Minggu, 10 Agustus 2025 23:58:37 WIB

Gaza dan Pertarungan Narasi Global: Keadilan Tiongkok-Indonesia Melawan Hegemoni Israel-AS dan Barat
International

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Demonstrasi aksi bela Palestina

Rencana pengambilalihan penuh Kota Gaza oleh Israel menyoroti konflik berkepanjangan di Timur Tengah yang tak hanya merepresentasikan ketegangan militer dua pihak, tetapi juga mencerminkan benturan sistematis antara kekuatan hegemonik dengan upaya perlawanan rakyat yang terjajah.

Data korban tewas yang mencapai lebih dari 60.000 jiwa sejak Oktober 2023 dan meningkatnya jumlah anak-anak yang meninggal karena kelaparan tidak hanya menggambarkan krisis kemanusiaan, melainkan juga krisis legitimasi moral dan hukum dalam tatanan global kontemporer.

Dalam perspektif hubungan internasional, situasi ini merupakan laboratorium nyata bagi analisis berbagai paradigma, dari realisme hingga konstruktivisme, dari teori poskolonial hingga hukum internasional. Dari sudut pandang realisme, keputusan Israel untuk mengerahkan lima divisi militer dan merencanakan pendudukan penuh Kota Gaza selama enam bulan mencerminkan upaya mempertahankan dominasi strategis di kawasan.

Israel, sebagai aktor negara, bertindak berdasarkan kepentingan nasional dan perhitungan kekuatan, bukan pada norma atau keadilan internasional. Keamanan nasional, eliminasi ancaman Hamas, dan pencegahan potensi serangan di masa depan menjadi justifikasi utama operasi militer tersebut.

Namun, dalam realisme ofensif, tindakan ini juga bisa dibaca sebagai ekspansi kekuasaan Israel yang tak terbatas demi menciptakan lingkungan yang sepenuhnya dikendalikan secara militer dan politik termasuk lewat demiliterisasi Gaza dan pengendalian populasi sipil melalui pemindahan massal yang dapat dikategorikan sebagai pemindahan paksa (forcible transfer), sebuah pelanggaran serius dalam hukum humaniter internasional.

Dalam kerangka liberalisme, seharusnya ada harapan bahwa komunitas internasional melalui institusi multilateral seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional dapat memainkan peran mediasi, mendorong perundingan, serta memulihkan perdamaian berbasis kesepakatan dua negara.

Namun, kenyataannya, meski pertemuan multilateral seperti konferensi PBB yang dipimpin Prancis dan Arab Saudi menghasilkan deklarasi yang mendukung negara Palestina, efek nyata di lapangan sangat minim. Amerika Serikat (AS) dan Israel bahkan telah menarik diri dari perundingan di Doha pada akhir Juli 2025, menunjukkan keterbatasan efektivitas pendekatan institusional. Ketidakseimbangan kekuatan antarnegara dan dominasi aktor besar seperti AS memperlihatkan bahwa institusi internasional tidak netral, melainkan refleksi dari kepentingan negara-negara kuat.

Sementara itu, perspektif konstruktivisme dapat menyoroti bagaimana narasi, identitas, dan persepsi membentuk konflik ini. Israel membingkai operasi militer sebagai “perang melawan terorisme” yang ditujukan untuk membebaskan sandera dan melucuti Hamas. Sebaliknya, Palestina dan negara-negara pendukung seperti Indonesia, Turki, dan Tiongkok melihatnya sebagai bentuk pendudukan ilegal dan pemusnahan kolektif.

Identitas sebagai korban dan penjajah dibentuk dan diperkuat melalui simbol, wacana, dan respons publik internasional seperti protes di Tel Aviv dan Istanbul, serta kecaman dari berbagai negara. Keputusan Tiongkok dan Turki untuk secara terbuka mengecam rencana pendudukan Gaza merupakan bukti bagaimana ide dan norma internasional tentang keadilan, kedaulatan, dan hak asasi manusia masih memiliki resonansi kuat, meski belum mampu mengubah perilaku negara kuat seperti Israel.

Krisis ini juga dapat dibaca melalui teori poskolonial yang menyoroti hubungan kekuasaan antara negara penjajah dan wilayah terjajah. Israel tidak hanya bertindak sebagai kekuatan militer, tetapi juga sebagai entitas kolonial yang menentukan nasib populasi Palestina tanpa partisipasi mereka.

Pemindahan paksa satu juta warga Gaza dan upaya “pengelolaan” wilayah pasca-konflik melalui opsi penempatan sementara pasukan internasional menegaskan logika kolonial yaitu dominasi atas ruang, populasi, dan masa depan politik pihak lain. Penolakan Israel terhadap solusi dua negara dan keengganannya mengikuti konferensi internasional menyiratkan upaya meneguhkan narasi eksklusivitas etno-nasionalis, seraya mereduksi warga Palestina menjadi obyek keamanan, bukan subyek hak politik.

Di sisi lain, tanggapan dari aktor-aktor seperti Tiongkok memperlihatkan munculnya kekuatan alternatif dalam lanskap global yang menantang hegemoni Barat dalam menyusun ulang sistem norma internasional. Desakan Tiongkok untuk menghormati prinsip “rakyat Palestina memerintah Palestina” adalah bentuk penolakan terhadap pendekatan unilateralisme Israel-AS. Dorongan untuk implementasi solusi dua negara juga mencerminkan arus multipolaritas dalam hubungan internasional saat ini, di mana wacana dominan tak lagi hanya milik satu blok.

Namun, fragmentasi respons internasional dan lemahnya tekanan nyata terhadap Israel menunjukkan paradoks mendasar dalam sistem internasional meski terdapat hukum internasional, seperti keputusan Mahkamah Internasional yang menyatakan pendudukan Israel ilegal, mekanisme penegakannya nyaris nihil ketika berhadapan dengan negara kuat yang mendapat dukungan aliansi strategis. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah hukum internasional hanya berlaku bagi negara-negara lemah? Dan apakah keadilan hanya bisa ditegakkan jika sesuai dengan kepentingan geopolitik negara-negara besar?

Penderitaan warga Gaza yang kini menghadapi kelaparan sistemik, malnutrisi, keterbatasan akses bantuan, serta trauma kolektif yang mendalam menggambarkan tragedi kemanusiaan yang gagal dicegah oleh komunitas internasional. Ketika lebih dari 60.000 orang terbunuh dalam waktu kurang dari dua tahun, dunia tidak hanya menyaksikan kegagalan diplomasi, tetapi juga kejatuhan moral peradaban internasional. Klaim Israel bahwa bantuan kemanusiaan akan ditingkatkan bersamaan dengan serangan militer merupakan ironi pahit. Di satu sisi menggambarkan intensi perbaikan citra, di sisi lain memperlihatkan taktik kekuasaan untuk mengatur hidup dan mati warga sipil.

Dalam konteks ini, Indonesia bersama negara-negara Global South lainnya memiliki posisi strategis untuk membangun koalisi normatif yang mendorong rekonstruksi sistem internasional lebih adil dan setara. Tuntutan Indonesia agar semua negara mengakui Palestina, menghentikan kekerasan, dan mendorong masa depan yang ditentukan oleh rakyat Palestina sendiri menjadi manifestasi diplomasi moral yang menolak standar ganda dalam politik global. Namun, tekanan ini memerlukan konsistensi, termasuk di level regional seperti Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan forum multilateral lainnya.

Konflik Gaza tidak dapat dilihat sekadar sebagai pertikaian dua entitas, melainkan sebagai refleksi krisis legitimasi sistem internasional yang semakin kehilangan kemampuannya untuk mencegah kekerasan, mengawal hak asasi, dan menegakkan keadilan. Selama ketimpangan kekuasaan menjadi dasar penyelesaian konflik, solusi dua negara akan tetap menjadi retorika kosong, dan Gaza akan terus menjadi luka terbuka peradaban global.

Oleh karena itu, dalam dunia yang terhubung dan semakin sadar akan keadilan, tekanan publik internasional, solidaritas lintas negara, dan rekonstruksi ulang paradigma hubungan internasional menjadi syarat mutlak untuk keluar dari spiral kekerasan yang tak berujung ini. Karena jika dunia gagal bertindak secara kolektif, maka bukan hanya Palestina yang akan kehilangan masa depannya, tetapi juga tatanan internasional yang dibangun atas nama keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian.

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 yang dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner
Giorgia Meloni International

Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

banner