Selasa, 24 Mei 2022 1:30:48 WIB

Fakta!! Bukan Tiongkok, Ternyata Negara-Negara Barat Pemberi Hutang Terbesar ke Sri Lanka
Tiongkok

Jurnal Bharata

banner

Foto: Thumbnail Youtube Bharata Online (Program Jurnal Bharata)

International - Sri Lanka sedang mengalami krisis ekonomi karena terlilit utang luar negeri dengan nilai fantastis sekitar 51 miliar dolar Amerika atau sekitar 732 triliun rupiah. Sri Lanka tak mampu lagi membayar sehingga mengumumkan default atau gagal membayar utang luar negerinya. Salah satu yang disorot adalah karena Sri Lanka kerap meminjam utang ke Tiongkok untuk proyek infrastruktur.

\r\n\r\n

Bahkan lucunya untuk membenarkan itu, hoax politik diluncurkan Amerika melalui media sebagaimana yang dilaporkan The Times of India, Kamis (14/4/2022), pemegang utang terbesar Sri Lanka adalah Tiongkok, yakni sebesar 10 persen. Sri Lanka pun disebut telah masuk ke jebakan utang.

\r\n\r\n

Lantas benarkah bahwa krisis yang terjadi di Sri Lanka, diakibatkan oleh Tiongkok? Atau jangan-jangan ini hanyalah hoax politik yang diciptakan barat khususnya Amerika Serikat untuk Tiongkok sebagai pesaingnya saat ini ?.

\r\n\r\n

Jika memang benar adanya jebakan utang Tiongkok, lalu kenapa di saat krisis seperti ini, Sri Lanka masih mencoba meminta bantuan ke Tiongkok sekitar 1 miliar dolar atau sekitar 1,4 triliun rupiah untuk membayar hutangnya yang jatuh tempo di bulan Juli 2022, serta jalur kredit 1,5 miliar dolar Amerika atau sekitar 2,1 triliun rupiah untuk membeli barang-barang dari negara itu untuk mendukung industri ekspor pakaian.

\r\n\r\n

Bahkan Duta Besar Sri Lanka untuk Tiongkok, Palitha Kohona mengatakan, dia telah menerima jaminan dari pihak berwenang Tiongkok bahwa pengaturan untuk pinjaman dan jalur kredit sedang diproses. Palitha Kohona pun sangat yakin bahwa Tiongkok bakal memberikan dukungan keuangan sebesar 2,5 miliar dolar Amerika atau sekitar 35,9 triliun rupiah.

\r\n\r\n

Ini semakin membuktikan dengan jelas bahwa sebenarnya jebakan hutang itu hanya propaganda yang gak berdasar oleh negara-negara Barat khususnya Amerika terhadap Tiongkok. Untuk lebih jelasnya, anda bisa saksikan video Jurnal Bharata dengan judul “Debt Trap Tiongkok, Ilusi Propaganda Barat” di Youtube Bharata Online.

\r\n\r\n

Selain itu, salah seorang guru besar di Tata Institute of Social Sciences, R. Ramakumar, dalam tulisannya yang diterbitkan Channel News Asia menulis bahwa kebijakan pinjaman Tiongkok adalah penyebab utama situasi ekonomi yang mengerikan di Sri Lanka.

\r\n\r\n

Menurutnya, hubungan ekonomi Sri Lanka dengan Tiongkok adalah pendorong utama di balik krisis. Bahkan Amerika menyebut fenomena ini sebagai diplomasi jebakan utang. Ia juga mengatakan, Gagal bayar utang negara yang melambung, terutama pembiayaan pelabuhan Hambantota, disebut-sebut sebagai faktor yang berkontribusi terhadap krisis.

\r\n\r\n

Tentu narasi yang terbangun dalam tulisan R. Ramakumar diatas bisa kita katakan sebagai narasi yang tidak berdasar karena tidak dikuatkan dengan penelitian yang mendalam, hanya sekedar asumsi atau analisa yang didapatkan melalui media-media barat pula.

\r\n\r\n

Sebagaimana kita ketahui bahwa bagi politisi dan media Barat, pengambil alihan manajemen Hambantota oleh China Merchant Port dari Tiongkok adalah bukti adanya ambisi Tiongkok untuk mengambil alih aset negara-negara yang tidak mampu membayar hutang. Namun seperti biasa, politisi dan media Barat memang terkenal dalam memberi informasi tanpa bukti.

\r\n\r\n

Jika kita dalami tulisan tentang masalah ini di media Barat terkemuka, seperti, The Economist, New York Times, Wall Street Journal, Financial Times, atau melalui jaringan televisi dan radio, seperti BBC, VOA, Fox News, CNN, ABC, dan lain-lain. Kita akan temui uraian yang panjang lebar namun semuanya hanyalah narasi tanpa ada data pendukung ataupun upaya untuk menggali lebih dalam realitas yang terjadi. Seperti itulah yang coba dinarasikan oleh guru besar di Tata Institute of Social Sciences tersebut.

\r\n\r\n

Oleh karena itu, para intelektual Amerika melakukan penelitian, seperti yang dilakukan Direktur Inisiatif Penelitian Tiongkok Afrika Universitas John Hopkins, Prof. Deborah Brautigram bersama timnya ke Sri Lanka untuk mendalami kasus ini.

\r\n\r\n

Dalam bagian kesimpulan laporan penelitiannya, Deborah menulis bahwa tidak ada bukti Tiongkok menyita atau mengambil alih aset Hambantota sebagai ganti rugi atas pinjaman yang diberikannya. Selanjutnya, Deborah menulis,"…… di pelabuhan Hambantota di Sri Lanka selatan … itu secara luas dilebih-lebihkan, disalah artikan dan disalah pahami."

\r\n\r\n

Apa yang sebenarnya terjadi dengan Hambantota? Disini kami akan coba merekonstruksi kasus Hambantota tersebut berdasarkan data dari penelitian Deborah Brautigram.

\r\n\r\n

Pertama, yang perlu kita ketahui bahwa, Hambantota masuk dalam rencana pembangunan nasional Sri Lanka dan akan dibangun sebagai Pusat Perdagangan, Investasi, dan Jasa Samudera Hindia. Tahun 2002, perusahaan Perancis, Port Autonome de Marseille ditunjuk pemerintah Sri Lanka untuk melakukan studi kelayakan dan hasilnya sangat layak karena lokasinya sangat bagus serta ada sekitar 36.000 kapal yang melewati jalur pelayaran tersebut.

\r\n\r\n

Namun di tahun 2004 Hambantota hancur berantakan akibat tsunami. Kemudian pemerintah Sri Lanka menunjuk perusahaan Tiongkok CHEC untuk membangun kembali Hambantota dengan kredit komersial dari China Export Import Bank sebesar 307 juta dolar Amerika dengan bunga 2% pertahun. Tahun 2012, Hambantota mulai beroperasi dibawah manajemen Otoritas Pelabuhan Sri Lanka, namun terus merugi karena menjadi pet-project dari partai yang berkuasa.

\r\n\r\n

Tahun 2015, pemerintah koalisi baru mengambil alih kekuasaan dan memiliki program untuk mengurangi hutang luar negeri. Hutang luar negeri Sri Lanka pada saat itu adalah sebesar 49,6 miliar dolar Amerika, dan hutang kepada pemerintah Tiongkok hanya sejumlah 3,9 miliar Amerika, jadi hanya 7,8% dari total hutang. Sisanya dari Bank Duia atau IMF dan negara-negara Barat.

\r\n\r\n

Saat itu pemerintah butuh 4,4 miliar dolar Amerika untuk melunasi hutang yang jatuh tempo. Pemerintah baru ini mengikuti saran konsultan Bank Dunia atau IMF untuk privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, termasuk Hambantota, guna mendapatkan uang tunai untuk melunasi pokok pinjaman yang jatuh tempo.

\r\n\r\n

Pada saat proses penjualan Hambantota ada cukup banyak penawar tetapi akhirnya pilihan pemerintah Sri Lanka jatuh ke CMPort dari Tiongkok. Oleh karena CM Port bersedia membayar didepan 1,5 miliar dolar Amerika untuk 60% saham, sisanya yang 40% saham dikuasai Otoritas Pelabuhan Sri Lanka.

\r\n\r\n

Selain itu, CMPort juga setuju dana tambahan sebesar 1 miliar dolar Amerika untuk modernisasi mesin dan peralatan pelabuhan Hambantota. Uang pembayaran CMPort sebesar 1,5 miliar dolar Amerika langsung digunakan oleh pemerintah Sri Lanka untuk melunasi hutang jatuh tempo yang bersumber dari negara-negara Barat.

\r\n\r\n

Kasus Hambantota ini mirip dengan Piraeus Port di Yunani, yang manajemennya diambil alih oleh COSCO, perusahaan perkapalan Tiongkok. Baik Yunani maupun Sri Lanka adalah dua negara yang mengalami kesulitan keuangan untuk melunasi pokok hutang yang jatuh tempo.

\r\n\r\n

Kedua-duanya mengikuti saran konsultan Bank Dunia atau IMF untuk privatisasi supaya mendapat uang, kedua-keduanya dibeli oleh perusahaan Tiongkok. Namun para politisi dan media Barat hanya mempersoalkan Sri Lanka tapi diam saja tentang Yunani. Disini nampak adanya sikap yang kontradiksi atau ambivalen dan pilih-pilih.

\r\n\r\n

Kasus Hambantota ini hanya salah satu proyek pinjaman saja yang diteliti Deborah dengan timnya dari 1.000 proyek pinjaman Tiongkok ke Afrika dan Asia. Selain itu, bekerjasama dengan Pusat Kebijakan Pembangunan Global, Deborah dan timnya meneliti pinjaman Tiongkok di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia. Deborah mengunjungi semua negara peminjam, mewawancarai para pejabat terkait, menganalisis struktur hutang, dan pemakaiannya serta dampak sosial dari proyek yang dibiayai hutang tersebut.

\r\n\r\n

Berdasarkan studi yang mendalam tersebut, Deborah menjelaskan bahwa tidak ada bukti jebakan hutang itu terjadi. Menurut Deborah, kami telah mempelajari secara rinci praktik Tiongkok, dan telah menemukan sedikit bukti dari pola yang menunjukkan bahwa bank-bank Tiongkok, bertindak atas perintah pemerintah, dengan sengaja meminjamkan atau mendanai proyek yang mengalami kerugian akibat utang dengan negara-negara Barat, untuk mengamankan keuntungan strategis bagi Tiongkok.

\r\n\r\n

Kesimpulan tersebut diambil atas dasar, pertama, Deborah menganalisis struktur hutang negara peminjam dan menemukan hutang kepada Tiongkok hanya merupakan persentase kecil, rata-rata dibawah 10% dari total hutang yang ada. Persentase hutang terbesar adalah pinjaman kepada Bank Dunia atau IMF dan negara-negara Barat, seperti ditulis Deborah, bahwa pemberi pinjaman non-Tiongkok masih memegang sebagian besar utang.

\r\n\r\n

Jadi dari sini jelas bahwa jebakan hutang yang terjadi sebenarnya yang dilakukan oleh negara-negara Barat, bukannya dengan Tiongkok. Selain itu hutang Tiongkok juga jauh lebih ringan karena jangka panjang, tingkat bunganya rendah dan fleksibel.

\r\n\r\n

 

\r\n\r\n

Agar lebih jelas, silahkan kunjungi link Ini: https://www.youtube.com/watch?v=4-i8OQ6Hfq0

Komentar

Berita Lainnya