LUZHOU, Bharata Online - Di Kota Fenshuiling, Kota Luzhou, Provinsi Sichuan, sebatang pohon kamper menjulang tinggi bak payung raksasa. Di bawahnya, Bi Liufu, pewaris generasi keenam payung kertas minyak Luzhou, melanjutkan karya leluhurnya. "Keluarga kami telah membuat payung kertas minyak selama beberapa generasi," jelasnya. "Dulu, kami disebut 'pengrajin', yang berarti orang-orang yang membuat sesuatu dengan tangan."

Kerajinan ini dimulai dengan bambu—batang bambu berumur tiga hingga lima tahun, dijemur, dan direndam selama sebulan untuk mencegah hama. Setiap detail penting: ruas-ruasnya harus minimal 25 sentimeter, sambungannya presisi, dan kertasnya ditekan secara merata.

Namun, tradisi saja tidak cukup untuk bertahan hidup di dunia modern. Putra Bi Liufu, Bi Yuanshen, mengenang bahwa perjalanannya untuk melanjutkan kerajinan ini setelah lulus kuliah awalnya disambut dengan skeptis. Ayahnya menantangnya untuk membuat payung utuh sendiri. "Membuat payung itu seperti menjadi manusia—dibutuhkan tekad, kesabaran, dan ketekunan," ujarnya. Pada hari kelima belas, payung itu selesai, meskipun belum sempurna, namun melambangkan karakter dan komitmen.

"Kami tidak peduli apakah kerajinan itu menyandang nama keluarga kami," kata Bi Yuanshen. "Yang kami pedulikan hanyalah bagaimana mewariskannya, bagaimana mewarisinya, dan mengembangkannya dengan baik." [CGTN]