Senin, 9 Agustus 2021 2:53:10 WIB

Kesaksian WNA Merasa Diperas saat Karantina Covid di Jakarta
Tiongkok

Kinar Lestari

banner

Ilustrasi

Tak hanya orang Indonesia, sejumlah warga negara asing (WNA) juga ternyata merasa diperas dan dicurangi saat menjalani karantina dan isolasi Covid-19 setibanya di Jakarta.

Seorang warga Amerika Serikat, Michaela (bukan nama sebenarnya), awalnya merasa biasa saja ketika tiba di Indonesia bersama suaminya pada akhir Juni lalu.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat itu, ia menjalani karantina di Hotel Borobudur, Jakarta, selama lima hari. Di hari pertama, Michaela mengikuti tes Covid-19 di hotel dan dinyatakan negatif.

Michaela bersama suaminya pun bernapas lega. Ia hanya harus menjalani karantina lima hari ke depan, pikirnya kala itu.

Namun, semuanya berubah ketika ia harus menjalani tes Covid-19 kedua kali, sehari sebelum masa karantina usai.

"Jam 8 pagi dites, malam diberi tahu, sekitar pukul 10 malam bahwa saya ternyata positif. Itu sudah malam. Kami sudah tidak bisa apa-apa," ujar Michaela kepada CNNIndonesia.com.

Ia lanjut bercerita, "Saya langsung diberi tahu bahwa saya akan diberangkatkan ke hotel isolasi di Hariston malam-malam itu juga, dipisah dari suami saya, dan harus mau membayar ambulans Rp2 juta tunai."

Dalam suasana kalut, Michaela mengendus sejumlah kejanggalan dan merasa tersudut. Pertama, ia didesak langsung naik ke ambulans dengan biaya cukup tinggi, yaitu Rp2 juta, untuk perjalanan dari Hotel Borobudur ke Hotel Hariston yang berjarak sekitar 10 kilometer.

"Saya ditelepon berkali-kali oleh hotel, 'Jam berapa bisa dijemput ambulans?' Kenapa saya diburu-buru seolah-olah saya ini kena serangan jantung, harus dibawa langsung ke rumah sakit dengan ambulans? Sedangkan ambulans saat itu sedang dibutuhkan banyak rumah sakit," tutur Michaela.

Ia semakin bingung karena seperti tidak ada patokan biaya pasti untuk ambulans ini. Awalnya, staf Hotel Borobudur mengatakan bahwa Michaela harus membayar Rp2 juta tunai.

Namun, ketika Michaela mengaku tak punya uang tunai, ia diperbolehkan membayar menggunakan kartu kredit. Saat melihat bukti pembayaran, tertera tulisan Rp1,7 juta untuk ambulans, ditambah Rp300 ribu biaya potongan karena menggunakan kartu. Total, Rp2 juta disedot dari kartunya.

Michaela semakin merasa diperlakukan tidak adil karena setelah bertemu dengan beberapa orang lain, pengalamannya berbeda-beda; seperti tak ada standar aturan.

"Saya bingung sekali. Di kemudian hari, saya ketahui ternyata tidak semua diangkut ambulans. Banyak yang pakai taksi juga. Kalau pakai taksi dari Hotel Borobudur ke Hotel Hariston, itu kan cuma 17 menit," katanya.

Koordinator Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, mengatakan bahwa kendaraan dari hotel karantina sebenarnya tidak memakai ambulans.

"Untuk kendaraan rujukannya disiapkan oleh hotel karantina dalam bentuk bukan ambulans. Yang penting sopir dan pendamping pakai APD lengkap dan setelah selesai, kendaraan tersebut dilakukan dekontaminasi," kata Imran.

Salah satu staf hubungan masyarakat Hotel Borobudur, Karina Eva, lantas buka suara. Saat pertama kali ditanya CNNIndonesia.com, Karina mengatakan bahwa biaya ambulans atau mobil antaran lainnya menuju hotel isolasi dipatok Rp1,5 juta.

Namun, saat ditanya lebih lanjut mengenai pengalaman Michaela, Karina mengaku tak tahu betul kejadiannya karena WNA itu tak mau diungkap identitasnya. Ia hanya bisa menyelidiki kemungkinan-kemungkinan kejadian.

Karina membahas bahwa saat itu, kemungkinan Hotel Hariston sebagai tempat isolasi sedang kehabisan armada penjemputan sehingga pihak Hotel Borobudur mencarikan ambulans dari pihak ketiga.

Ilustrasi isolasi mandiri di rumah kala pandemi Covid-19. CNN Indonesia/Andry Novelino\Ilustrasi isolasi Covid-19. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

"Adapun biaya ambulans dari pihak ketiga tersebut adalah Rp1,7 juta, kemudian ditambah biaya handling fee dan tax jadi Rp2 juta, dan itu langsung dibayar ke pihak hotel," ucap Karina.

Penjelasan ini kembali menimbulkan pertanyaan karena menurut Kemenkes, mobil pengantar untuk ke hotel isolasi seharusnya disediakan hotel karantina, dalam hal ini Hotel Borobodur.

Salah satu staf Hotel Hariston, Riki, kemudian menjelaskan bahwa hotel karantina seperti Hotel Borobudur memang dapat meminta bantuan pihaknya jika kekurangan armada.

"Jika ada dari hotel karantina yang minta dibantu penjemputan, kadang dibantu. Jika mobil operasional Hariston jadwal sedang kosong, kami bantu penjemputan dan tanpa dipungut biaya," ucap Riki.

Michaela pun merasa jengkel karena dari sistem pembiayaan transportasi dari hotel karantina menuju isolasi saja berbeda-beda; ada yang gratis dan berbayar. Namun, ia merasa dipaksa untuk membayar sesuatu yang sebenarnya tak perlu.

"Saya membayar Rp1,9 juta untuk ambulans yang tidak saya perlukan karena itu ternyata bukan prosedur. Di ambulans pun tidak ada sekat antara saya dan sopir. Saya waktu itu setuju saja karena saya diberi tahu bahwa jika saya menolak, saya akan dideportasi," katanya.

Michaela akhirnya mengikhlaskan Rp2 juta itu melayang. Setelah itu, ia harus kembali merogoh kocek untuk membayar biaya isolasi selama 14 hari di Hotel Hariston dengan total sekitar Rp15,4 juta.

Berdasarkan aturan dalam Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 8 Tahun 2021, WNA terdeteksi positif corona memang harus menjalani isolasi selama 14 hari di fasilitas yang sudah ditentukan dengan biaya ditanggung mandiri.

Michaela sebenarnya bersedia membayar belasan juta jika ia memang positif Covid-19. Kendati demikian, Michaela dongkol karena tak diperbolehkan melakukan tes corona ulang secara mandiri agar yakin betul bahwa ia memang benar-benar positif Covid.

"Ada keanehan. Saya minta dites lagi, tidak boleh. Saya tidak boleh mendatangkan lab independen. Saya tidak boleh ditengok. Saya seperti dipenjara, padahal CT saya cukup tinggi di angka 38 saat itu," tutur Michaela.

\

Sejuta Tanda Tanya soal PCR Pembanding saat Isolasi

Dalam jumpa pers virtual pertengahan Juli lalu, perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa WNI/WNA diperbolehkan mengikuti tes ulang di tiga laboratorium yang sudah ditunjuk, yaitu RSPAD, RSCM, dan RS Polri.

Izin itu tercantum dalam Surat Keputusan Kasatgas Covid-19 nomor B.84.A. Namun, Kapusdatinkom BNPB, Raditya Jati, mengatakan bahwa prosedur detail mengenai tes ulang tersebut masih dalam proses pembahasan karena surat Kasatgas Covid-19 baru keluar pada 7 Juli.

Meski demikian, Kasubdit Karantina Kesehatan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Benget Saragih, mengatakan kepada CNNIndonesia.com bahwa aturan itu sudah mulai diberlakukan di lapangan.

"Semua yang positif sudah dijelaskan ketentuan-ketentuan yang dilakukan jika CT di atas 30, boleh melakukan pemeriksaan ulang PCR, dan kalau masih positif diminta untuk isolasi di fasilitas isolasi terpusat," ucap Benget.

Perwakilan tim dokter di Hotel Hariston, Mariya, juga mengakui bahwa WNI/WNA yang diisolasi di hotel itu sudah mulai diperbolehkan melakukan tes ulang Covid-19 sejak ia ditugaskan di sana beberapa pekan lalu.

"Sejak saya di Hariston, saya perbolehkan. Tidak boleh merebut hak orang lain. Sebelum (Mariya di Hariston), saya tidak tahu," kata Mariya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

Walau demikian, Mariya menegaskan bahwa WNI/WNA tetap tak boleh meninggalkan hotel isolasi meski dinyatakan negatif Covid-19 sebelum 14 hari.

"Jika hasil negatif sebelum 14 hari, tidak mengurangi masa isolasi karena PCR tidak mampu sepenuhnya menjamin negatif yang bersih, atau negatif tetapi carrier. Yang mampu dipegang hanya masa hidup virus. Dalam jurnal, ada 10 hari dan 14 hari. Kebijakan negara menetapkan 14 hari," katanya.

Terlepas dari penjelasan Mariya, Katarina tetap merasa diperlakukan tidak adil. Saat masih di Hotel Hariston, ia sempat mendengar ada orang yang diperbolehkan menyelesaikan masa isolasi sebelum waktunya karena punya kenalan pihak kepolisian.

"Waktu itu saya dengar dari grup WhatsApp, ada polisi datang ke hotel. Saya pikir, polisi mau datang bawa laboratorium baru. Yang kemudian saya ketahui adalah Pak Muljono yang dites ulang dan berhasil keluar dari situ karena punya koneksi polisi, menurut Majalah TEMPO," tutur Katarina.

Majalah TEMPO memang sempat melaporkan mengenai seorang warga negara Indonesia (WNI) bernama Muljono yang berhasil keluar dari Hotel Hariston setelah menjalani tes ulang berkat kenalannya dari kepolisian.

"Kalau ini memang peraturan, kenapa dia berhasil? Apakah karena dia punya koneksi polisi? Kenapa kami semua tidak diizinkan? Ketidakseragaman itu yang membuat orang bertanya-tanya," tutur Katarina.

Menanggapi laporan ini, Mariya selaku tim dokter di Hotel Hariston menyalahkan pihak aparat yang meloloskan WNI tersebut.

"Polisi kerja yang bener dong. Yang harus karantina dilepas. Apa enggak bahaya?" ucapnya.

Ia kemudian berkata, "Yang pada enggak mau karantina ini yang bertanggung jawab atas kematian hampir 2.000 orang saat ini. Kebijakan yang salah yang mestinya bertanggung jawab."

Komentar

Berita Lainnya