Bharata Online - Tiongkok kembali mencatatkan langkah bersejarah di bidang eksplorasi luar angkasa dan kebudayaan global dengan merilis film dokumenter luar angkasa pertama di dunia yang direkam dalam format 8K ultra-definisi tinggi, berjudul Shenzhou 13 atau versi internasionalnya Blue Planet Outside the Window.

Film berdurasi 90 menit ini disutradarai oleh Zhu Yiran dari China Media Group (CMG) dan menampilkan perjalanan enam bulan tiga astronaut Tiongkok yaitu Zhai Zhigang, Wang Yaping, dan Ye Guangfu di stasiun luar angkasa Tiangong dari Oktober 2021 hingga April 2022.

Film tersebut bukan sekadar hiburan ilmiah, melainkan simbol kekuatan teknologi, instrumen diplomasi budaya, dan cermin dari posisi baru Tiongkok dalam percaturan global.

Sejak diluncurkan secara resmi di Beijing pada 5 September, film ini langsung menjadi fenomena nasional dan internasional. Hanya dalam tiga minggu pertama, Shenzhou 13 meraup lebih dari 36 juta yuan atau sekitar 84,5 miliar rupiah di bioskop-bioskop Tiongkok.

Angka ini mencerminkan bukan hanya antusiasme masyarakat, tetapi juga keberhasilan film dokumenter luar angkasa menembus pasar hiburan komersial yang biasanya didominasi film fiksi atau aksi. Para penonton tidak hanya datang untuk menyaksikan keindahan Bumi yang diproyeksikan dari ketinggian 400 kilometer, tetapi juga untuk menyelami sisi humanis dari kehidupan para astronaut.

Mereka terlihat berolahraga, memotong rambut, bermain alat musik, mengajar, hingga merayakan Tahun Baru dengan makan pangsit bersama. Aktivitas ini sederhana, yang ketika dilakukan di luar angkasa menjadi simbol daya tahan, kebersamaan, dan kehangatan manusia di tengah dinginnya kosmos.

Dari perspektif hubungan internasional, fenomena ini dapat dianalisis dalam beberapa kerangka. Pertama, melalui lensa realisme, film ini adalah simbol kekuatan. Sejak era Perang Dingin, keberhasilan luar angkasa selalu dijadikan arena persaingan negara besar.

Amerika Serikat (AS) memamerkan supremasi teknologinya melalui program Apollo, Uni Soviet membangun prestise lewat Sputnik dan Gagarin, kini Tiongkok membuktikan bahwa mereka tidak hanya mampu mengirim astronaut ke orbit dalam jangka panjang, tetapi juga mendokumentasikan pengalaman itu dalam kualitas visual terbaik dunia.

Rekaman 8K dengan kejelasan detail hingga terlihat rambut putih di kepala astronaut Wang Yaping adalah bukti kemampuan teknis luar biasa yang menuntut inovasi peralatan, sistem penyimpanan data, hingga adaptasi kamera agar tahan terhadap kondisi mikrogravitasi. Semua ini menunjukkan kapasitas Tiongkok sebagai negara dengan teknologi luar angkasa kelas dunia yang sanggup bersaing dengan AS dan Barat.

Kedua, dalam kerangka liberalisme, film ini membuka ruang bagi diplomasi sains dan kerja sama budaya. Respons internasional membuktikan bahwa Shenzhou 13 tidak dipandang hanya sebagai propaganda, melainkan sebagai jendela inspiratif.

Akademisi Rusia, pejabat Badan Antariksa Senegal, hingga diplomat dan ilmuwan dari Selandia Baru memuji film ini dan berharap salinannya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lokal mereka.

Bahkan dalam acara diplomatik di Wellington, Selandia Baru, trailer film ini diputar dalam resepsi peringatan 76 tahun berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, dihadiri lebih dari 400 tamu termasuk pejabat pemerintah, utusan asing, dan komunitas akademisi.

Pujian yang datang, misalnya dari Brent Clothier, mantan Presiden Royal Society of New Zealand, yang menekankan pentingnya data visual luar angkasa untuk riset air global, menunjukkan bahwa film ini melahirkan jembatan baru antara ilmu pengetahuan dan diplomasi budaya.

Dengan cara ini, Tiongkok tidak hanya menunjukkan keunggulannya, tetapi juga mengundang negara lain untuk terlibat dalam narasi eksplorasi antariksa yang lebih inklusif.

Ketiga, konstruktivisme menjelaskan bagaimana Tiongkok sedang membangun identitas baru di panggung internasional melalui narasi budaya. Identitas ini bukan semata identitas kekuatan keras (hard power), tetapi sebagai bangsa yang modern, kreatif, inklusif, dan berperan aktif dalam peradaban manusia.

Fakta bahwa Wang Yaping, astronaut perempuan Tiongkok, menjadi narator utama film ini memiliki simbolisme penting bahwa Tiongkok ingin menunjukkan kesetaraan gender dalam pencapaian luar angkasanya.

Narasi kehidupan sehari-hari di orbit, mulai dari olahraga hingga interaksi video call dengan keluarga, membentuk citra bahwa luar angkasa bukan domain eksklusif Barat, tetapi pengalaman universal yang dekat dengan kehidupan manusia. Identitas baru yang ditawarkan adalah bahwa Tiongkok bukan hanya kekuatan ekonomi dan militer, melainkan juga pelopor kemanusiaan dalam menjembatani sains, seni, dan budaya.

Selain itu, dampak film ini juga terasa pada ranah domestik. Seperti para pelajar Tiongkok yang diajak menonton Shenzhou 13 sebagai bagian dari kurikulum sains sekolah. 

Di Beijing, Chongqing, hingga Shaanxi, siswa-siswa SD hingga SMA menyaksikan film ini di bioskop dan kemudian berdiskusi dengan guru serta produser film. Bagi sebagian siswa, seperti Zhang Ruiyuan, menonton dokumenter ini menumbuhkan semangat untuk berkontribusi di bidang luar angkasa. 

Dari perspektif teori nation-building, film ini berperan sebagai instrumen internal untuk memperkuat nasionalisme dan menanamkan inspirasi sains pada generasi muda. Ini adalah bagian dari strategi jangka panjang Tiongkok untuk membangun basis ilmuwan, insinyur, dan teknokrat masa depan yang akan melanjutkan ambisi luar angkasa nasional.

Tak hanya di dalam negeri, di luar negeri film ini juga digunakan sebagai alat pertukaran budaya. Dalam kompetisi bahasa Mandarin Chinese Bridge yang diikuti 195 mahasiswa dari 106 negara, peserta menonton Shenzhou 13 sebagai bagian dari program mereka.

Reaksi mahasiswa dari Spanyol dan Fiji menggambarkan kekaguman mereka atas pencapaian Tiongkok serta perasaan terhormat karena bisa memahami program luar angkasa negara tersebut melalui medium budaya. Dengan demikian, film ini berfungsi ganda selain memperkuat kebanggaan nasional di dalam negeri sekaligus memperluas jangkauan soft power di luar negeri.

Dari sisi teknis, tantangan produksi film ini menegaskan kompleksitas pencapaian. Kamera 8K berformat 50fps yang digunakan hanya bisa merekam 12 menit per kartu memori 1 terabyte. Dengan keterbatasan pasokan kartu, kru hanya membawa 40 kartu, sehingga harus mengatur perekaman dengan sangat cermat karena tidak ada kesempatan pengambilan ulang.

Instruksi pengambilan gambar pun dikirim melalui email, sementara para astronaut diberi daftar khusus dan ruang untuk kreasi bebas. Hasilnya adalah kombinasi antara disiplin ilmiah dan spontanitas manusia, menghasilkan dokumenter yang autentik dan emosional.

Proses panjang ini, mulai dari adaptasi peralatan hingga koordinasi antara astronaut dan tim produksi di Bumi, menggambarkan betapa serius dan detailnya Tiongkok dalam menggarap proyek-proyek yang menggabungkan teknologi tinggi dengan ekspresi budaya.

Respon publik pun sangat beragam dan emosional. Seorang penonton di Hangzhou menggambarkan betapa film ini membuatnya merasakan romantisme program luar angkasa Tiongkok, terutama saat melihat astronaut makan pangsit saat Festival Musim Semi, sebuah simbol kehangatan rumah di tengah dinginnya ruang angkasa.

Penonton lain menyoroti betapa detail resolusi 8K mampu menghadirkan pengalaman visual yang begitu nyata hingga membuat batas antara sains, seni, dan kehidupan sehari-hari terasa kabur.

Di Wenchang, pusat peluncuran roket komersial Tiongkok, lebih dari 230 anggota Partai dan warga umum menonton film ini bersama, menjadikannya bukan hanya hiburan tetapi juga sarana mobilisasi semangat kolektif untuk mendukung perkembangan industri luar angkasa komersial Tiongkok.

Jika kita melihat secara keseluruhan, Shenzhou 13 berhasil memadukan tiga lapis makna sekaligus. Pertama, sebagai karya sinematik, ia menghadirkan keindahan visual luar angkasa dalam kualitas tertinggi yang pernah dicapai umat manusia. Kedua, sebagai instrumen politik luar negeri, film ini memperluas daya tarik Tiongkok di dunia melalui diplomasi budaya, sains, dan pendidikan.

Ketiga, sebagai simbol nasional, ia memperkuat rasa bangga, memotivasi generasi muda, dan meneguhkan identitas Tiongkok sebagai bangsa modern yang berorientasi masa depan. Dalam kerangka teori hubungan internasional, film ini adalah realisme dalam persaingan teknologi, liberalisme dalam peluang kolaborasi global, dan konstruktivisme dalam penciptaan identitas baru.

Namun, pertanyaan penting tetap ada apakah Tiongkok mampu mempertahankan konsistensi dalam narasi ini dan membuktikan bahwa eksplorasi ruang angkasa mereka bukan hanya proyek kekuasaan, melainkan kontribusi nyata bagi umat manusia?

Jika narasi ini diikuti dengan keterbukaan, kerja sama internasional, dan inovasi berkelanjutan, maka Shenzhou 13 akan dikenang bukan hanya sebagai film dokumenter, tetapi juga sebagai simbol awal babak baru peradaban ruang angkasa. Sebaliknya, jika narasi ini tertutup dan hanya dimaknai sebagai propaganda domestik, maka daya tariknya akan terbatas.

Pada akhirnya, Shenzhou 13 mengingatkan kita bahwa luar angkasa bukan hanya arena teknologi, tetapi juga panggung kebudayaan dan diplomasi. Dengan menggabungkan sains, seni, dan cerita manusia, Tiongkok telah menunjukkan bahwa mereka bukan hanya kekuatan besar, tetapi juga penutur kisah peradaban global yang mampu menginspirasi dunia.

Dari orbit 400 kilometer di atas Bumi, film ini mengirim pesan sederhana namun mendalam bahwa ruang angkasa, dengan segala kompleksitasnya, tetaplah bagian dari kehidupan manusia, dan melalui narasi inilah masa depan kita bersama dapat dibentuk.