Selasa, 28 September 2021 3:51:51 WIB

Lahan Tambang BUMN 113 Ribu Ha Tumpang Tindih Sama Pihak Lain
Tiongkok

Dewi Kinar Lestari

banner

Lahan tambang milik BUMN seluas 113 ribu hektar lebih milik Antam, Bukit Asam dan PT Timah tumpang tindih dengan pihak lain. (CNN Indonesia/Galih Gumelar).

Holding BUMN Tambang MIND ID mengungkapkan wilayah pertambangan para anak usahanya tumpang tindih dengan pihak lain, mulai dari perusahaan, perkebunan kelapa sawit, hingga wilayah kabel bawah laut. Jika ditotal, luasnya mencapai 113 ribu hektar lebih.

Para anak usaha itu adalah, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Timah (Persero) Tbk.

"Tumpang tindih wilayah pertambangan terjadi di semua wilayah anak perusahaan kami," ucap Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak saat rapat bersama Komisi VII DPR, Senin (27/9).

Direktur Utama Antam Dana Amin mengatakan tumpang tindih wilayah tambang di perusahaannya terjadi di lahan seluas 16.920 hektare (ha) di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara dengan pihak lain yang tidak disebutkan namanya. Padahal, perusahaan mengklaim telah mengantongi sekitar 11 izin usaha pertambangan (IUP) wilayah tersebut sejak 2010.

"Untuk itu, kami lakukan proses hukum yang cukup panjang dari pengadilan sampai Mahkamah Agung (MA) dan pada 24 Oktober 2019, keputusan MA inkrah menyatakan bahwa Antam adalah pemilik sah dari IUP 16.920 ha di Provinsi Sulawesi Tenggara itu," ungkap Dana.

Kendati begitu, Dana mengatakan keputusan MA ini rupanya tidak digubris oleh pihak yang mengklaim lahan Antam. Alhasil, mereka melakukan bukaan dan aktivitas tambang secara ilegal sekitar 500 ha dan membuat potensi kehilangan mineral ore yang cukup besar bagi Antam.

Maka dari itu, perusahaan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi setempat dan kepolisian agar bisa ditindaklanjuti.

"Per hari ini lahan sudah kosong dan kami sedang tunggu revisi RKAB dari Dirjen Minerba untuk persiapan Antam masuk dan mulai tambang," jelasnya.

Sementara Direktur Utama Bukit Asam Suryo Eko Hadianto mengatakan tumpang tindih wilayah tambang perusahaan terjadi dengan PT Musi Hutan Persada (MHP) di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan di lahan seluas 14 ribu ha. Padahal, Bukit Asam sudah mengantongi IUP eksplorasi sejak 1979 dan  IUP produksi pada 2019.

"Sementara Musi Hutan Persada mengantongi izin pengusahaan hutan berdasarkan SK Menteri LHK yang dikeluarkan pada 1996," ujar Suryo.

Atas tumpang tindih ini, Suryo mengatakan Bukit Asam tengah bernegosiasi dengan MHP agar lahan tersebut bisa dikembalikan dengan skema ganti investasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Negosiasi ini ditengahi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Namun ini agak seret sedikit (negosiasinya) karena masing-masing ada perhitungan yang berbeda, sehingga ada perbedaan," imbuhnya.

Lebih lanjut, belum ada kejelasan dari proses penyelesaian masalah tumpang tindih ini. Perusahaan masih terus menunggu hasil negosiasi.

Padahal rencananya, sambung Suryo, lahan tambang itu akan digunakan untuk kegiatan pertambangan yang hasil produksinya akan digunakan sebagai bahan baku bagi PLTU Sumsel 8 dan beberapa proyek hilirisasi batu bara Bukit Asam. Salah satunya untuk mengubah batu bara menjadi DME yang merupakan subtitusi LPG.

Sedangkan Direktur Utama Timah Riza Pahlevi menuturkan tumpang tindih wilayah pertambangan perusahaan terjadi di lahan tambang darat seluas 83 ribu ha dengan kawasan hutan produksi dan perkebunan kelapa sawit. Lokasinya ada di Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Selatan, dan Kabupaten Bangka Barat.

"Dua lokasi (yang tumpang tindih ini dengan kawasan hutan) sebenarnya bisa ditambang, tapi ada proses kami sedang ajukan IPPKH (izin pinjam pakai kawasan hutan)," kata Riza.

Sementara lahan yang tumpang tindih dengan perkebunan kelapa sawit tengah dilakukan negosiasi dan sudah mendapat respons positif dari pemilik perkebunan.

"Kemungkinan di akhir tahun ini atau awal tahun depan, kami sudah bisa mulai menambang di areal perkebunan kelapa sawit itu," terangnya.

Selanjutnya, tumpang tindih lahan juga terjadi di wilayah tambang laut seluas 40 ribu ha, yaitu dengan wilayah yang dinyatakan masuk Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan wilayah kabel bawah laut. Namun, Timah mengklaim aktivitas pertambangan masih bisa dilaksanakan perusahaan sampai IUP berakhir, meski tak disebutkan kapan tenggat waktunya.

Komentar

Berita Lainnya