Jadi mungkin dengan jumlah ikan yang semakin sedikit, tentu dibutuhkan effort dari lumba-lumba, lebih sulit untuk mereka mencari makan. Mungkin ini yang menyebabkan mereka bisa sampai terdampar," kata Mira.

Menurut Mira, masyarakat di sekitar pantai juga memiliki peran membantu lumba-lumba atau mamalia laut lain agar tidak terdampar. Yakni dengan menggiring mereka kembali ke tengah laut jika sudah mendekati areal pantai.

Solusi lainnya, lanjut Mira, yakni penggunaan alat bantu khusus yang disebut Pinger.

"Alat ini mampu mengeluarkan bunyi-bunyian yang akan membuat lumba-lumba aware agar tidak mendekat ke daerah tersebut," kata Mira.

Meski kejadian lumba-lumba terdampar baru pertama kali terjadi di Tapanuli Selatan, tapi data menunjukkan rangkaian kejadian sebelumnya sejak Mei 2013.

Rata-rata temuan lumba-lumba terdampar di pantai atau sungai ini antara satu hingga tiga ekor dengan jenis beragam seperti lumba-lumba hihttp://bolong.iddung botol dan spinner.

Mereka ditemukan di sejumlah perairan di berbagai provinsi Indonesia, seperti Aceh, Nias Utara, Batam, dan Padang.

Komentar

Berita Lainnya