Selasa, 13 April 2021 2:23:49 WIB

Wali Songo, Kisah Supramanusia Penyebar Islam di Tanah Jawa
Tiongkok

Kinar Lestari

banner

Ilustrasi wali songo. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Wali Songo (sembilan wali) hidup antara abad ke 15-16 M di tanah Jawa. Sosok mereka kerap ditampilkan sebagai supramanusia yang memiliki kesaktian dan karomah.

Kisah wali songo tak resmi diajarkan dalam kurikulum sekolah. Cerita mereka lebih akrab dari sejarah tutur. Wali songo dikisahkan sebagai sosok penting penyebaran Islam dengan memadupadankan Islam dengan kebudayaan nenek moyang.

Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jajat Burhanuddin menyebut bahwa kesaktian Wali Songo yang dituturkan dari masa ke masa merupakan sebuah pengakuan sosial. Konstruksi itu pula yang membuat status wali disematkan kepada mereka.

"Jadi tidak ada satu lembaga dalam Islam yang bisa menjadikan seseorang sebagai wali atau ulama. Itu pengakuan sosial," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (31/3).

"Maka pengakuannya dengan cara yang khas. Pertama digambarkan sosok supramanusia, penuh legenda, dan sebagainya," imbuhnya.

Jajat tak bisa memastikan sejak kapan istilah wali songo mulai populer di masyarakat. Namun, menurut dia, istilah itu muncul dan diberikan oleh generasi ulama atau masyarakat setelahnya.

"Saya yakin istilah itu baru beberapa puluh tahun belakangan," katanya.

Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo (2017), mengutip Simuh (1986), menjelaskan bahwa sembilan dalam wali songo diambil dari kosmologi orang Jawa yang kala itu menganut agama Hindu-Budha. Masyarakat Jawa kala itu meyakini bahwa alam semesta diatur dan dilindungi oleh dewa-dewa penjaga mata angin.

Ada delapan dewa penguasa mata angin, dan satu dewa penguasa arah pusat, yakni Wishnu (Utara), Iswara (Timur Laut), Sambhu (Timur), Maheswara (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Changkara (Barat Laut), dan satu penjaga titik pusat, yaitu Syiwa. Agus menyebut konsep kosmologi dalam Hindu itu yang kemudian diadopsi menjadi wali songo.

Ragam versi

Kitab Walisana menyebut wali songo berjumlah delapan yakni, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Ngudung, Sunan Giri di Giri Gajah, Sunan Makdum di Bonang, Sunan 'Alim di Majagung, Sunan Mahmud di Drajat, dan Sunan Kali Jaga.

Babad Cirebon menyebutkan bahwa wali songo berjumlah sembilan orang yang meliputi, Sunan Bonang, Sunan Giri Gajah, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Syaikh Majagung, Maulana Maghribi, Syaikh Bentong, Syaikh Lemah Abang, dan Sunan, Gunung Jati Purba.

Sementara, ada pula versi yang menyebutkan jumlahnya mencapai 13 orang. Adapun nama lainnya yakni ada, Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubra, dan Syaikh Maulana Maghribi. Ketiganya juga kerap dianggap sebagai bagian dari wali songo. Perbedaan jumlah itu memang kerap menimbulkan kebingungan.

Agus Hermawan dan Roko Patria Jati dalam jurnal 'Studi Islam Nusantara' (2019), menyebut bahwa era wali songo menandai akhir dari era Hindu-Budha di Nusantara. Wali songo adalah simbol penyebaran Islam dan pendirian kerajaan Islam di Jawa. Mulai Kesultanan Cirebon (1430 - 1666), Kesultanan Demak (1500 - 1550), Kesultanan Banten (1524 - 1813 ), atau Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.

Dakwah dilakukan dengan damai. Wali songo melakukan apa yang disebut akulturasi budaya. Ada juga yang menyebut unsur sufistik disampaikan wali songo. Hal itu ditunjukkan dengan sastra-sastra sufistik yang ditulis dalam bentuk tembang, kidung, syair, dan hikayat seperti Serat Sastra Gending karya Sultan Agung, Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, Serat Centhini, Suluk, Suksma Lelana, dan sebagainya.

Selain itu, wali songo juga menggunakan metode dakwah lewat asimilasi pendidikan. Dilakukan dengan mendirikan pendidikan model dukuh, asrama, atau padepokan pesantren.

Komentar

Berita Lainnya