Selasa, 8 Juni 2021 10:12:41 WIB

Penak Jamanku, Rindu Soeharto, dan Kekecewaan Reformasi
Tiongkok

Kinar Lestari

banner

Presiden kedua RI Soeharto dirindukan oleh para loyalisnya maupun pihak yang kecewa pada Reformasi. (Foto: AFP/JOHN GIBSON)

Slogan 'Piye kabare le? Penak jamanku, to?' yang kembali marak beberapa tahun terakhir tak cuma disuarakan oleh para loyalis Presiden kedua RI Soeharto. Slogan itu dinilai juga populer karena ada kekecewaan sebagian rakyat terhadap Reformasi

Jargon Penak jamanku, to? kerap terlihat dalam sejumlah poster, grafiti, lukisan di bagian belakang truk, baliho politikus, maupun unggahan di media sosial. Di sampingnya, tampak foto Soeharto yang tersenyum khas.

Karena popularitasnya, gambar Soeharto dan slogan ini sampai disablon di kaos-kaos yang dijual di Malioboro, Yogyakarta. Teks itu sendiri merupakan Bahasa Jawa ngoko alus yang berarti "Bagaimana kabarnya nak? Masih enak jamanku kan?".

Akademisi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta Angela Pontororing, dalam makalahnya yang berjudul 'Sebuah Upaya Pembacaan Poskolonial Dengan Metode Dialog Imajinatif Antara Foto Soeharto "Piye Kabare, Penak Jamanku to?" Dan Teks Keluaran 14:10-12; 16:1-3; 17:3' menelusuri jejak digital fenomena ini.

Ia menemukan slogan itu mulai muncul pada awal tahun 2013 dan semakin populer saat harga BBM Premium melonjak dari Rp4.500 menjadi Rp6.500 pada 22 Juni 2013.

Kenaikan ini mengakibatkan harga sejumlah kebutuhan masyarakat naik dan mengguncang perekonomian. Di sisi lain, masyarakat juga mengalami krisis kepemimpinan. Sebagian dari mereka menganggap bahwa kondisi negara pasca reformasi lebih parah ketimbang di zaman Soeharto.

"Masyarakat Indonesia mulai menganggap bahwa era Reformasi gagal menjawab tantangannya, untuk memperbaiki keadaan setelah Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997," tulis Angela dalam papernya yang dimuat di Indonesian Journal of Theology (2016).

Lewat pendekatan poskolonialisme, ia menemukan pola bahwa teks tersebut muncul dari masyarakat yang pernah mengalami ketertindasan dan membicarakan masa sebelumnya yang sarat akan ketertindasan namun dirindukan.

Angela lantas menemukan upaya tawar-menawar antara era Reformasi yang idealnya tidak militeristik dan bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dengan Orde Baru yang sewenang-wenang dalam foto Soeharto itu.

"Kerinduan ini muncul ketika kedua bangsa menghadapi krisis," kata Angela.

Akademisi Departemen Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Zamrud Kondang Darajati mengungkap bahwa teks tersebut membandingkan keadaan hari ini dengan masa kekuasaan Soeharto yang dihiasi senyum semringahnya.

Dalam makalahnya yang berjudul "Dialogis Historikalitas dalam Memahami Teks Soeharto di Era Demokrasi", Zamrud mengungkap bahwa teks tersebut merupakan representasi suara masyarakat yang tengah mengalami masalah seperti barang-barang yang melambung tinggi, kekerasan yang semakin jamak, serta berjibun masalah sosial lainnya.

Infografis Pelbagai Istilah Daripada Soeharto Berkuasa\Infografis Pelbagai Istilah 'Daripada' Soeharto Berkuasa. (Foto: CNN Indonesia/Fajrian)

"Melalui sosok Soeharto yang 'dihidupkan' kembali inilah, suara-suara itu mencoba menerobos kepenatan mereka yang selama ini ditindas oleh keadaan," ungkap Zamrud sebagaimana dimuat jurnal Dialektika (2018).

Menanggapi maraknya slogan kerinduan atas Orde Baru, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto tidak keberatan partainya, Beringin Karya (Berkarya), dikaitkan dengan kejayaan masa kepemimpinan ayahnya.

Ia tidak mempermasalahkan foto ayahnya dengan senyum kha situ terpampang di mana-mana. Padahal, tidak sedikit orang menyebut foto dan slogan itu sebagai sindiran terhadap kalangan Soehartois yang belum bisa lepas dari romantisme Orde Baru.

"Ya itu apa salahnya dengan itu, kan tidak ada salahnya," ujar Tommy di sela Rapimnas ke-III Berkarya, Solo 11 Maret 2018 silam.

Komentar

Berita Lainnya