Kamis, 24 Februari 2022 7:59:34 WIB

Kebijakan Tiongkok: Made in China 2025
Tiongkok

Adelia Astari

banner

Boks Infinix Zero 5 "Made in China\" yang dijual di Lazada Indonesia (Foto: Twitter @herrysw)

Dalam sejarah, revolusi industri merupakan sebuah fenomena yang memiliki kekuatan untuk mendorong kondisi ekonomi suatu negara, contohnya ialah negara Eropa pada pertengahan abad ke-17 hingga abad ke-18 berhasil memajukan kondisi ekonomi mereka dengan adanya perubahan pada proses manufaktur mereka. Pada masa kontemporer, revolusi industri 4.0 menjadi bantu loncatan negara-negara industri baru untuk mencapai tahap negara industri maju. Sebuah strategi ekonomi diperlukan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi maupun stabilitas ekonomi dalam menghadapi kondisi ekonomi global ataupun domestik.

Pada tahun 2015, Republik Rakyat Tiongkok mengumukan strategi untuk  mengambil ahli proses manufaktur dunia yaitu “制造中国 (Zhìzào zhōngguó) 2025” diterjemahkan sebagai “Made in China 2025” secara harafiah kata “制造 (zhìzào)” yang artinya kegiatan memproduksi dan kata “ 中 国 (zhōngguó)” yang arti Tiongkok,   dari   arti   kedua   kata   tersebut   menandakan   adanya   keinginan Pemerintahan Xi Jinping ingin membangun Tiongkok versi 2025, dan dari sebutan kebijakan tersebut dalam bahasa inggris yaitu “Made in China 2025” memiliki konotasi bahwa hasil manufaktur akan berasal dari Tiongkok atau China maka bisa diartikan   bahwa   strategi   Tiongkok   ini   merupakan   strategi   ambisius untuk membangun diri dan mengambil ahli kegiatan produksi manufaktur.

Proses industrialisasi di Tiongkok bermula pada tahun 1958 di bawah masa pemerintahan Mao Zhedong dengan kebijakan yang dikenal dengan 大 è·ƒ è¿›(Dàyuèjìn) atau lompatan besar dengan mengindustrialisasikan sektor agrikultur Tiongkok pada masa itu. Strategi ekonomi Tiongkok pada masa itu menggunakan model Soviet sebagai acuannya, dan melalui kebijakan lompatan besar, Mao Zhedong memodifikasikan sistem pertanian yang semulanya masih bersifat individual menjadi sistem pertanian kolektif atau kelompok, pada awalnya strategi ini berhasil meningkatkan pendapatan negara Tiongkok, namun karena sistem pemerintahan dan birokrasi yang buruk kebijakan mengakibatkan Tiongkok dilanda kelaparan.

Proses industrialisasi yang akan mendongkrak ekonomi negara secara menerus, hanya dapat dicapai apabila terdapat good governance dalam pemerintahannya yang mampu menyusun strategi ekonomi yang ampuh untuk mendorong kegiatan produksi. Kebijakan Mao sendiri merupakan kebijakan yang disebut irasional karena tidak mempertimbangkan kemampuan dirinya berserta pemerintahannya.

Kondisi ekonomi Tiongkok mengalami kemajuan setelah Deng Xiaoping menjabati posisi Pemimpin Tertinggi Partai melalui sidang partai, menggantikan Hua Guofeng yang sebelumnya ditunjuk seusai peninggalan Mao Zhedong. Prinsip yang dipegang oleh Deng “Mencari Kebenaran dari Kenyataan” menekankan perlunya menelaah dan mendiskusikan prinsip-prinsip Maoisme dan mengujinya lewat eksperimen-eksperimen terarah dan tercatat, sehingga setiap kekurangan atau hambatan yang ditemui dapat dievaluasi untuk diperbaiki. Reformasi Ekonomi yang dijalankan pada masa Deng Xiaoping berhasil menjadikan Tiongkok sebagai negara industri baru.

Potensi penggunaan teknologi digital merupakan area yang belum tersentuh penuh potensinya, persiapan negara industri baru seperti Tiongkok untuk menjadi negara maju tentu harus direncanakan secara matang untuk mendapatkan manfaat optimum revolusi industri 4.0,

Tujuan utama dari kebijakan Made in China 2025 ialah untuk menjadikan Tiongkok sebagai negara manufaktur super. Kemampuan Tiongkok dalam mengalokasikan sumber daya akan menjadi kunci keberhasilan mereka dalam mengembangkan industri domestik dan menjadi negara manufaktur super dalam era revolusi industri 4.0. Selain itu dalam kebijakan Made in China 2025 beberapa sektor industri yang menjadi fokus utama, seperti industri Teknologi Informasi, Automobil, Pertanian dan juga pemanfaatan teknologi CNC tercanggih untuk proses manufaktur dan sumber daya alternatif.

Kebijakan Tiongkok “制造中国 2025”atau “Made in China 2025” merupakan strategi ekonomi Tiongkok yang ambisius. Menjadi negara manufaktur super dan menguasai proses produksi manufaktur global adalah tujuan dari kebijakan Made in China 2025. Tiongkok pada saat ini menduduki posisi kedua negara ekonomi terkuat setelah Amerika Serikat, sebagai negara industri baru Tiongkok berani menantang Amerika Serikat dan mengumukan diri akan melampaui Amerika Serikat dalam waktu sepuluh tahun dengan memanfaatkan revolusi industri 4.0.

Kebijakan Made in China 2025 Tiongkok, mengudang kontroversi dari negara-negara lain terutama negara barat seperti Amerika Serikat karena Tiongkok berambisi untuk melepaskan diri dari teknologi-teknologi Barat, dan menjadi sebuah ancaman bagi tatanan ekonomi global dengan berusaha menggantikan posisi Amerika Serikat. Dalam perkembangannya perbedaan kualitas teknologi Tiongkok terhadap teknologi bangsa asing masih tinggi, namun yang menarik adalah bagaimana kah kemampuan Tiongkok untuk membangun negara kuat tanpa bantuan dari negara- negara barat yang memiliki teknologi yang lebih maju dan canggih?

Diperlukan modal, sumber daya manusia, serta kemampuan teknologi yang memadai untuk mendorong produksi industri. Melalui strategi Made in China 2025, Tiongkok akan berharap untuk mendorong kemampuan produksi industri domestiknya, diperlukan pengerahan sumber daya secara besaran-besaran, dan strategi Tiongkok untuk memenuhi kebutuhan industri akan menjadi kunci keberhasilan mereka dalam mewujudkan Made in China 2025.

Made in China 2025 merupakan bagian dari strategi ekonomi Tiongkok untuk menghadapi revolusi industri 4.0, dan pada umumnya strategi ekonomi mencangkup kemampuan suatu negara dalam mengalokasi atau mobilisasikan sumber dayanya untuk tujuan mencapai pertumbuhan ekonomi ataupun mempertahankan stabilitas ekonominya. Tiongkok dalam Made in China 2025 merancang sebuah strategi ekonomi untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan industrinya. Keahlian Tiongkok dalam mengalokasikan sumber daya diperlukan untuk menjamin keberhasilan Made in China 2025.

Dalam mengimplementasikan Made in China 2025 peran negara sangatlah penting untuk keberhasilan-keberhasilan industri Tiongkok. Dalam mengadaptasikan teknologi-teknologi seperti Internet of Things, Artificial Intelligent, serta 3D Printing atau Additive Manufacturing Tiongkok untuk menyiapkan sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan industri era Revolusi Industri 4.0.

Sikap intervensionis merupakan ciri khas pemerintah Tiongkok terhadap perkembangan industrinya. Melalui kebijakan “Perencanaan Lima Tahun” Tiongkok membangun arah kebijakan industri pemerintah pusat dan regional di Tiongkok, dan sejak periode Perencanaan Lima Tahun ke-11 kekuatan ekonomi disertai dengan kekuatan industri Tiongkok mengalami pertumbuhan yang pesat, dan hal ini meningkatkan kepercayaan diri Tiongkok terhadap kekuatan ekonominya. Keberhasilan ini merupakan tindak tanduk Tiongkok dalam mempengaruhi pertumbuhan industri melalui kebijakan-kebijakan intervensionis, dan  melalui  perpanjangan   tangan   SOEs   yang  mendominasi   sektor  industry Tiongkok.  Memasuki  era  yang baru  yaitu  Revolusi  Industri  ke  4  atau dikenal dengan Revolusi Industri 4.0.

Sektor industri kini memasuki sebuah era baru yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0, pada era ini industri mengusung digitalisasi serta proses otomatisasi industri, yang mengusung perpaduan antara dunia fisik dan digital yang dikenal dengan cyber-physical system, dan memperkenalkan teknologi serta teknik- teknik baru seperti IoT, AI, Automated Robot, Additive Printing, dll.. Tiongkok telah mempersiapkan strategi nasional yaitu “Made in China 2025” untuk mendorong pertumbuhan industri strategisnya dalam era ini, dan berambisi untuk menjadikan Tiongkok sebagai negara industri kuat pada tahun 2025 mendatang serta meningkatkan kehadiran brand-brand Tiongkok di pasar internasional, dengan melalui peran para wirausaha dan dukungan pemerintah Tiongkok terhadap pengembangan sepuluh sektor industri strategis untuk memanfaatkan secara maksimal teknologi-teknologi terobosan revolusi industri 4.0.

Impelementasi teknologi Internet of Things di Tiongkok dapat dilihat melulau keberhasilan Perusahaan ZPMC berhasil mengembangkan teknik automated port cranes system atau smart port, dengan mengintegrasikan dengan teknologi IoT dan teknik otomatisasi, memungkinkan pengendalian jarak jauh (remote control) terhadap alat-alat berat dan menghindari kecelakaan kerja di lapangan, produk smartport ZPMC telah diadopsi oleh beberapa pelabuhan di dunia seperti Auckland, Thailand, India, dll.

Implementasi teknik additive printing atau 3d printing mengalami perkembangan pesat di Tiongkok, bukti Tiongkok berhasil merakit sebuah pesawat model C919 dengan menggunakan teknik additive printing. Selain itu, pada awal 2019 Tiongkok juga berhasil membangun jembatan beton terpanjang dengan menggunakan teknik additive printing,dan terdapat juga salah satu pionir teknik additive printing Winsun yang mengusung daur ulang sampah bangunan untuk digunakan sebagai bahan baku baru bangunan baru, dan menjadikan Tiongkok sebagai negara terdepan dalam penggunaan teknik additive printing.

Kemudian, di Tiongkok terdapat perusahaan raksasa seperti Baidu, Alibaba, dan Tencent menjadi investor utama dalam pengembangan teknologi Artificial Intelligent, dan berhasil mengaplikasikan teknologi AI ke dalam beberapa bidang seperti kesehatan, pendidikan, layanan publik, maupun self- driving cars, dan tidak kalah dengan pencapaian BAT, terdapat juga Jd yang berhasil membangun gudang penyimpanan yang beroperasi secara penuh dengan menggunakan robot, dan meningkat efisiensi dalam pengiriman paket oleh Jd.

Kehadiran robot industri, merupakan sebuah solusi dan juga ancaman terhadap kondisi ketenagakerjaan Tiongkok. Dikatakan sebagai suatu solusi karena Tiongkok yang sedang menghadapi krisis demografi dan diperkirakan angka angkatan kerja terus mengalami penurunan, dan robot akan menjadi solusi jangka pendek terbaik untuk mengatasi penurunan angkatan kerja Tiongkok. Namun hal ini membawa dampak bagi para tenaga kerja yang ada, mereka terancam digantikan oleh robot, dan hal ini berpotensi meningkatkan tingkat pengangguran di Tiongkok. Sebagai antisipasi, Tiongkok telah merekrut para ahli untuk bekerja di Tiongkok, dan memperbaiki kualitas pendidikan sekolah keahlian atau keprofesian di Tiongkok, untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Tiongkok dan melengkapi mereka dengan new-set of skills sehingga dapat bertahan pada era industri revolusi 4.0 dan menciptakan lapangan perkerjaan yang baru sesuai dengan kebutuhan industri.

Dengan begitu kita dapat menyimpulkan bahwa implementasi strategi Made in China 2025 sedang memasuki tahap pertengahan dan berbagai industri di Tiongkok sudah mengimplementasi teknologi-teknologi seperti AI, IoT, serta 3d printing ke dalam tahap produksi mereka dan fitur produk mereka. Melalui perspektif Neo-Merkantilis, sebuah negara harus mencapai kemandirian atau “stateness” untuk menjadi negara yang kuat dan memiliki ciri intervensionis dan protektif terhadap kegiatan domestiknya. Pada implementasi Made in China 2025, Tiongkok telah memenuhi syarat-syarat tersebut dan terbukti berhasil mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri pada era revolusi industri 4.0.

 

Sumber: https://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/9810

Komentar

Berita Lainnya