Tiongkok kembali mencatatkan langkah besar dalam pembangunan infrastruktur sains global dengan memulai proyek pembangunan Teleskop Submilimeter 15 meter Xueshanmuchang (XSMT) di Delingha, Provinsi Qinghai, pada ketinggian sekitar 4.800 meter di Dataran Tinggi Qinghai-Xizang. Proyek ini dipimpin oleh Observatorium Gunung Ungu (Purple Mountain Observatory/PMO) di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok dan dijadwalkan selesai pada tahun 2027. Dari segi teknis, XSMT akan menjadi teleskop gelombang submilimeter canggih pertama yang sepenuhnya dikembangkan oleh Tiongkok, dengan diameter 15 meter dan kemampuan untuk mengamati panjang gelombang antara 0,1 hingga 1 milimeter. Rentang ini membuka jendela pada fenomena kosmik yang tidak dapat ditangkap teleskop optik maupun inframerah dekat, seperti distribusi debu antarbintang, awan molekul yang menjadi asal-usul bintang, hingga molekul kompleks yang relevan bagi asal-usul kehidupan. Dalam konteks ilmiah murni, XSMT menjanjikan kontribusi besar dalam empat bidang utama: astronomi ekstragalaksi, struktur Bima Sakti, astronomi domain waktu, dan astrokimia.
Pemilihan lokasi pembangunan di “atap dunia” bukanlah kebetulan. Pengamatan submilimeter sangat sensitif terhadap kandungan uap air di atmosfer, yang dapat menyerap dan mengganggu sinyal. Dataran Tinggi Qinghai-Xizang memiliki kondisi yang hampir ideal: ketinggian ekstrem, udara kering, serta campur tangan manusia yang minim. Karakteristik ini sejajar dengan alasan dibangunnya teleskop-teleskop kelas dunia lain, seperti ALMA di Gurun Atacama, Chili, atau JCMT di Mauna Kea, Hawaii. Dengan demikian, XSMT tidak hanya mengisi kesenjangan infrastruktur astronomi di Tiongkok, tetapi juga menempatkan negara ini dalam liga elite pengamat kosmos yang mampu mengakses wilayah spektrum paling menantang namun paling menjanjikan.
Namun, pembangunan teleskop ini tidak hanya dapat dipahami dari sudut pandang sains murni. Jika dilihat melalui berbagai paradigma hubungan internasional, proyek ini mencerminkan dinamika yang lebih luas antara ilmu pengetahuan, kekuasaan, dan politik global.
Dari perspektif realis, negara menggunakan sains sebagai instrumen kekuasaan. Kemandirian Tiongkok dalam membangun teleskop ini menjadi penanda bahwa mereka tidak mau bergantung pada teknologi luar negeri. Dalam era di mana teknologi mutakhir sering dijadikan alat tekanan geopolitik, penguasaan penuh atas infrastruktur ilmiah berteknologi tinggi adalah bentuk akumulasi kapabilitas strategis. Fakta bahwa XSMT digadang sebagai teleskop submilimeter canggih pertama yang dikembangkan secara mandiri memperkuat pesan bahwa Tiongkok ingin mengurangi kerentanan terhadap embargo atau pembatasan teknologi. Sama seperti Amerika Serikat membangun proyek-proyek besar sains pada abad ke-20 untuk memperkuat posisinya, Tiongkok kini melangkah ke arah serupa sebagai bagian dari perlombaan teknologi global.
Sementara itu, pendekatan liberal melihat proyek ini dari sisi kolaborasi. Ilmu pengetahuan modern, terutama di bidang astronomi, sangat jarang dilakukan sendirian. Event Horizon Telescope (EHT), yang berhasil menghasilkan citra lubang hitam pertama, hanyalah mungkin karena adanya jaringan global teleskop yang bekerja bersama dalam skema interferometri garis dasar sangat panjang (VLBI). Jika XSMT masuk ke dalam jaringan generasi berikutnya (ngEHT), Tiongkok akan memegang posisi penting dalam konsorsium ilmiah global. Ini membuka peluang bagi diplomasi ilmiah, pertukaran data, dan kerja sama lintas batas yang pada akhirnya bisa mengurangi ketegangan politik. Di dunia yang penuh rivalitas, proyek sains besar justru bisa menjadi jembatan kerja sama.
Pandangan konstruktivis menambahkan dimensi simbolik. Proyek seperti XSMT tidak hanya menciptakan data ilmiah, tetapi juga membangun narasi identitas. Bagi Tiongkok, sains adalah bagian dari “kebangkitan bangsa” (national rejuvenation). Sama seperti Teleskop FAST yang dijuluki “telinga Tiongkok yang mendengarkan alam semesta”, XSMT akan menjadi simbol bahwa bangsa ini mampu “melihat lebih jauh” ke jagat raya. Simbolisme ini tidak bisa diremehkan: ia mengokohkan kebanggaan nasional, memberi legitimasi politik domestik, dan mengubah cara dunia memandang Tiongkok sebagai pusat ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, sains menjadi bagian dari soft power yang membentuk persepsi global.
Analisis ekonomi-politik menyoroti bahwa proyek ini juga berfungsi sebagai motor pengembangan teknologi dalam negeri. Pembangunan teleskop membutuhkan kemajuan dalam berbagai bidang: optik presisi, sistem kriogenik, detektor frekuensi tinggi, hingga pemrosesan big data. Semua itu bisa menimbulkan efek limpahan (spillover) ke industri lain, mempercepat modernisasi industri nasional, dan mendukung strategi “Made in China 2025” yang bertujuan menguasai teknologi bernilai tinggi. Dengan begitu, XSMT bukan hanya instrumen ilmiah, tetapi juga investasi jangka panjang dalam daya saing industri.
Namun, proyek sebesar ini juga menimbulkan dilema. Di satu sisi, kolaborasi internasional sangat penting untuk memastikan hasil sains terbaik. Di sisi lain, keterbukaan membawa risiko ketergantungan dan kerentanan terhadap tekanan politik. Oleh karena itu, Tiongkok tampaknya memilih strategi ganda: memperkuat kemandirian teknologi sambil tetap membuka pintu untuk kerja sama internasional yang selektif. Strategi semacam ini juga tampak dalam sektor lain, misalnya semikonduktor atau energi terbarukan.
Tidak kalah penting adalah aspek lingkungan dan sosial. Dataran Tinggi Qinghai-Xizang dikenal sebagai “Kutub Ketiga” dan merupakan sumber air vital bagi Asia. Ekosistemnya rapuh, mudah terganggu oleh perubahan iklim maupun aktivitas manusia. Pembangunan teleskop besar dengan fasilitas pendukung berpotensi mengubah habitat lokal, memengaruhi permafrost, serta berdampak pada masyarakat penggembala setempat. Oleh karena itu, agar manfaat ilmiah tidak harus dibayar dengan kerusakan ekologi atau marginalisasi sosial, standar lingkungan dan konsultasi masyarakat harus menjadi bagian integral dari proyek ini.
Jika dibandingkan dengan observatorium global, XSMT akan menempatkan Tiongkok di kelas instrumen single-dish sebanding dengan James Clerk Maxwell Telescope (JCMT) di Hawaii. Namun, keunggulan XSMT terletak pada kemungkinan partisipasi dalam jaringan interferometri global seperti ngEHT, yang memungkinkan pencitraan lubang hitam secara dinamis. Dengan demikian, potensi dampaknya bukan hanya bersifat nasional, tetapi juga internasional.
Kesimpulannya, pembangunan XSMT menunjukkan bahwa sains besar di abad ke-21 tidak bisa dipisahkan dari politik global. Teleskop ini akan memperkuat posisi Tiongkok sebagai kekuatan ilmiah baru, memberi kontribusi nyata bagi pemahaman kosmos, sekaligus menjadi simbol kebangkitan bangsa. Namun, kesuksesan sejati proyek ini tidak hanya ditentukan oleh cermin dan sensor, melainkan juga oleh kemampuan Tiongkok menyeimbangkan kemandirian dengan keterbukaan, kemajuan dengan tanggung jawab lingkungan, serta kebanggaan nasional dengan kolaborasi global. Jika semua itu tercapai, XSMT bisa menjadi bukan sekadar teleskop di dataran tinggi, melainkan jendela bagi umat manusia untuk memahami tempatnya di alam semesta.