Radio Bharata Online - Raksasa Drone Tiongkok, DJI, menolak apa yang disebutnya sebagai upaya pelarangan AS yang tidak adil. Produsen drone terbesar di dunia ini telah mengajukan banding, setelah pengadilan federal menyematkan label "Perusahaan Militer Tiongkok",  sebuah keputusan yang membuat DJI tetap berada dalam daftar hitam, mengancam aksesnya ke kontrak pemerintah dan pasar AS.  Menurut Pentagon, DJI terkait dengan kompleks industri militer Tiongkok.

Bagi DJI masuk dalam daftar tersebut bukan berarti hanya larangan, tetapi memutus kontrak federal, membatasi kemitraan swasta, dan membayangi operasinya di AS, yang merupakan salah satu pasar global terbesarnya.

Pertempuran hukum DJI dengan Pentagon dimulai pada Oktober 2024 ketika DJI mengajukan gugatan, yang menuduh Departemen Pertahanan bertindak melanggar hukum dan sewenang-wenang. 

DJI berargumen, bahwa label "Perusahaan Militer Tiongkok" didasarkan pada kecurigaan politik, bukan bukti, dan bahwa pencantuman label tersebut telah mencoreng reputasinya secara tidak adil.

DJI juga mengklaim adanya penegakan hukum tebang pilih, dengan menunjukkan bahwa banyak perusahaan Barat dan Tiongkok yang memiliki hubungan serupa dengan pemerintah seperti Volkswagen China, dan Nokia Bell, yang tidak pernah masuk daftar hitam.

Namun, putusan Hakim Friedman memberi Pentagon wewenang yang luas untuk memutuskan siapa yang akan masuk daftar hitam.  Bahkan jika dua perusahaan berbeda menerima label serupa, pengadilan mengatakan bahwa Pentagon memiliki wewenang untuk memasukkan salah satunya, dan tidak yang lain.

DJI menegaskan bahwa perusahaan tidak pernah merancang, memproduksi, atau memasarkan drone untuk keperluan tempur. Perusahaan ini telah lama vokal menentang militerisasi, dan secara terbuka mengecam penggunaan produknya dalam peperangan sejak awal tahun 2022. (Global Times)