Rabu, 9 Juli 2025 10:43:59 WIB

Cendekiawan AS Sebut Pemerintah Jepang Dalang Pencemaran Nama Baik penulis 'The Rape of Nanking'
Tiongkok

Eko Satrio Wibowo

banner

Randy Hopkins, Konsultan di Departemen Sejarah Universitas Negeri Portland (CMG)

AS, Radio Bharata Online - Randy Hopkins, Konsultan di Departemen Sejarah Universitas Negeri Portland, mengatakan pemerintah Jepang berada di balik kampanye hitam terhadap Iris Chang, mendiang penulis Tionghoa-Amerika yang mengungkap detail mengerikan tentang Pembantaian Nanjing yang dilakukan oleh tentara Jepang pada tahun 1930-an.

Chang, yang bernama Tionghoa Zhang Chunru, adalah penulis "The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II", sebuah buku terlaris yang diterbitkan pada tahun 1997.

Pembantaian tersebut, yang berlangsung selama lebih dari 40 hari setelah pasukan Jepang merebut Nanjing, ibu kota Tiongkok saat itu, menewaskan lebih dari 300.000 warga sipil dan tentara tak bersenjata Tiongkok di Nanjing, dan memperkosa 20.000 perempuan pada 13 Desember 1937.

Pada bulan Desember 1998, Chang mengkonfrontasi Duta Besar Jepang untuk AS saat itu, Kunihiko Saito, di televisi Amerika, dan menantangnya untuk meminta maaf atas kengerian tersebut. Ia hanya menjawab bahwa Jepang memang menyadari telah terjadi hal-hal yang sangat disayangkan, dan tindakan kekerasan dilakukan oleh anggota militer Jepang.

"Kami melihat Iris bekerja dengan sangat baik. Dia sangat tangguh. Karena saat itu beliau adalah duta besar Jepang untuk Amerika Serikat, wajar saja kami sangat khawatir. Keesokan harinya, ketika suami saya mengunjungi departemen fisika tempatnya mengajar, seorang temannya menyarankan, 'Kalau aku jadi kamu, aku akan mencarikan pengawal untuk putrimu.' Hal ini membuat saya semakin khawatir," kata ibu Chang, Zhang Yingying.

"Setelah bukunya menjadi buku terlaris New York Times, kekuatan sayap kanan di Jepang yang ingin menutupi bagian sejarah tersebut mulai menyerangnya. Artikel-artikel mereka yang mengkritiknya terus bermunculan di surat kabar Jepang dengan berbagai cara. Salah satu kritikusnya yang paling vokal adalah Joshua Fogel. Ia secara khusus menyasar karyanya, mengklaim bahwa penggunaan kata 'holocaust' dalam judulnya tidak tepat karena, menurutnya, 'holocaust' secara eksklusif merujuk pada pembantaian orang Yahudi selama Perang Dunia II dan tidak seharusnya digunakan untuk menggambarkan pembantaian di Tiongkok. Bahkan, jika Anda mencarinya di kamus, 'holocaust' bukanlah kata yang eksklusif untuk orang Yahudi," jelasnya.

Hopkins, yang ikut menulis buku berjudul "Iris Chang and The Power of One" bersama Zhang, mengatakan bahwa publikasi Jepang seperti Japan Echo, yang didukung oleh pemerintah Jepang, telah terlibat dalam kampanye pencemaran nama baik yang jahat terhadap Chang.

"Itu adalah terbitan berkala bulanan yang diterbitkan dalam bahasa Inggris dan didistribusikan ke negara-negara berbahasa Inggris untuk memberikan gambaran yang baik tentang Jepang. Dan di antara terbitan-terbitan tersebut terdapat serangkaian artikel anti-Iris Chang. Pada tahun 2007, bertepatan dengan peringatan 70 tahun Pembantaian Nanjing, artikel-artikel tersebut diterbitkan dalam bentuk buku. Ketika Kementerian Luar Negeri Jepang menghentikan pendanaan untuk penerbit buku tersebut, mereka mengungkap kebenaran di situs web mereka. Intinya, mereka mengatakan 'kami disponsori oleh Kementerian Luar Negeri Jepang dan sekarang karena mereka tidak mensponsori kami, Japan Echo akan tutup.' Jadi begitulah saya mengetahui tentang keterlibatan Kementerian Luar Negeri Jepang," paparnya Hopkins.

"Dia pernah menerima surat ancaman, berisi dua peluru di dalamnya. Saya hanya tertegun. Dia juga tidak banyak bicara," tambah Zhang.

Pada usia 36 tahun, menderita depresi, Chang bunuh diri.

"Dan setiap kali peringatan itu tiba, perhatian dunia akan kembali tertuju pada apa yang terjadi. Dan saya ingin buku kita ada di sana ketika periode-periode itu tiba, agar versi Iris diceritakan dan diceritakan lagi. Ia menunjukkan kekuatan seseorang untuk menggali bukti dan mengungkap kebenaran, dan saya merasa itu sangat mengagumkan," ujar Hopkins.

"Jika kita gagal melestarikan memori sejarah ini, hal itu akan terulang kembali di masa depan. Itulah sebabnya orang Jepang tidak ingin kita mengingatnya. Mereka mengecilkan dan menutupinya. Namun sebagai korban, kita harus mengingat dan mewariskannya dari generasi ke generasi," tutur Zhang.

Komentar

Berita Lainnya

Petani di wilayah Changfeng Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 14:51:7 WIB

banner
Pembalap Formula 1 asal Tiongkok Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 15:19:35 WIB

banner