Kamis, 31 Maret 2022 8:59:16 WIB

Konsep Ekonomi Biru
Tiongkok

Adelia Astari

banner

Para pekerja membongkar muatan ikan tongkol hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Jumat (29/6/2018). Selain untuk memenuhi permintaan pasar lokal, hasil Tangkapan Ikan Tongkol dengan ukuran dan kualitas tertent

“A healthy ocean is vital to our economy and well-being.” Sehat-lestari kelautan sangat vital bagi kesejahteraan dan kesehatan kita. Begitu pesan ekonom dan pengacara Scott Harvey Peters kelahiran Ohio (1958), alumnus New York University School of Law, yang pernah menjadi staf pada Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat (AS). Sebanyak delapan ahli biologi dan lingkungan kelautan dari enam negara (Tiongkok, Swedia, Australia, Inggris, Irlandia, dan Norwegia) juga mendukung pandangan Scott Peters. Jurnal International Journal of Environmental Research and Public Health edisi Juni 2020, merilis kesimpulan riset para ahli itu: “The ocean provides resources key to human health and wellbeing, including food, oxygen, livelihoods, blue spaces, and medicines.” Kelautan menyediakan sumber daya pokok kesehatan manusia dan kesejahteraan rakyat, misalnya pangan, oksigen, ruang-air, lapangan-pekerjaan, dan obat-obatan.

Pada 22 Februari 2022 di Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025. Pertimbangan Perpres ini ialah mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan pelaksanaan kebijakan kelautan Indonesia secara terpadu dan berkesinambungan dari tahun 2017-2025. Perpres Nomor 34/2022 menyebut secara umum fungsi kelautan dan program kegiatan kelautan bidang obat-obatan, usaha, pekerjaan, keragaman-hayati, pangan, penyimpan karbon, wisata, perlindungan spesies, dan air bersih. Meski program-programnya belum terlihat rinci, terukur, terarah, dan tidak-bias dengan kontrol kuat. Misalnya, program sektor sistem energi berbasis sumber daya kelautan, masih samar-samar, misalnya program tidalpower dan sistem energi sejenisnya; fokus sistem energi dari Perpres ini tampaknya terutama ke sumber daya mineral, antara lain sumber-sumber daya alam fosil.

Sedangkan Peters melihat perubahan iklim kini memasuki fase darurat dengan ancaman nyata dan sangat berisiko; pilihannya ialah langkah cepat-darurat, tegas dan keluar dari garis-garis kepentingan partai (PB Monthly, 2020). Contoh antara lain, dekarbonisasi tata-ekonomi hingga net-zero karbon, misalnya regulasi polutan-polutan iklim seperti karbon hitam, methane, dan hidrofluoro-karbon yang lebih berbahaya dari karbon-dioksida (Brendel, 2020; San Diego Union-Tribun, 2020) berbasis kelautan. Begitu pula Falkenberg et al. (2020) lebih menekankan unsur pokok kelautan yang mendukung kehidupan sehat-lestari di laut dan manusia. MacGlade et al. (2012) juga lebih menitikberatkan pada fungsi-nilai air (hidrosfer) dari kelautan bagi manusia dan ekosistem kelautan. Prinsip-prinsip ini menjadi patokan dalam tata-kelola sumber daya kelautan. Bagi Indonesia, fokus kebijakan kelautan ialah menjabarkan tugas pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Ini perlu mendapat prioritas sesuai amanat alinea IV Pembukaan UUD 1945.

Model blue economy

Secara umum, strategi kelautan dan perikanan Indonesia selama ini berbasis konsep blue economy, yakni formula kebijakan sinergi perlindungan lingkungan kelautan dan kemajuan ekonomi guna memajukan sosial-ekonomi masyarakat setiap wilayah-daerah, mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Pasal 33 ayat 4 UUD 1945) melalui sistem produksi ramah lingkungan, investasi dan inovasi-kreasi usaha.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, sebagai negara kepulauan (archipelagic state) yang dikelilingi lautan, Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar. Potensi itu bukan hanya dari sisi sumber daya perikanan, namun juga potensi untuk menjadi sumber energi bersih dan terbarukan karena laut sangat kaya akan sinar matahari dan angin. Ia bilang, lebih dari 70 persen cahaya matahari yang diterima bumi berada di bawah laut, serta hampir 90 persen energi angin di dunia berada di laut. Oleh sebab itu, kata Suharso, diperlukan konsep ekonomi biru atau blue economy dalam upaya pemanfaatan laut yang dimiliki Indonesia. Sehingga seiring dengan pemanfaatan laut, ekosistem laut pun tetap terjaga.

Suharso menjelaskan, istilah blue economy tidak sama persis dengan green economy atau ekonomi hijau. Bila green economy fokus pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan diiringi dengan penurunan risiko kerusakan lingkungan, sedangkan blue economy lebih difokuskan pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di sektor kelautan.

Contoh-contoh penerapan konsep blue-economy dalam strategi kebijakan kelautan dan perikanan RI, menurut Wenhai et al. (2019:4), antara lain pengembangan perikanan laut, transportasi laut, wisata laut, industri produksi barang dan energi kelautan, koordinasi kebijakan ekonomi nasional dan kelautan, koneksi perdagangan dan infrastruktur, beberapa iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan sumber daya manusia (SDM). Modelnya antara lain ‘blue-economy’ di Lombok dan Anamabs dan pantai Tomini—industri kelautan, perikanan, wisata, dan lain-lain.

Konsep dan strategi blue-economy Indonesia tersebut di atas sedikit berbeda dengan Tiongkok. Misalnya, sejak tahun 2011, Tiongkok mengembangkan strategi blue economy berbasis Iptek. Tiongkok membangun enam model inovasi, konservasi, dan investasi berbasis iptek pada enam zona blue-economy seperti Shandong Peninsula Blue Economic Zone, Blue Silicon Valley, dan Yangtze River Delta. Tahun 2011, pemerintah Tiongkok menyetujui program blue-economy Shandong Peninsula Blue Economic Zone (SPBEZ) Development Plan. Ini merupakan strategi blue economy pertama level daerah dan kelautan Tiongkok. Targetnya ialah SPBEZ menjadi klaster industri kelautan berbasis iptek, khususnya pusat pendidikan kelas dunia bidang sains kelautan dan percontohan zona reformasi ekonomi kelautan nasional, dan demo penentu zona peradaban ekologis kelautan Tiongkok.

Tahun 2015, SPBEZ membangun model dasar industri kelautan guna memperkuat ketahanan ekonomi, inovasi berbasis sains dan teknologi kelautan khususnya kualitas lingkungan ekologis tanah-laut, lansekap ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Tahun 2020, SPBEZ mengembangkan ekonomi-kelautan, struktur industri, dan menjahit saling-dukung-harmoni manusia dan lingkungan-kelautan. Artinya, Tiongkok lebih dahulu membangun kecerdasan tentang laut, air, dan lahan melalui iptek. Tahap berikut ialah rajut sosial, ekonomi, dan lingkungan kelautan berbasis industri. Model blue-economy Tiongkok tersebut di atas, mirip model blue economy Uni Eropa sejak 2009. Hasilnya, hingga tahun 2020, sektor ekonomi lautan dan laut Uni Eropa telah menyerap empat juta tenaga kerja dan memasok 1,3 persen PDB Uni Eropa (European Parliamentary Research Service, 2020:1).

Uni Eropa membangun sektor blue economy, misalnya perikanan, aqua-kultur, wisata pantai, transportasi laut, pelabuhan, perkapalan, ekstraksi minyak-gas di laut, terutama berbasis iptek, khususnya bioteknologi. Sektor ini menghasilkan 180 miliar euro tahun 2017. Secara perlahan, ekstraksi minyak-gas di laut Uni Eropa berkurang; karena sistem energi angin lepas-pantai semakin meningkat. Bio economy kelautan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.” Maka kini tiba saatnya, pemerintah dan rakyat Indonesia membuat kebijakan dan program mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah-darah, dan memajukan kesejahteraan umum, berbasis laut-laut kita. Pilihannya ialah tata-kelola bio economy kelautan—sinergi program biosfer, ekonomi, hidrosfer, dan lithosfer (lapisan kulit-batuan bumi) dengan SDM kita.

Kita lihat, awal abad 21, Tiongkok memproduksi ikan terbanyak sebesar 60,2 persen dan India menem pati urutan ke-2 sekitar 5,82 persen  dari total produksi ikan dunia (IPB, Inc, 2015:88). Rata-rata produksi penangkapan ikan di Indonesia tahun 2003-2012 berkisar 4.745.727 ton. Produksi ikan Tiongkok mencapai rata-rata 12.759.922 ton tahun 2003-2012 (FAO, 2014). Laut Indonesia adalah wilayah coral triangle batu karang (coral reef) terbesar bagi keragaman ikan dunia karena lebih 1.650 spesies ikan hidup di lautan atau perairan Indonesia. Namun, hingga awal abad 21, Indonesia belum menggeser Tiongkok dan India sebagai negara produsen ikan terbanyak di dunia (The Daily Records, 2017).

Luas wilayah laut Indonesia mencapai 5,9 juta km2 (luas laut yuridiksi nasional), yang terdiri dari 2,9 juta km2 laut Nusantara, 0,3 juta km2 laut teritorial, dan 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Luas daratan Indonesia  mencapai 1,9 juta km2. Indonesia terbentang antara Benua Asia dan Australia dan memiliki dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang telah ditetapkan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Peluang kita sangat terbuka di laut dan lautan. Namun, peluang ini belum dikelola secara terukur, terarah, tidak-bias, dan kontrol kuat guna melahirkan ketahanan negara bangsa.

Misalnya, Dr Atikah Nurhayati, SP, MP (2019) menyebut enam kendala pengembangkan perikanan dan kelautan Indonesia, yakni (1) IUU Fishing (illegal, unreported, unregulated fishing/IUUF); (2) Belum optimal input produksi perikanan dan kelautan, sarana dan prasarana seperti alat tangkap, pakan, benih, kapal, BBM, keuangan, dan pemasaran; (3) Rendah hilirisasi pengolahan produk perikanan; (4) Rendah diseminasi adopsi inovasi iptek perikanan dan kelautan; (5) Belum optimal tata-kelola perikanan melalui kebijakan pemerintah (pusat dan daerah); (6) masih kurang investasi sektor perikanan dan kelautan. Ada lima program ‘bio-economy’ kelautan sangat strategis bagi kita yakni aqua-kultur (pangan, perikanan), sistem energi (angin, gelombang laut), konservasi nilai-budaya maritim, bioteknologi, dan penyehatan ekosistem-kelautan untuk mitigasi-kendali perubahan iklim. Kelima sektor ini tentu sangat strategis bagi archipelagic-state (negara-kepulauan) Indonesia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau, 1.100 bahasa daerah, dan 1.331 suku.

Tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan Indonesia dalam mendorong blue economy adalah pencemaran laut dengan limbah, mulai dari limbah industri, rumah tangga, hingga plastik. Indonesia bahkan dikenal sebagai salah satu negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia, setelah China.

Tantangan tersebut, seharusnya menjadi pemantik untuk mendorong kesadaran masyarakat untuk tidak menghasilkan limbah berlebih yang dapat merusak laut, sehingga dapat turut serta menjaga ekosistem kelautan Indonesia. Pentingnya mengeksplorasi potensi dan strategi implementasi konsep blue economy di Indonesia. Lewat blue economy diharapkan pembangunan yang berkelanjutan bisa mendorong pemulihan ekonomi Indonesia pasca-pandemi Covid-19.

 

Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/28/112817465/lima-program-strategis-bioeconomy-kelautan?page=all#page2

Komentar

Berita Lainnya