Sabtu, 11 September 2021 7:28:56 WIB

Soal Wacana Presiden 3 Periode, Pakar Singgung Trauma Revisi UU KPK
Tiongkok

Bagas Sumarlan

banner

Foto: Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar (Ari Saputra/detikcom)

Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar khawatir amandemen masa jabatan presiden tiga periode benar-benar terjadi. Dia menyinggung revisi undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang banyak diprotes berbagai kalangan namun akhirnya terealisasi.

"Kalau kita belajar dari berbagai wacana, biasanya tidak ada hujan tidak ada api bisa-bisa saja terjadi. Revisi undang-undang KPK saya ingat betul, tiba-tiba dengan jalur cepat, proses cepat, semuannya diterabas. Proses yang bisa makan 60 hari di Presiden, itu bisa satu hari," kata Zainal dalam diskusi virtual bertajuk 'Amandemen UUD 1945 Untuk Apa?' Sabtu (11/9/2021).

Dia menyampaikan kekhawatiran masa jabatan presiden tiga periode benar-benar terjadi timbul karena adanya trauma terhadap perubahan yang pernah terjadi dan dilakukan secara cepat, di mana menurutnya demi kepentingan politik semata. Menurutnya, tidak ada yang bisa menjamin amandemen masa jabatan presiden tidak akan terjadi.

"Jadi yang begini ini terus terang membuat trauma. Kalau yang dikatakan (amandemen masa jabatan presiden) tidak ada, ya itu satu hal yang menurut saya menarik. Tapi selalu ada trauma di kita, di mana ada proses-proses yang kalau ada kepentingan politik, tiba-tiba semua menjadi Speedy, semua menjadi cepat. Perubahan undang-undang ini berubah ini dan rasa rasanya tidak ada yang bisa menjamin juga itu tidak terjadi juga di amandemen," ujarnya

Zainal menyampaikan protes dari masyarakat mulai bermunculan usai Ketua MPR Bambang Soesatyo berpidato mengenai amandemen dan PPHN bisa dilakukan. Bahkan dia menyebut, Bambang menyampaikan hal itu dua kali berurutan saat sidang MPR dan hari konstitusi.

"Publik tidak pernah bisa melihat api, kalau nggak ada asap, atau sebaliknya. Ini persoalannya adalah karena Pak Bambang Soesatyo (Ketua MPR) pidato dua kali, berurutan tanggal 16 di sidang MPR, dan 18 di hari konstitusi," ucapnya

"Dia mengungkapkan hal yang relatif sama, biacara soal amandemen, bicara soal PPHN, bicara soal amandemen itu bisa dilakukan, bicara soal konstitusi bukan kitab suci. Ya maksud saya begini, kalau ketua MPR menyampaikan itu di publik, bagaimana publik bisa menolak untuk mengomentari," lanjut dia.

Terakhir, tambah Zainal, bila berbicara keadilan, menurutnya anggota MPR menegur Bambang Soesatyo terkait isi pidatonya.

"Artinya begini, kalau kita mau fair, anggota MPR negur ketuanya jangan dong pidato kayak gitu, karena itu nggak ada dalam pembicaraan kita, nggak ada dalam agenda kita. Karena jangan sampai satu orang mendaki atau mewakili secara organisasi," pungkas Zainal.

Bamsoet Tegaskan Amandemen Tak Bahas Perpanjangan Masa Presiden

 

Sebelumnya, Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan isu seputar penambahan periode Presiden menjadi tiga periode atau pun perpanjangan masa kerja Presiden saat ini tak akan dibahas dalam proses amandemen mendatang. Sebab isu tersebut sama sekali tak pernah masuk agenda dan dibahas oleh Badan Pengkaji MPR selama ini.

"Firm, amandemen tak akan melebar selain soal PPHN (Pokok Pokok Haluan Negara). Saya jaminannya," tegas Bamsoet kepada tim Blak-blakan detikcom di Gedung MPR-RI, Kamis (9/9).

Karena itu, ia meminta pihak-pihak tertentu untuk tidak apriori dan mengedepankan rasa curiga terhadap rencana amandemen terbatas ini. Soal isu pentingnya PPHN, kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini, sudah muncul sejak 12 tahun. Juga menjadi rekomendasi MPR saat dipimpin Hidayat Nur Wahid dan MPR di bawah Zulkfili Hasan.

Ada kesadaran bahwa perlu cetak biru pembangunan nasional secara jangka panjang. Hal itu untuk menjamin kelanjutan pembangunan suatu proyek agar tidak mangkrak atau tidak cuma berdasarkan selera partai dan Presiden terpilih.

"PPHN ini juga untuk menaikkan visi-misi Presiden dan para kepala daerah menjadi visi-misi negara," ujar Bamsoet yang hari ini genap berusia 59 tahun.

Bambang Soesatyo menjelaskan, Pasal 37 UUD 1945 mengatur secara rigid mekanisme usul perubahan konstitusi. Perubahan tidak dapat dilakukan secara serta merta, melainkan harus terlebih dahulu diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul. Di mana diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR.

Dengan demikian sama sekali tidak terbuka peluang menyisipkan gagasan amandemen di luar materi PPHN yang sudah diagendakan. Semisal, penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode.

"Karena MPR RI juga tidak pernah membahas hal tersebut," tegas Bamsoet. https://news.detik.com/berita/d-5719381/soal-wacana-presiden-3-periode-pakar-singgung-trauma-revisi-uu-kpk?tag_from=wp_hl_judul

Komentar

Berita Lainnya