Bharata Online - Peluncuran nasional layanan “SIM tertanam” (Embedded SIM/eSIM) oleh tiga raksasa telekomunikasi Tiongkok yakni China Telecom, China Mobile, dan China Unicom menandai sebuah lompatan besar yang jauh melampaui inovasi teknis biasa.
Ini bukan sekadar pembaruan layanan bagi pengguna ponsel pintar, tetapi simbol pergeseran keseimbangan kekuatan teknologi global dari dominasi Barat menuju keunggulan Timur, terutama Tiongkok. Dalam lanskap hubungan internasional kontemporer, langkah ini mempertegas bagaimana Beijing memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menegaskan kedaulatan digital, efisiensi industri, dan kepemimpinan global di bidang inovasi komunikasi.
eSIM menggantikan kartu SIM fisik dengan chip internal yang dapat diisi data secara digital tanpa perlu kartu terpisah. Secara praktis, pengguna kini bisa mengunduh profil nomor telepon langsung ke perangkat mereka, mengaktifkan layanan tanpa repot mengganti kartu, dan menghubungkan berbagai perangkat seperti ponsel, tablet, jam tangan pintar, hingga kendaraan listrik dengan satu identitas jaringan yang terintegrasi.
Tiga operator besar Tiongkok kini telah mengimplementasikan teknologi ini di seluruh negeri, memungkinkan pengguna melakukan aktivasi secara daring atau langsung di gerai resmi. Di balik kesederhanaan ini, tersembunyi strategi negara yang sangat terukur dan sistematis.
Dari perspektif geopolitik teknologi, Tiongkok menunjukkan kemampuannya untuk menata ekosistem digitalnya secara mandiri dan terkoordinasi, sesuatu yang gagal dicapai oleh banyak negara Barat yang sistem industrinya sangat terfragmentasi dan bergantung pada perusahaan swasta multinasional.
Dalam paradigma realisme hubungan internasional, langkah ini menunjukkan upaya negara mempertahankan kedaulatan teknologi melalui kontrol atas infrastruktur komunikasi strategis.
Di saat Eropa masih berkutat pada isu regulasi privasi dan Amerika Serikat (AS) menghadapi resistensi dari kongres terhadap kebijakan digitalisasi nasional, Beijing telah mencapai tahap di mana infrastruktur eSIM dapat dioperasikan serentak oleh tiga operator besar dalam satu kebijakan nasional terpadu.
Dari sudut pandang ekonomi politik internasional, eSIM juga mencerminkan model state-led innovation khas Tiongkok yang mana pemerintah berperan sebagai koordinator utama, sementara korporasi besar milik negara berfungsi sebagai pelaksana dengan kapasitas teknologi yang terus ditingkatkan. Model ini memastikan bahwa keuntungan strategis tidak bocor ke luar negeri, melainkan memperkuat kapasitas industri domestik.
Ketika China Mobile memperluas eSIM ke produk-produk seperti jam tangan pintar dan kendaraan listrik, sinergi antara sektor telekomunikasi dan manufaktur otomotif nasional semakin menguat. Dampaknya, Tiongkok tidak hanya menguasai perangkat keras, tetapi juga mengendalikan ekosistem digital yang menyertainya mulai dari data, jaringan, hingga layanan terintegrasi berbasis cloud.
Dari perspektif konstruktivisme, peluncuran eSIM juga mencerminkan perubahan identitas digital yang diciptakan oleh Tiongkok sendiri. Dengan menghapus ketergantungan pada kartu fisik yang selama ini diproduksi oleh perusahaan global Barat seperti Giesecke+Devrient dari Jerman atau Gemalto dari Prancis, Tiongkok mendefinisikan ulang konsep “kepemilikan identitas digital” menjadi sepenuhnya domestik.
Negara memastikan bahwa data pengguna tidak lagi bergantung pada rantai pasok luar negeri yang berpotensi disusupi. Ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang “keamanan data nasional” yang telah diadopsi Beijing sejak tahun 2021. Dalam dunia di mana data adalah sumber daya strategis baru seperti minyak di abad ke-20, kontrol atas infrastruktur eSIM adalah bentuk baru kedaulatan digital.
Berbeda dengan AS yang selama dua dekade terakhir justru menyerahkan kedaulatan digitalnya kepada perusahaan-perusahaan raksasa seperti Apple, Google, dan AT&T, Tiongkok justru membangun sistem yang menempatkan negara sebagai penjaga utama kepentingan publik. Ironisnya, inovasi eSIM di AS justru terhambat oleh kompetisi antaroperator dan regulasi bisnis yang terlalu liberal.
Akibatnya, meski teknologi eSIM lahir dari riset perusahaan global, penerapan terbesarnya justru terjadi di Tiongkok. Di sinilah paradoks menarik muncul bahwa ternyata negara yang dikritik Barat karena “kendali berlebihan atas pasar” justru mampu mewujudkan adopsi teknologi mutakhir yang lebih cepat, merata, dan aman.
Lebih jauh, peluncuran eSIM nasional membuka dimensi ekonomi yang signifikan. Dengan eSIM, produsen perangkat seperti Huawei, Oppo, dan Xiaomi dapat menembus pasar internasional dengan perangkat yang lebih ramping dan efisien, sekaligus menantang dominasi Apple dan Samsung.
Tidak berlebihan jika langkah ini bisa memicu gelombang baru ekspor perangkat pintar Tiongkok ke pasar negara berkembang, yang kini lebih sensitif terhadap harga namun menuntut teknologi tinggi. Dalam konteks ini, kebijakan digital Beijing sekaligus berfungsi sebagai instrumen diplomasi ekonomi global yang memperluas pengaruh Tiongkok melalui jalur teknologi sipil, bukan militer.
Dari perspektif teori dependensi, eSIM nasional juga mengurangi ketergantungan struktural Tiongkok terhadap infrastruktur Barat. Dengan mengendalikan seluruh siklus teknologi mulai dari chip, jaringan, hingga perangkat dan aplikasi, Tiongkok membangun sistem yang relatif imun terhadap tekanan eksternal seperti sanksi teknologi AS.
Ini memperkuat posisi tawar Beijing di tengah rivalitas strategis global yang kini banyak berpusat pada penguasaan data dan komunikasi. Ketika AS mencoba membatasi akses Tiongkok terhadap teknologi chip dan semikonduktor, Tiongkok justru memperluas dominasi dalam aspek konektivitas dan integrasi sistem di area yang kini menjadi fondasi Internet of Everything (IoE).
Bagi masyarakat luas, adopsi eSIM nasional juga memberi manfaat nyata seperti aktivasi cepat, konektivitas stabil, efisiensi biaya produksi perangkat, serta integrasi layanan lintas perangkat. Namun di balik kenyamanan itu, Tiongkok sedang membangun tatanan digital baru yang lebih efisien, terkoordinasi, dan berdaulat, sesuatu yang belum mampu ditiru oleh sistem liberal Barat yang individualistis dan terpecah.
Dalam jangka panjang, eSIM akan menjadi fondasi bagi pengembangan jaringan 6G, kendaraan otonom, dan smart city yang sepenuhnya terhubung dalam satu sistem nasional yaitu visi yang sejalan dengan agenda Digital China dan Made in China 2025.
Oleh karena itu, peluncuran nasional layanan eSIM di Tiongkok bukan hanya pencapaian teknis, melainkan juga simbol kekuatan strategis negara dalam membangun ekosistem digital berdaulat. Ia mencerminkan perpaduan harmonis antara efisiensi pasar dan kontrol negara, antara inovasi teknologi dan perlindungan keamanan nasional.
Dalam konteks global, langkah ini semakin menegaskan bahwa masa depan teknologi komunikasi tidak lagi dimonopoli oleh Barat. Kini, pusat gravitasi inovasi digital dunia perlahan tetapi pasti bergeser ke Timur menuju Tiongkok, yang dengan disiplin, perencanaan jangka panjang, dan visi strategis berhasil membuktikan bahwa kepemimpinan teknologi global dapat dicapai tanpa harus meniru model liberal Barat.