Xinjiang, Bharata Online - Saat malam tiba dan pegunungan mulai sunyi, Tudjiang Pana, seorang operator snowcat di sebuah resor ski di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, Tiongkok barat laut, memulai pekerjaannya. Ia berkendara menembus kegelapan yang membekukan untuk merapikan jalur ski hingga sempurna, memastikan kondisi prima bagi para pemain ski keesokan paginya.
Resor Ski Internasional Hemu Jikepulin di Prefektur Altay, Xinjiang, tempat Tudjiang bekerja, telah berkembang menjadi salah satu destinasi ski terbesar di Asia. Resor ini berkembang pesat berkat kualitas saljunya yang luar biasa, hujan salju yang lebat, dan musim ski yang sangat panjang. Selama musim 2024-2025, jumlah pengunjung harian mencapai rekor tertinggi, dengan kerumunan orang memenuhi lereng setiap harinya.
"Mengendarai snowcat membutuhkan keterampilan yang sesungguhnya. Pada suhu minus 35 hingga 40 derajat, salju menjadi sangat keras, dan pola corduroy-nya tidak terbentuk dengan baik. Anda harus menekannya sekali atau dua kali lagi agar pas, dan baru setelah itu permukaannya akan terlihat bagus. Ketika lereng dipersiapkan dengan baik, para tamu akan senang, dan mereka akan bersenang-senang di sini," ujarnya dalam sebuah film dokumenter yang diproduksi oleh China Global Television Network (CGTN).
Selama empat tahun, Tudjiang telah mengukir fajar dari kesunyian. Baginya, perawatan adalah tindakan keyakinan yang tenang, yakni konsisten, presisi, menyiapkan dasar bagi jejak kaki pertama di pagi hari.
Dengan dedikasi seperti itu, Jikepulin terus menunjukkan kecintaan Tiongkok yang semakin besar terhadap olahraga musim dingin.
Berjudul "Xinjiang Dawn to Dusk", serial dokumenter CGTN ini menggunakan sistem penunjuk waktu "shichen" kuno untuk membingkai cerita dalam 12 periode dalam satu hari.
Di Tiongkok kuno, satu hari dibagi menjadi 12 periode atau 12 "shichen", yang masing-masing berlangsung selama dua jam berdasarkan jam saat ini.
Kisah Tudjiang Pana dimuat dalam sebuah episode berjudul "Yinshi: Alur Cahaya Bulan di Atas Kanvas Salju". Orang-orang kuno mengenal Yinshi sebagai titik temu antara bayangan dan fajar.