Kamis, 12 Mei 2022 6:18:21 WIB

Trend Baru Budaya Membaca Buku
Tiongkok

Adelia Astari

banner

Foto: AFP/STR

Budaya membaca, mengapa kita harus membaca?

Membaca merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi yang di tulis. Membaca perlu ditekankan kepada setiap individu sejak kecil. Karena informasi yang paling mudah untuk kita peroleh adalah melalui bacaan, baik koran, majalah tabloid, buku-buku, internet dan lain-lain.

Jadi membaca  tidak boleh di anggap remeh, besarnya rasa cinta membaca sama artinya dengan kemajuan. Artinya, suatu tingkatan minat baca seseorang menentukan tingkat kualitas serta wawasannya.

Kebiasaan membaca sangat perlu untuk ditingkatkan terutama di indonesia. Karena misalnya dalam proses belajar mengajar, mustahil  bisa berhasil tanpa adanya "membaca".

Ada suatu asumsi yang menyatakan budaya membaca lebih penting dari pada sekolah dalam tujuan mencapai kesuksesan, apa benar?

Suka membaca tanpa bersekolah masih berpeluang bagi seseorang untuk mencapai  kesuksesan, karena membaca membuat pola pikir kita  menjadi luas dan tajam. Kemudian juga bisa meningkatkan kreatifitas kita dalam bekerja atau menciptakan lapangan kerja guna mencapai kesuksesan. Sedangkan bila seseorang tidak suka membaca tapi bersekolah, peluang untuk mencapai kesuksesan pastinya berbeda. Saat ini kita jumpai banyak lulusan kuliah yang menganggur. Kenapa ini bisa terjadi? mungkin karena minat bacanya kurang.

Ketika melihat seseorang membaca buku, mungkin sudah biasa, tapi  di Tiongkok sekarang ini sedang tren mendengarkan buku. Tentu, yang namanya mendengarkan pasti audio.

Menurut laporan terbaru, ini mengutip dari pemberitaan people.cn  tentang kebiasaan membaca orang Tiongkok, sebanyak 32,7% orang dewasa  di Tiongkok memiliki kebiasaan mendengarkan buku audio pada tahun 2021 yang lalu. Saat ini di Tiongkok, banyak penerbit merilis  buku baru dalam bentuk cetak bersama dengan versi digital dan audio. Misalnya, pada  bulan April kemarin People's Literature Publishing House di Tiongkok meluncurkan versi digital dan audio dari  buku "The Queen's Gambit" dalam bahasa Tiongkok bersamaan dengan versi cetaknya.

Direktur People's Literature Publishing House Tiongkok, Zhao Chen “Sekarang ini pihaknya semakin sering mengeluarkan atau merilis  buku versi cetak, versi digital, dan buku versi audio secara bersamaan. Jadi orang-orang di Tiongkok sekarang ini semakin banyak pilihan, kalau yang suka membaca beli buku versi cetak, kalau yang suka membaca di HP mungkin pilih ebook atau yang versi audio   jadi  selalu ada pilihan yang mana yang  paling cocok sesuai selera.

Zhao Chen menerangkan, “Pengembangan buku baru versi digital dan audio ini  awalnya berkaitan dengan hak cipta atas isi buku. Jadi saat mereka mencetak buku sering melampirkan pembatas buku dengan kode QR yang menawarkan akses ke versi audionya. Nah ternyata versi audio dari kode QR ini sangat disukai oleh pembaca.”

Salah satu buku audio yang dibuat oleh penulis dan cendekiawan Tiongkok terkenal, Yu Qiuyu, yang telah didengarkan lebih dari 100 juta kali di Ximalaya FM. Jadi sekarang ini platform berbagi audio online di Tiongkok, sudah dibuat juga versi cetaknya dan telah diterima dengan baik oleh masyarakat Tiongkok .

Seorang blogger sains populer di Tiongkok, Zhang Chenliang,  dikabarkan  telah mencapai volume penjualan versi cetaknya lebih dari 900.000 eksemplar. Ia membuat konten  buku-buku  sains untuk anak-anak.

Melihat prospek tersebut hal ini pun bisa menjadi inspirasi bisnis bagi penulis di Indonesia untuk membuat konten buku audio.

Perkembangan audio book atau buku audio ini  juga dipicu oleh perkembangan dari jaringan 5G dan kecerdasan buatan (AI).  Dimana penggunaan Teknologi text-to-speech atau pengubah tulisan menjadi suara  di Tiongkok, sekarang ini sudah menembus setiap tautan pembacaan audio. Jadi saat ini di Tiongkok, konten-konten  audio yang dibuat banyak dibantu oleh  kecerdasan buatan, misalnya seperti novel dan informasi berita, secara bertahap akan muncul dan digunakan oleh media dan aplikasi bacaan yang menyediakan layanan konten buku audio ini.

Teknologi text-to-speech atau pengubah tulisan menjadi suara ini, juga dapat dilakukan dengan  bantuan kecerdasan buatan (AI) dan Big Data atau data besar. Tentunya secara efektif, perkembangan ini dapat meningkatkan efisiensi produksi konten audio. Sejauh ini, konten audio yang dibuat dengan teknologi terbaru ini hampir-hampir  tidak bisa dibedakan mana suara mesin dan  suara manusia.

Saat ini biaya pengembangan buku audio berkualitas tinggi bisa dibilang tidak terlalu mahal. Sebagai contoh, host virtual kecerdasan buatan dapat merekam buku audio dengan lima juta karakter Tiongkok sehari, jadi ini bisa mengurangi biaya produksi lebih dari 90 persen.

Dan dengan perkembangan membaca buku audio, drama radio dan kategori produk audio lainnya sekarang ini masyarakat Tiongkok dapat memenuhi beragam kebutuhan membaca sesuai dengan keinginan mereka.

Jadi kalau dulu kita suka mendengarkan Drama radio, sekarang ini membaca novel misalnya juga bisa sambil mendengarkan ceritanya, dan ini membantu audiens menikmati elemen estetika yang kaya dari buku dengan bantuan suara manusia, musik, dan efek suara.

Kekayaan intelektual atau Intellectual Property, dan mekanisme pasar yang secara bertahap membaik telah menarik sejumlah besar studio, dan penggemar dubbing profesional banyak beralih terjun  ke industri ini.

Bahkan salah satu pendiri studio dubbing di Tiongkok pasca-80-an, Zhang Yiran, mengatakan “Produksi drama audio seperti ini lebih seperti sebuah karya seni. Jadi sekarang ini Zhang Yiran,   sedang mencoba lebih banyak jenis cerita,  seperti misalnya fiksi ilmiah, thriller suspense, dan investigasi kriminal. Ia berharap dapat memberikan lebih banyak pilihan pendengarnya.

Masih kekal di ingatan dahulu beberapa orang tua membacakan cerita kepada anaknya sebelum tidur.

Guru masuk ke kelas dengan membawa buku. Buku-buku itu dibagikan kepada murid-murid nya. Setiap anak mendapat satu buku. Kebanyakan merupakan buku cerita. Kemudian, setiap minggu buku ditukar dengan buku teman lainnya secara bergantian. Guru juga kerap meminta kita membacakan buku dengan keras di depan kelas atau di depan guru.

Dari pengalaman-pengalaman itu, kita bisa  menyimpulkan bahwa membaca buku sebenarnya udah sejak lama menjadi praktik sosial yang menyenangkan baik dalam kehidupan di keluarga dan sekolah.

Dari sinilah, sebenarnya membaca buku menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan dan memberikan dampak berupa budaya membaca yang baik.

Namun, praktik-praktik sosial membaca buku itu kini telah luntur bahkan hilang. Membaca kini telah menjadi praktik sunyi di ruang yang teralienasi.

Di rumah, orang tua lebih sering meminta anaknya untuk belajar (membaca buku) sendiri. Di sekolah juga anak-anak sering diperintah untuk membaca sendiri-sendiri. Membaca dan belajar pun kadang  telah terprivatisasi menjadi ruang individual. Dari sinilah persoalan muncul, terutama pada saat anak-anak merasa bahwa membaca adalah aktivitas yang membosankan.

Inilah yang menjadi kenyataan saat ini. Dapat dikatakan bahwa rendahnya budaya membaca kita salah satu sebabnya mungkin  karena adanya  pergeseran budaya membaca ini. Kalau dulu membaca buku dilakukan secara sosial-kolektif, tapi sekarang membaca merupakan aktivitas personal.

Harapannya, dengan kehadiran buku audio ini bisa menjadi salah satu cara untuk bisa mengembalikan membaca sebagai aktivitas yang  menyenangkan.

Komentar

Berita Lainnya