Jumat, 23 Juli 2021 7:27:20 WIB

Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Masih Tinggi di Kabupaten Blitar
Tiongkok

Angga Mardiansyah

banner

DPPKBP3A Pemkab Blitar/Foto: Erliana Riady/detikcom

Hari ini merupakan Hari Anak Nasional. Di Kabupaten Blitar, kasus kekerasan seksual pada anak masih terbilang tinggi.

Dalam data dari Dinas Pengendalian Penduduk, KB, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Pemkab Blitar, sejak Januari sampai Juni 2021 ada 29 kasus di mana anak menjadi korbannya. Dengan rincian, kasus kekerasan seksual sebanyak 11, pencabulan ada enam, human trafficking ada dua, kekerasan fisik delapan kasus dan anak berhadapan hukum (ABH) ada dua kasus. ABH di sini adalah anak sebagai korban, anak merupakan pelaku dan anak sebagai saksi.

"Dari jumlah itu, masih seperti tahun sebelumnya kekerasan seksual mendominasi dengan jumlah 11 kasus. Dan dari konseling kami, pelaku masih dilakukan oleh orang-orang terdekat korban," kata Kepala DPPBP3A Pemkab Blitar, Eka Purwanta kepada detikcom, Jumat (23/7/2021).

Jumlah ini, menurut Eka, naik dibandingkan tahun 2020. Pada periode yang sama sejak Bulan Januari sampai Juni, hanya ada 25 kasus. Tercatat, kasus anak berhadapan dengan hukum di Kabupaten Blitar selama tahun 2020 sebanyak 45 kasus.

Bagi Eka, kondisi pandemi tidak berpengaruh signifikan pada kenaikan kasus. Eka menilai, masyarakat semakin terbuka dan berani melaporkan kasus ini kepada pihaknya dan aparat penegak hukum. Gencarnya sosialisasi pentingnya hak hukum bagi korban sampai ke level keluarga, dinilai sangat efektif membuka tabir kasus yang sebelumnya hanya sebatas aib bagi keluarga dan korban."Mereka secara sukarela melapor ke kami atau polisi. Mereka seperti punya tempat untuk curhat dan memang butuh perlindungan. Karena rata-rata korban itu masih di tingkat sekolah dasar, sehingga peran orang tua ini sangat penting untuk melaporkan ke P2TP2A," ungkapnya.

Tupoksi P2TP2A, lanjut Eka, melakukan pendampingan secara hukum dan psikologi anak. Bidang Hukum P2TP2A Kabupaten Blitar, Yulis Hastuti menjelaskan, pada beberapa kasus kekerasan seksual pada anak, ada yang dilaporkan ke kepolisian langsung, ada juga yang dilaporkan ke satgas PPA di desa atau kelurahan.

Laporan dugaan kasus kekerasan seksual pada anak kemudian didalami dengan mendatangi langsung keluarga korban dan korban. Ini untuk memastikan, para korban secara perbuatan mengalami dan memang menjadi korban. Layanan P2TP2A sebelum dugaan kasus ini menuju ranah hukum, bagi bidang hukum memberikan pemahaman kepada orang tua korban tentang proses hukum.

Sedangkan bidang psikologi, diberikan konseling psikologi agar korban bersedia kasus yang menimpanya dilaporkan ke aparat penegak hukum. Sehingga, baik orang tua maupun korban, mentalnya sudah siap ketika kasusnya dilaporkan ke polisi.

"Kami berharap, P2TP2A selama proses hukum baik di penyidikan, kejaksaan atau pengadilan negeri itu dilibatkan. Tetapi, terkadang kasus yang dilaporkan langsung ke polisi, tidak dikomunikasikan ke kami. Bagi kami ini kendala. Karena orang tua korban dan korban tidak mendapatkan hak pendampingan hukum dan psikologi," jelas Yulis.

Menurut Yulis, ketika masyarakat tidak memahami proses hukum dan haknya di hadapan hukum, penanganan kasus yang sudah dilaporkan terkesan jalan di tempat. Berjalan lambat bahkan tidak direspons dengan cepat.

"Padahal kasus kekerasan seksual pada anak itu serius crime lho," imbuhnya.

"Nah ketika kasus kekerasan seksual pada anak kurang satu alat bukti yaitu adanya saksi, ya itu yang membuat masyarakat takut dan tidak mau melanjutkan ke proses hukum," pungkasnya.detiknewsDalam beberapa kasus kekerasan seksual dan pencabulan, Yulis kerap terkendala lemahnya pembuktian. Penegak hukum memang selalu berpedoman dengan tiga alat bukti. Padahal, apakah kasus tersebut selalu dilihat oleh satu alat bukti. Yakni orang yang melihat atau saksi.

Komentar

Berita Lainnya