Senin, 28 Maret 2022 6:24:46 WIB
Sikap Bijak di Tengah Krisis Ukraina
Tiongkok
Adelia Astari
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky (kiri) saat berbicara dalam konferensi pers bersama dengan Presiden Dewan Eropa di Kiev (3/3/2021), dan Presiden Rusia Vladimir Putin ketika konferensi pers bersama Kanselir Jerman di Kremlin, Moskwa (20/8/2021).(AFP/SE
Pada awal Maret 2022 lalu, Presiden Tiongkok Xi Jinping menyerukan ‘untuk mengendalikan diri’ kepada Rusia dan Ukraina. Dia mengaku sedih melihat api peperangan berkobar di Eropa.
Hal itu diungkapkan oleh Xi Jinping saat berbicara di pertemuan virtual dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz pada Selasa 8 Maret 2022. Menurutnya, Tiongkok, Perancis dan Jerman harus bersama-sama mendukung pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina. Pemimpin Tiongkok ini menggambarkan situasi di Ukraina sangat mengkhawatirkan , dan ia mengatakan prioritas utama saat ini adalah harus mencegahnya meningkat konflik di luar kendali.
Presiden Tiongkok Xi Jinping juga mengatakan Prancis dan Jerman harus melakukan upaya untuk mengurangi efek negatif dari krisis ini. Selain itu, Xi Jinping juga menyatakan keprihatinannya tentang dampak sanksi terhadap stabilitas keuangan global, pasokan energi, transportasi, dan rantai pasokan.
Kanselir Jerman ,Scholz, Presiden Macron, dan Presiden Xi memang telah sepakat untuk sepenuhnya mendukung semua negosiasi yang ditujukan untuk solusi diplomatik atas konflik tersebut, dan tidak hanya itu, menteri luar negeri Tiongkok, Prancis, dan Jerman juga akan mengadakan konsultasi erat untuk mengoordinasikan upaya lebih lanjut guna mengakhiri perang.
Tiongkok yang telah menolak untuk bersikap atas serangan Rusia terhadap Ukraina telah berulang kali menyatakan penentangan terhadap hal yang digambarkannya sebagai sanksi ilegal terhadap Rusia. Persahabatan Tiongkok dengan Rusia semakin diperkuat ketika Putin menghadiri upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin , dan mendeklarasikan kemitraan strategis ‘tanpa batas,’. Kemitraan ini sedikit banyak telah membuat pemerintah Tiongkok menjadi 'canggung' saat ketegangan antara Rusia dan Ukraina meningkat.
Tiongkok memang belum mengambil sikap dalam konflik Ukraina. Hal yang ingin dilihat oleh Tiongkok adalah perang di Ukraina cepat berakhir. Namun, ketika eskalasi semakin meningkat, Beijing juga berada di bawah tekanan yang meningkat untuk mengekspresikan pandangannya. Sebagai sahabat dekat Rusia. Tiongkok sedang menjalani tali diplomatik yang sangat ketat dan rumit dengan Rusia. Xi Jinping memang tidak ingin memihak sama sekali dalam konflik Rusia -Ukraina.
Minyikapi konflik Rusia Ukraina, Otoritas perbankan Tiongkok juga tidak serta merta ikut menjatuhkan sanksi finansial terhadap Rusia seperti yang dilakukan oleh beberapa negara lain sebagai respons atas operasi militer Rusia di Ukraina. Mengutip dari pemberitaan Antara, Rabu (2/3) yang lalu. Tiongkok memang tidak mendukung sanksi finansial, khususnya sanksi unilateral karena sanksi tersebut menurut Tiongkok tidak akan efektif dalam menyelesaikan masalah, ditegaskan oleh Ketua Komisi Regulasi Perbankan dan Asuransi Tiongkok (CBIRC) Guo Shuqing " sanksi tersebut tidak memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian dan keuangan Tiongkok” Apalagi saat ini, perekonomian dan keuangan Tiongkok sudah cukup stabil.
Memperkuat Argumen ini, sebelumnya juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin menyatakan dukungannya untuk mendorong upaya diplomatik yang kondusif untuk mengatasi krisis Ukraina serta mempersilakan perundingan damai oleh Rusia dan Ukraina.
Tiongkok sangat berharap kedua belah pihak tetap melanjutkan proses dialog dalam mengatasi sengketa politik dengan tetap mengakomodasi legitimasi keamanan kedua belah pihak. Tiongkok sejauh ini telah melangkah dengan hati-hati, abstain dalam pemungutan suara atas resolusi PBB yang mengutuk Rusia dan menolak untuk menyebut serangan itu sebagai invasi
Ya, Tiongkok menolak sanksi sepihak Barat pada Rusia. ketika tekanan tumbuh di Beijing untuk menarik dukungan dari Moskow. Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan pada Selasa 15 Maret 2022 Beijing telah menolak untuk mengutuk sekutu dekatnya Rusia, dan menyalahkan Amerika Serikat dan "ekspansi ke Timur" NATO telah memperburuk ketegangan.
Dalam transkip panggilan telepon dengan Menteri Luar Negeri Spanyol Jose Manuel Albares Menteri Luar Negeri Wang Yi, mengatakan "Tiongkok bukan pihak dalam krisis, apalagi ingin terkena sanksi,"
Wang Yi menekankan Tiongkok "selalu menentang penggunaan sanksi untuk menyelesaikan masalah, apalagi sanksi sepihak yang tidak memiliki dasar dalam hukum internasional,"
Komentar Wang ini meluncur setelah pertemuan tujuh jam antara pejabat tinggi AS dan Tiongkok di Roma, Italia, dengan Washington menyatakan keprihatinan tentang "penyelarasan" hubungan antara Rusia dan Tiongkok.
Dalam pertemuan di Roma pada Senin (14/3) diplomat senior Tiongkok Yang Jiechi menegaskan kembali sikap Tiongkok bahwa Beijing "berkomitmen untuk pembicaraan damai", Tiongkok juga meminta semua pihak untuk melakukan "pengekangan maksimum" dan "melindungi warga sipil" dalam krisis Ukraina. Komunitas internasional harus mendukung pembicaraan semacam itu untuk mencapai hasil substantif sesegera mungkin,
bahkan Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Zhao Lijian pada Selasa (15/3) menyatakan, Beijing "sangat mendesak AS untuk tidak membahayakan hak dan kepentingan sah Tiongkok ketika menangani hubungan dengan Rusia".
Sepertinya AS harus berhati-hati untuk tidak menekan Tiongkok, karena Tiongkok merupakan eksportir terbesar dunia, mitra dagang terbesar Uni Eropa dan pemasokan barang-barang terbanyak AS. Tekanan terhadap perdagangan Tiongkok dapat berdampak buruk pada perekonomian AS dan sekutu-sekutunya.
Beijing juga merupakan mitra perdagangan penting Rusia, mereka menolak serangan Moskow ke Ukraina sebagai invasi. Walaupun pekan lalu Xi mendesak semua pihak yang bertikai untuk "menahan diri " Beijing khawatir sanksi-sanksi Barat pada Rusia akan berdampak pada perekonomian global setelah sanksi-sanksi itu mulai membatasi kemampuan Tiongkok membeli minyak Rusia.
Konflik Rusia – Ukrainan tidak saja memunculkan tekanan kepada Tiongkok, Amerika Serikat dan sekutunya meminta Indonesia sebagai Presidensi untuk menolak kedatangan Rusia di KTT G20 di Bali pada November mendatang. Permintaan tersebut imbas dari konflik Rusia – Ukraina yang masih berlangsung hingga saat ini.
Kendati demikian, Indonesia tetap berpegang teguh untuk tetap mengundang seluruh negara dunia hadir di G20. Termasuk Vladimir Putin sebagai Presiden Rusia, dalam rangka membahas ekonomi dunia.
Lantas, apa alasan Indonesia tetap undang Rusia ke G20?
Duta Besar RI sekaligus Stafsus Program Prioritas Kemlu dan Co-Sherpa G20, Dian Triansyah Djani menjelaskan, mengundang semua negara dunia adalah kewajiban Indonesia sebagai Presidensi. Hal tersebut berlaku tak hanya di G20 saja, tapi juga semua forum organisasi internasional.
Indonesia dalam mengetuai konferensi, forum,organisasi baik itu dalam PBB, pada saat memimpin dewan keamanan PBB, ASEAN, atau organisasi lainnya, selalu berpegang pada aturan atau rules of procuder presidensi yang berlaku demikian juga pada G20. Oleh karena itu memang kewajiban semua presdiensi untuk mengundang semua anggota.
Forum G20 sejatinya bertujuan untuk membahas upaya pemulihan ekonomi dunia pasca pandemi Covid-19. Terlebih, saat ini, masih banyak negara yang belum sepenuhnya pulih akibat Covid-19.
Sejumlah negara pendukung AS meminta Indonesia tak mendatangkan Putin ke G20 di Bali. Salah satunya, pemerintah Australia. Bahkan Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison mengaku sudah menghubungi langsung Presiden Joko Widodo selaku tuan rumah acara untuk menolak kehadiran Putin di G20.
Konflik antara Rusia danUkraina tentunya tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan militer. Bila pendekatan itu tetap saja dilakukan, maka alih-alih menyelesaikan konflik kedua belah pihak. Justru sebaliknya, akan memicu krisis keamanan yang lebih besar, tidak hanya regional, tetapi juga dalam skala global.
Sudah menjadi kelaziman bahwa dialog dan perundingan menjadi jalan yang paling ampuh untuk menghentikan suatu eskalasi , sebagai tuan rumah G20 Indonesia dapat memelopori dengan tindakan nyata dengan senjata politik luar negerinya yak bebas aktif.
Komentar
Berita Lainnya
Xi Jinping: Biar Semua Orang Lansia Mempunyai Kehidupan Masa Tua Yang Berbahagia Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:14:40 WIB
Hasil Studi Ilmuwan Tiongkok, Minum Teh Setiap Hari Turunkan Risiko Diabetes Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:21:52 WIB
Tiongkok Produksi Kereta Api Hibrid yang BebasPolusi Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:26:6 WIB
Tiongkok Perkirakan Jual 68,5 Juta Tiket Kereta Selama Libur Hari Nasional Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:42:10 WIB
Tiongkok: Perlu Bersama Lindungi Fasilitas Infrastruktur Lintas Negara Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:48:4 WIB
Padi Hemat Air Bantu Petani Panen Melimpah di Tengah Kekeringan Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:51:7 WIB
Lanjutkan Balapan di Musim 2023, Zhou Guanyu Ingin Bawa Semangat dan Budaya Tiongkok Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 15:19:35 WIB
Tiongkok Larang Rokok Elektrik Rasa Buah dalam Peningkatan Regulasi Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 16:14:12 WIB
Tiongkok mendesak AS untuk mengakhiri kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam Amerika selama sesi PBB Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 16:45:29 WIB
Setengah komunitas pedesaan di Tiongkok tercakup layanan perawatan lansia Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 16:49:6 WIB
Guangzhou: Gerbang maritim Tiongkok ke dunia sejak zaman kuno Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 17:10:22 WIB
Tiongkok kalahkan Slovenia dan AS di Kejuaraan Tenis Meja Beregu Dunia Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 17:20:34 WIB
Pemasangan Atap Beton Pertama Terowongan Jalan Raya Terpanjang di Provinsi Jiangsu Tiongkok Telah dimulai Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 17:25:54 WIB
Tiongkok ingin mengoptimalkan struktur ekonomi negara Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 17:30:30 WIB
Sinopec Tiongkok ingin hapus daftar ADS dari London Stock Exchange Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 17:50:46 WIB