Selasa, 24 Mei 2022 0:1:27 WIB

Terungkap!! Ternyata Bank Dunia dan IMF yang Menyebabkan Krisis di Sri Lanka, Bukan Tiongkok. Begini Kronologisnya
Tiongkok

Jurnal Bharata

banner

Foto: Thumbnail Youtube Bharata Online (Program Jurnal Bharata)

International - Negara Sri Lanka berada di tengah-tengah salah satu krisis ekonomi terburuk yang pernah ada. Negara ini untuk pertama kalinya gagal membayar utang luar negerinya sejak kemerdekaannya. Kurang lebih sekitar 22 juta orang di negara itu menghadapi pemadaman listrik selama 13 jam karena tidak ada minyak untuk mengaktifkan generator.

\r\n\r\n

Negara tersebut juga menghadapi kelangkaan makanan, bahan bakar, dan barang-barang penting lainnya. Harga bahan bakar dan pangan juga meroket, bahkan mereka rela mengantre berjam-jam untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti gas untuk memasak dan solar untuk kendaraan mereka.

\r\n\r\n

Para dokter di Sri Lanka mengatakan sudah banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persediaan penting. Sedikitnya dua rumah sakit lagi melaporkan bahwa mereka menunda tindakan operasi rutin karena pasokan obat-obatan sangat minim dan mereka ingin mengamankan persediaan untuk kasus-kasus darurat.

\r\n\r\n

Krisis ini pada akhirnya menimbulkan Inflasi yang berada pada titik tertinggi sepanjang masa sebesar 17,5 persen, dengan harga bahan makanan seperti satu kilogram beras melonjak hingga 500 rupee Sri Lanka atau sekitar 1,56 dolar Amerika yang biasanya berharga sekitar 80 rupee atau sekitar 0,25 dolar Amerika. Di tengah kelangkaan itu, satu paket 400g susu bubuk dilaporkan berharga lebih dari 250 rupee atau sekitar 0,78 dolar Amerika, yang biasanya berharga sekitar 60 rupee atau sekitar 0,19 dolar Amerika.

\r\n\r\n

Pada 1 April 2022, Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat ini. Dalam waktu kurang dari seminggu setelah pengumuman tersebut, masyarakat protes besar-besaran yang marah atas penanganan krisis oleh pemerintah.

\r\n\r\n

Negara ini bergantung pada impor banyak barang penting termasuk bensin, makanan dan obat-obatan. Sebagian besar negara akan menyimpan mata uang asing untuk memperdagangkan barang-barang ini, tetapi kekurangan valuta asing di Sri Lanka disalahkan atas tingginya harga.

\r\n\r\n

Dari kasus inilah, publik mulai kritis dan bertanya-tanya, apakah benar krisis yang terjadi di Sri Lanka itu disebabkan hubungannya dengan Tiongkok, ataukah sebenarnya krisis itu disebabkan oleh jebakan utang Bank Dunia atau IMF yang telah berjalan sejak tahun 1965?.

\r\n\r\n

Kami akan ulas dan memberikan jawaban secara logis, bagaimana pandangan masyarakat global yang telah terpengaruh oleh media-media barat yang mengatakan bahwa hubungan ekonomi Sri Lanka dengan Tiongkok adalah pendorong utama di balik krisis tersebut. Lucunya, Amerika menyebut fenomena ini sebagai diplomasi jebakan utang, hanya untuk menutup kedok mereka yang selama ini sebenarnya telah menjebak banyak negara dengan utang yang berkepanjangan melalui Bank Dunia atau IMF.

\r\n\r\n

Dari sinilah negara atau lembaga kreditur memberikan utang kepada negara peminjam untuk meningkatkan pengaruh politik pemberi pinjaman, artinya jika peminjam memperluas dirinya sendiri dan tidak dapat membayar kembali uangnya, mereka berada dalam belas kasihan kreditur.

\r\n\r\n

Namun, pada faktanya pinjaman dari Tiongkok hanya menyumbang sekitar 10 persen dari total utang luar negeri Sri Lanka sejak tahun 2017. Bahkan data terakhir dari pemerintah Sri Lanka pada tahun 2021, Porsi terbesar utang Sri Lanka masih dipegang oleh pasar finansial melalui penerbitan obligasi, dengan nilai 16,383 miliar dolar Amerika atau setara 47% dari total utang. Kemudian ada juga utang ke Bank Pengembangan Asia sebesar 13% dari total utang. Ada lagi Jepang, yang beda tipis dengan Tiongkok sekitar 10% dari total utang Sri Lanka.

\r\n\r\n

Berdasarkan data tersebut nampak jelas bahwa pinjaman Tiongkok hanya mencakup 10% dari total hutang Sri Lanka, mungkinkah 10% pinjaman menyebabkan jebakan utang bagi Sri Lanka?. Mereka yang paham Ekonomi Keuangan pasti sudah tersenyum skeptik. Data ini saja sudah cukup untuk meragukan kebenaran masalah jebakan utang di Sri Lanka.

\r\n\r\n

Menurut Dushni Weerakoon dan Sisira Jayasuriya, keduanya adalah akademisi Monash University, dalam tulisannya di East Asia Forum menyatakan bahwa, krisis hutang Sri Lanka tidak ada kaitannya dengan hutang Tiongkok, yang mencakup 10% dari total hutang Sri Lanka. Hutang Tiongkok ini seluruhnya dalam bentuk pinjaman dengan persyaratan konsesi.

\r\n\r\n

Pinjaman dengan Persyaratan Konsesi memiliki masa angsuran yang Panjang, biasanya 30 hingga 40 tahun dengan tingkat bunga yang sangat rendah, yaitu sekitar 1% - 2% pertahun, sehingga menjadi pinjaman yang sangat ringan.

\r\n\r\n

Apa yang menjadi masalah bagi Sri Lanka saat ini adalah pada jumlah hutang jauh lebih besar yaitu pinjaman pasar yang berasal dari lembaga-lembaga keuangan Barat yang 47% tadi dan pinjaman Bank Dunia 9% sehingga total mencapai 55% dari utang Sri Lanka. Bunga dari kedua pinjaman tersebut lebih tinggi dari bunga pasar sehingga setiap tahun membebani keuangan pemerintah Sri Lanka rata-rata 5 miliar dolar untuk bunga dan angsuran saja.

\r\n\r\n

Akibatnya pemerintah Sri Lanka mengalami krisis keuangan, dan untuk mengatasi masalah ini konsultan Bank Dunia atau IMF menyarankan untuk menyewakan Pelabuhan Hambantota yang saat itu dikelola Otoritas Pelabuhan Sri Lanka, namun terus menerus defisit sehingga menjadi beban keuangan pemerintah.

\r\n\r\n

Akhirnya yang memenangkan penyewaan adalah China Merchant Port atau Pelabuhan Pedagang Tiongkok yang menyuntikan dana sebesar 4 miliar dolar berupa pembayaran ke pemerintah Sri Lanka dan masih ditambah 1 miliar dolar investasi untuk peningkatan fasilitas dan peralatan pelabuhan Hambantota.

\r\n\r\n

Jadi jelas, Sri Lanka menyewakan pelabuhan tersebut selama 99 tahun kepada Kelompok Pedagang Tiongkok, yang membayar Sri Lanka sebesar 1,12 miliar dolar Amerika justru memperkuat cadangan devisa Sri Lanka sebesar 1,12 miliar dolar pula, sehingga kegagalan pelabuhan Hambantota tidak menyebabkan krisis neraca pembayaran. Dengan demikian, jelas krisis keuangan pemerintah Sri Lanka tidak ada kaitannya dengan hutang Tiongkok. Lalu, apa sebenarnya penyebab krisis?.

\r\n\r\n

Pasca kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, pertanian Sri Lanka didominasi oleh tanaman yang berorientasi ekspor seperti teh, kopi, karet dan rempah-rempah. Sebagian besar produk domestik brutonya berasal dari devisa yang diperoleh dari mengekspor tanaman ini. Uang itu digunakan untuk mengimpor bahan makanan penting.

\r\n\r\n

Selama bertahun-tahun, negara ini juga mulai mengekspor garmen dan mendapatkan devisa dari pariwisata dan pengiriman uang. Setiap penurunan ekspor akan datang sebagai kejutan ekonomi dan menempatkan cadangan devisa di bawah tekanan.

\r\n\r\n

Untuk alasan ini, Sri Lanka sering mengalami krisis neraca pembayaran. Sejak tahun 1965 dan seterusnya, ia memperoleh 16 pinjaman dari Dana Moneter Internasional atau IMF. Masing-masing pinjaman ini datang dengan persyaratan termasuk bahwa, setelah Sri Lanka menerima pinjaman, ia harus mengurangi defisit anggarannya, mempertahankan kebijakan moneter yang ketat, memotong subsidi pemerintah untuk makanan bagi rakyat Sri Lanka dan mendepresiasi mata uang sehingga ekspor akan menjadi lebih layak.

\r\n\r\n

Tetapi biasanya, dalam periode kemerosotan ekonomi, kebijakan fiskal yang baik menentukan bahwa pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak untuk menyuntikkan stimulus ke dalam perekonomian. Ini menjadi tidak mungkin dengan kondisi IMF. Terlepas dari situasi ini, pinjaman IMF terus datang, dan ekonomi yang terkepung menyerap lebih banyak utang.

\r\n\r\n

Pinjaman IMF terakhir ke Sri Lanka adalah pada 2016. Negara itu menerima 1,5 miliar dolar Amerika selama tiga tahun dari 2016 hingga 2019. Kondisinya sudah biasa, dan kesehatan ekonomi menukik tajam selama periode ini. Pertumbuhan, investasi, tabungan dan pendapatan turun, sementara beban utang meningkat.

\r\n\r\n

Situasi buruk berubah menjadi lebih buruk dengan dua guncangan ekonomi pada 2019. Pertama, serangkaian ledakan bom di gereja-gereja dan hotel-hotel mewah di Kolombo pada April 2019. Ledakan tersebut menyebabkan penurunan tajam dalam kedatangan wisatawan, bahkan beberapa laporan menyatakan penurunan hingga 80 persen, dan menguras cadangan devisa.

\r\n\r\n

Kedua, pemerintahan baru di bawah Presiden Gotabaya Rajapaksa memotong pajak secara tidak rasional. Tarif pajak pertambahan nilai dipotong dari 15 persen menjadi 8 persen. Pajak tidak langsung lainnya seperti pajak pembangunan negara, pajak bayar sesuai pendapatan, dan biaya layanan ekonomi dihapuskan. Tarif pajak perusahaan diturunkan dari 28 persen menjadi 24 persen. Sekitar 2 persen dari produk domestik bruto hilang dalam pendapatan karena pemotongan pajak ini.

\r\n\r\n

Pada Maret 2020, pandemi COVID-19 melanda. Pada April 2021, pemerintah Rajapaksa kembali melakukan kesalahan fatal. Untuk mencegah terkurasnya cadangan devisa, semua impor pupuk dilarang total. Sri Lanka dinyatakan sebagai negara pertanian organik 100 persen. Kebijakan ini, yang ditarik pada November 2021, menyebabkan penurunan drastis dalam produksi pertanian dan lebih banyak impor diperlukan.

\r\n\r\n

Tapi cadangan devisa tetap di bawah tekanan. Turunnya produktivitas teh dan karet akibat larangan pemupukan juga menyebabkan turunnya pendapatan ekspor. Karena pendapatan ekspor yang lebih rendah, sedikit uang yang tersedia malah digunakan untuk mengimpor makanan, akhirnya terjadi kelangkaan makanan, dan menimbulkan inflasi hingga 17,5 persen pada Februari 2022 lalu.

\r\n\r\n

Kemungkinan besar, Sri Lanka sekarang akan memperoleh pinjaman IMF ke-17 untuk mengatasi krisis saat ini, yang akan datang dengan kondisi baru. Namun, kebijakan fiskal deflasi akan diikuti, yang selanjutnya akan membatasi prospek kebangkitan ekonomi dan malah akan memperburuk penderitaan rakyat Sri Lanka.

\r\n\r\n

 

\r\n\r\n

Agar lebih jelas, silahkan kunjungi link Ini: https://www.youtube.com/watch?v=VHg5VbVgxSE

Komentar

Berita Lainnya