Selasa, 24 Mei 2022 2:0:53 WIB

AS Sebut Sri Lanka Kena \"Debt Trap" Tiongkok, Pakar Hutang Tiongkok dari AS Ungkap \"Debt Trap" Tiongkok Hanya Mitos. Ini Buktinya!!
Tiongkok

Jurnal Bharata

banner

Foto: Thumbnail Youtube Bharata Online (Program Jurnal Bharata)

International - Fenomena jebakan hutang Tiongkok yang akhir-akhir ini mulai menjadi isu yang hangat di masyarakat, akibat krisis yang melanda di Sri Lanka baru-baru ini, cukup meyakinkan publik. Apalagi media-media barat yang diwakili Amerika pun turut menarasikan hal serupa dengan menyebut Sri Lanka telah masuk dalam perangkap diplomasi jebakan hutang.

\r\n\r\n

Oleh karena itu, untuk mengetahui kebenaran isu tersebut, maka kami akan memberikan penjelasan yang bersumber langsung dari penelitian, data dan analisis yang dilakukan oleh para pakar. Mereka berasal dari John Hopkins University di Amerika Serikat, dan Monash University di Australia. Mereka ini adalah sumber informasi yang akan kami gunakan sebagai dasar dari argumentasi ini.

\r\n\r\n

Agar terlihat objektif, kami tidak akan menggunakan satu sumberpun yang berasal dari Tiongkok. Semuanya adalah intelektual atau akademisi dari negara-negara Barat, termasuk warga negara Amerika sendiri. Dengan demikian mereka tidak memiliki kepentingan apapun untuk membela Tiongkok.

\r\n\r\n

Fenomena jebakan hutang ini sangat ditantang keras oleh seorang pakar bantuan dan hutang Tiongkok. Dia adalah Prof. Deborah Brautigam, pakar ekonomi politik dari John Hopkins University Amerika dan Direktur Institut Tiongkok-Amerika.

\r\n\r\n

Deborah bersama timnya telah meneliti secara mendalam 3,000 lebih hutang Tiongkok kepada negara-negara sedang berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Mereka tidak hanya mengkaji kontrak kerjasama Tiongkok dan negara yang berhutang tetapi juga menganalisis struktur hutang negara-negara penerima hutang tersebut.

\r\n\r\n

Deborah dan timnya juga selalu hadir dalam Forum Kerjasama Tiongkok-Afrika dan Forum Inisiatif Sabuk dan Jalan dimana rencana hutang Tiongkok ini dibahas secara mendalam antara Tiongkok dan negara-negara yang berhutang.

\r\n\r\n

Dengan demikian, jelas bahwa Deborah dan timnya dari John Hopkins University adalah intelektual Amerika yang mengenal Tiongkok secara mendalam, memahami kebijakan luar negeri Tiongkok, mengenal dengan baik elit politik Tiongkok dan negara-negara penerima hutang Tiongkok serta memahami struktur dan kondisi keuangan negara yang berhutang tersebut.

\r\n\r\n

Jadi mereka adalah orang yang kompeten dan menguasai informasi dalam arti berpengetahuan luas atas masalah ini. Mereka adalah orang yang tepat untuk sumber informasi terkait jebakan hutang Tiongkok ini. Informasi-informasi yang mereka bangun tentu berbasis pada data-data dari penelitian.

\r\n\r\n

Kini mari kita kembali ke pertanyaan diatas dan melihat apa pendapat Deborah dan timnya tentang jebakan hutang Tiongkok. Dalam berbagai tulisannya yaitu di jurnal the Atlantic, publikasi Inisiatif Tiongkok-Afrika, dan wawancara SCMP, Deborah dengan tegas mengemukakan bahwa, "Perangkap Hutang Tiongkok adalah Mitos". Atas dasar apakah Deborah berpendapat jebakan hutang Tiongkok hanya sebuah mitos? Argumen yang dikemukakan Deborah ada lima hal.

\r\n\r\n

Pertama, jebakan hutang Tiongkok hanyalah tuduhan politik. Lahirnya konsep jebakan hutang Tiongkok atau diplomasi jebakan hutang berasal dari Trump dan Mike Pence dalam merespons bantuan dan hutang Tiongkok kepada negara-negara sedang berkembang.

\r\n\r\n

Menurut penelitian AidData di William & Mary, sebuah Universitas di negara bagian Virginia, Amerika, bahwa dalam jangka waktu sekitar 18 tahun, Tiongkok memberikan hibah atau bantuan maupun pinjaman uang kepada 13.427 proyek infrastruktur senilai 843 miliar dolar atau sekitar 12 kuadriliun rupiah di 165 negara.

\r\n\r\n

Atas dasar jumlah dana yang dialokasikan baik dalam bentuk hutang dan bantuan, jumlah proyek, dan negara penerima. Tiongkok adalah negara pemberi bantuan dan hutang yang terbesar sepanjang sejarah dunia ini, jauh melewati Amerika dan negara-negara Barat yang disalurkan melalui Bank Dunia atau IMF dan Bank Pembangunan Asia.

\r\n\r\n

Tercatat pada tahun 2021, komitmen Tiongkok di inisiatif sabuk dan jalan telah mencapai 2,600 proyek di 140 negara yang menyerap dana 3,7 triliun dolar. Sedangkan anggaran Bank Dunia atau IMF atas proyek-proyek di negara sedang berkembang hanya sebesar 185 miliar dolar. Oleh karena itu, atas dasar proyek kerjasama internasional Tiongkok inilah, yang menjadi alasan Trump dan Mike Pence dalam sebuah pidato politiknya menuduh Tiongkok menjalankan diplomasi jebakan hutang.

\r\n\r\n

Kedua, tidak ada bukti yang mendukung adanya jebakan hutang Tiongkok. Deborah menekankan bahwa jika benar ada jebakan hutang Tiongkok tentu terjadi krisis hutang yang meluas dikalangan negara-negara penerima.

\r\n\r\n

Apalagi Tiongkok telah memulai proyek bantuan dan hutang kepada negara-negara sedang berkembang sejak tahun 1980. Artinya, bantuan dan hutang Tiongkok ke negara-negara sedang berkembang telah berjalan selama 40 tahun lebih.

\r\n\r\n

Namun sejak 40 tahun yang lalu sampai dengan hari ini, dari 3,000 proyek bantuan dan hutang Tiongkok kepada 140 negara yang diteliti tim Deborah. Tidak ada satu negarapun yang mengalami krisis hutang dengan Tiongkok.

\r\n\r\n

Media memang heboh atas kasus Sri Lanka dengan pelabuhan Hambantota yang ditenggarai oleh media bahwa terjadinya jebakan hutang. Namun jika didalami maka kasus Sri Lanka pun tidak dapat dikatakan jebakan hutang Tiongkok karena tidak ada kaitannya dengan hutang dari Tiongkok.

\r\n\r\n

Ketiga, mari kita lihat kasus Sri Lanka yang dihebohkan media sebagai bukti dari jebakan hutang Tiongkok itu. Jika kita berbicara mengenai masalah hutang maka harus ada data struktur hutang Sri Lanka. Struktur hutang pemerintah Sri Lanka pada akhir tahun 2017 berdasarkan data dari Kementrian Keuangan Sri Lanka nampak jelas, bahwa pinjaman Tiongkok hanya mencakup 10% dari total hutang Sri Lanka, mungkinkah 10% pinjaman menyebabkan jebakan hutang bagi Sri Lanka?

\r\n\r\n

Menurut Dushni Weerakoon dan Sisira Jayasuriya, keduanya adalah akademisi Monash University, dalam tulisannya di East Asia Forum menyatakan bahwa, "Krisis hutang Sri Lanka tidak ada kaitannya dengan hutang Tiongkok, yang mencakup 10% dari total hutang Sri Lanka. Hutang Tiongkok ini seluruhnya dalam bentuk pinjaman dengan persyaratan konsesi".

\r\n\r\n

Pinjaman dengan persyaratan konsesi atau disebut juga pinjaman konsesional memiliki masa angsuran yang panjang biasanya 30 hingga 40 tahun dengan tingkat bunga yang sangat rendah yaitu sekitar 1% - 2% pertahun, ini termasuk pinjaman yang sangat ringan.

\r\n\r\n

Apa yang menjadi masalah bagi Sri Lanka saat itu adalah pada jumlah hutang jauh lebih besar yaitu Market Borrowing yang berasal dari lembaga-lembaga keuangan Barat yaitu 39% dan pinjaman Bank Dunia 11% sehingga total mencapai 50% dari hutang Sri Lanka. Bunga dari kedua pinjaman tersebut lebih tinggi dari bunga pasar, sehingga setiap tahun membebani keuangan pemerintah Sri Lanka rata-rata 5 miliar dolar untuk bunga dan angsuran saja.

\r\n\r\n

Akibatnya pemerintah Sri Lanka mengalami krisis keuangan dan untuk mengatasi masalah ini konsultan Bank Dunia atau IMF menyarankan untuk menyewakan Pelabuhan Hambantota yang saat itu dikelola Otoritas Pelabuhan Sri Lanka namun terus menerus defisit sehingga menjadi beban keuangan pemerintah.

\r\n\r\n

Akhirnya yang memenangkan penyewaan adalah China Merchant Port yang menyuntikan dana sebesar 4 miliar dolar berupa pembayaran ke pemerintah Sri Lanka dan masih ditambah 1 milyar dolar investasi untuk peningkatan fasilitas dan peralatan pelabuhan Hambantota. Dengan demikian jelas bahwa krisis keuangan pemerintah Sri Lanka tidak ada kaitannya dengan hutang Tiongkok.

\r\n\r\n

 

\r\n\r\n

Agar lebih jelas, silahkan kunjungi link Ini: https://www.youtube.com/watch?v=lMD2OFm3UvA

Komentar

Berita Lainnya