Sabtu, 28 Januari 2023 10:12:6 WIB
Said Abdullah Utang Pemerintah Dijadikan Komoditas Politik
Indonesia
AP Wira
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah. Foto: dok. Istimewa
JAKARTA, Radio Bharata Online – Terkait dengan utang pemerintah, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menilai informasi soal utang pemerintah yang beredar selama ini tidak utuh dan hanya untuk provokasi belaka.
Menurutnya, "Profil utang pemerintah kembali menjadi komoditas politik, dan dicabut dari akarnya, dari ranah teknokrasi, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Utang pemerintah dijadikan "amunisi" serangan kelompok oposisi dan manula post power syndrome terhadap pemerintah. Sayangnya informasi yang disajikan tidak utuh, rentan memprovokasi rakyat, sungguh sangat tidak elok,"
Untuk itu dirinya merasa terpanggil untuk berbagi informasi soal tata kelola utang pemerintah. Dari penjelasannya, ia menyerahkan kepada rakyat untuk memberikan penilaian tata kelola utang Pemerintah.
Said Abdullah menjelaskan, dalam memberikan penilaian terhadap utang pemerintah, kita bisa mengacu pada beberapa pertimbangan penting, antara lain:
(1) ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku, (2) perbandingan kebijakan utang dari berbagai negara, terutama dari negara negara yang sepadan dengan Indonesia, (3) credit rating dari berbagai lembaga internasional, dan (4) kebijakan mitigasi resiko pengelolaan utang pemerintah.
Pertimbangan pertimbangan inilah yang kita jadikan acuan agar jernih mendudukletakkan informasi tentang utang pemerintah secara proporsional.
Mengacu pada laporan pemerintah melalui APBN 2022, Said melanjutkan, jumlah utang pemerintah hingga Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun setara 39,57 persen PDB. Meskipun dari sisi jumlah utang pemerintah lebih besar dibanding Desember 2021, yakni berjumlah Rp 6.908,87 triliun, namun, kata Said, rasio utang terhadap PDB pada tahun 2022 lebih rendah, dari 40,74 persen menjadi 39,57 persen.
"Keseluruhan utang pemerintah hingga Desember 2022 terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6.846,89 triliun atau 88,53 persen dari total utang pemerintah, sisanya berupa pinjaman sebesar Rp 887,10 triliun atau 11,47 persen.," ujar Said.
Selain itu Said juga memberi uraian lebih rinci soal 4 pertimbangan utang pemerintah. Berikut uraian Said:
1. Berpedoman pada Undang Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur batas atas pinjaman (utang) pemerintah maksimal sebesar 60 persen dari PDB. Saat ini posisi utang pemerintah sebesar 39,57 persen PDB, artinya masih jauh di bawah ketentuan undang undang, sehingga tidak ada norma peraturan perundang undangan yang dilanggar oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakan utang.
2. Bila kita bandingkan dengan negara negara yang sepadan dengan Indonesia, jumlah utang pemerintah jauh lebih rendah rasionya dari PDB negara negara tersebut. Rasio utang India mencapai 89,26 persen PDB mereka, Malaysia 63,3 persen, Filipina 60,4 persen, Afrika Selatan 69,9 persen, Thailand 59,6 persen, dan Vietnam 39,6 persen.
Jika kita bandingkan dengan negara negara maju, utang pemerintah justru jauh lebih rendah. Rasio utang Tiongkok terhadap PDB mereka 71,5 persen, kawasan Eropa 95,6 persen, Finlandia 72,4 persen, Perancis 113 persen, Jerman 69,3 persen, Inggris 97,4 persen, Amerika Serikat (AS) 137 persen, Jepang 262 persen, Singapura 160 persen.
Kebijakan utang dari sejumlah negara di atas ditempuh secara agresif sebagai pilihan untuk memperbesar ruang fiskal mereka, agar porsi belanja produktif pemerintah kian besar untuk melaksanakan pembangunan. Hal ini telah menjadi praktik umum diberbagai negara.
3. Lembaga Pemeringkat Kredit Fitch Ratings dan Standard & Poor's (S&P) memberikan penilaian terhadap utang pemerintah pada posisi BBB outlook stable. Penilaian lebih baik diberikan oleh lembaga Rating & Investment (R&I) dan Japan Credit Rating Agency (JCR) di level BBB+ outlook stable, sementara Moody's memberikan penilaian Baa2 outlook stable.
Penilaian berbagai lembaga kredibel internasional di atas menjelaskan bahwa utang pemerintah di level moderat. Penilaian ini menjelaskan bahwa kebijakan utang pemerintah tidak ugal ugalan seperti prasangka buruk oposisi dan kalangan manula post power syndrome yang mendistorsi informasi ke rakyat.
4. Pemerintah telah menjalankan kebijakan mitigasi resiko utang sebagai wujud tata Kelola pemerintahan baik (good governance). Berlapis lapis pengamanan resiko utang telah dijalankan, antara lain:
i.Untuk mendorong pembiayaan lebih mandiri, dan mengurangi resiko nilai tukar, pemerintah mengedepankan pembiayaan bersumber dari dalam negeri. Terlihat kepemilikan asing terhadap utang pemerintah terus menurun sejak 2019. Kepemilikan asing terhadap utang pemerintah tahun 2019 yang mencapai 38,57 persen, pada akhir tahun 2021 menurun ke posisi 19,05 persen, dan per akhir Desember 2022 mencapai 14,36 persen.
Menurunnya kepemilikan asing ke dalam utang pemerintah berdampak menurunnya resiko nilai tukar. Tahun 2017 resiko nilai tukar sebesar 41 persen, tahun 2019 turun ke level 37,9 persen, tahun 2020 kembali turun ke level 33,5 persen, dan tahun 2021 terus turun ke level 30 persen, serta tahun 2022 turun di bawah 29 persen.
ii. Pemerintah telah membuat perencanaan tata kelola kebijakan utang pada rentang 2023-2026 dengan acuan; besaran utang tingkat bunga variabel terhadap total outstanding maksimal 20 persen, utang jatuh tempo kurang dari 1 tahun terhadap total outstanding maksimal 12,5 persen, average time to maturity/ATM minimum 7 tahun, besaran pembayaran bunga utang terhadap PDB maksimal 3 persen, dan mematok tingkat utang terhadap PDB pada kisaran 40 persen.
Mengacu pada batasan di atas, keseluruhan postur utang pemerintah belum menyentuh pada "alarm" dari berbagai indikator tersebut. Semisal average time to maturity /ATM masih di level 8 tahunan, bunga utang terkelola dengan baik di kisaran 6-7 persen dengan jumlah bunga utang di level 2 persen PDB.
Said berharap gambaran tersebut dapat memberikan informasi yang sejernih-jernihnya terhadap tata kelola utang yang dijalankan oleh pemerintah. Kita berharap rakyat dapat mencerna informasi dengan utuh dan tidak termakan framing informasi politik yang menyesatkan.
(Detikcom)
Komentar
Berita Lainnya
Inflasi September 2022 1,17 Persen, Tertinggi Sejak Desember 2014 Indonesia
Selasa, 4 Oktober 2022 14:34:54 WIB
HUT ke-77 TNI, Jokowi Beri Tanda Kehormatan Bagi Tiga Prajurit TNI Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 10:4:36 WIB
Naik-Turun Bus TransJakarta Wajib Tempel Kartu, Saldo Minimum Rp5.000 Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 10:12:43 WIB
BMKG Minta Warga Waspada Gelombang 2,5 Meter di Empat Wilayah Laut NTT Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 10:33:18 WIB
Presiden Ingatkan TNI untuk Selalu Siap Hadapi Tantangan Geopolitik Global Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 14:31:19 WIB
Mesir Gelar Kegiatan Interaktif Belajar Bahasa Mandarin Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 15:20:17 WIB
Memperkuat Ketahanan Pangan Nasional Indonesia
Rabu, 5 Oktober 2022 17:33:33 WIB
Pertemuan P20 di Buka Indonesia
Kamis, 6 Oktober 2022 14:20:55 WIB
Seluruh Biaya Perawatan Korban Kanjuruhan DItanggung Pemkab Malang Indonesia
Kamis, 6 Oktober 2022 14:48:18 WIB
Direktur PT Liga Indonesia Baru Jadi Tersangka Tragedi Kanjuruhan Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 10:59:49 WIB
Kronologi Tragedi Kanjuruhan, 11 Tembakan Gas Air Mata Dilepaskan Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 11:9:42 WIB
Jokowi Minta Dewan Direksi BPJS Ketenagakerjaan Kelola Dana dengan Hati-Hati Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 14:43:21 WIB
Sekjen PBB Prihatin Atas Insiden Penembakan di Thailand Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 15:55:21 WIB
Kirab Kebangsaan Merah Putih di Kota Pekalongan Indonesia
Jumat, 7 Oktober 2022 16:3:8 WIB
Mahfud Md Tidak Mempermasalahkan Media Asing Investigasi Tragedi Kanjuruhan Indonesia
Sabtu, 8 Oktober 2022 8:53:51 WIB