Sabtu, 19 Juli 2025 23:54:3 WIB

Hedging Diplomacy: Jalan Tengah Indonesia di Antara Dua Raksasa AS-Tiongkok
Indonesia

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi

Dunia internasional saat ini berada dalam kondisi penuh ketegangan sistemik, dengan kontestasi antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjelma menjadi episentrum geopolitik global. Kompetisi ini tak lagi terbatas pada aspek ekonomi semata, melainkan telah menjalar ke ranah pengaruh ideologis, manuver militer, serta dominasi teknologi dan energi.

Dalam lanskap global seperti ini, Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) dengan posisi strategis di Indo-Pasifik tidak bisa bersikap pasif. Justru, situasi tersebut menuntut penerjemahan konkret dari prinsip politik luar negeri "bebas dan aktif" yang telah menjadi fondasi sejak era kemerdekaan.

Dari perspektif teori hubungan internasional, posisi Indonesia dapat dianalisis melalui paradigma realisme, liberalisme institusional, dan teori konstruktivisme. Dalam pendekatan realis, negara dianggap sebagai aktor rasional yang bertahan dalam sistem anarki internasional dengan mengejar kepentingan nasional dan keamanan strategisnya.

Paradigma ini menjelaskan bagaimana Indonesia merespons tekanan AS melalui manuver diplomatik pragmatis, sekaligus menjaga kerja sama pertahanan dengan kekuatan militer terkuat dunia tersebut. Dalam teori liberal, relasi ekonomi dan institusi multilateral dipandang sebagai sarana penting untuk membangun perdamaian dan stabilitas. Ini tercermin dalam upaya Indonesia menjaga keterlibatan aktif dengan berbagai mitra, termasuk bergabung dengan Kelompok Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan (BRICS) serta memperkuat peran dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Sedangkan konstruktivisme memberikan penekanan pada pentingnya identitas nasional, norma, dan persepsi dalam membentuk kebijakan luar negeri. Melalui lensa ini, posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan pemilik narasi "bebas dan aktif" menjadi fondasi moral yang membentuk pilihan strategis di tengah pertarungan hegemoni global.

Konflik dagang terbaru pada awal tahun 2025, yang dipicu oleh kebijakan tarif agresif AS di bawah pemerintahan Trump, menjadi salah satu ilustrasi nyata bagaimana tekanan eksternal menguji daya tahan diplomasi ekonomi Indonesia. Pengenaan tarif hingga 32 persen terhadap komoditas strategis seperti karet, tekstil, dan nikel, tentu bukan hanya berdampak pada pelaku usaha dalam negeri, tetapi juga dapat memicu guncangan pada stabilitas neraca perdagangan.

Namun, alih-alih menggunakan pendekatan konfrontatif atau menutup diri, pemerintah Indonesia justru menjalankan strategi balasan yang subtil namun efektif, yakni dengan menawarkan pembelian komoditas Amerika secara besar-besaran, seperti gandum dan kapas, serta membuka peluang pembelian pesawat Boeing oleh maskapai nasional. Strategi ini menunjukkan pemanfaatan "leverage" diplomasi ekonomi sebagai alat negosiasi, serta komitmen untuk tetap menjaga hubungan bilateral tanpa tunduk pada tekanan sepihak.

Pendekatan terhadap Tiongkok justru memperlihatkan nuansa yang berbeda, yakni lebih proaktif dan berbasis kerja sama jangka panjang. Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah mengukuhkan posisinya sebagai investor infrastruktur terbesar di Indonesia melalui proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung.

Selain itu, kerja sama di bidang energi hijau, keamanan maritim, dan teknologi digital menunjukkan bahwa relasi kedua negara melampaui hubungan dagang konvensional. Dalam teori interdependensi kompleks, keterkaitan ekonomi dan politik yang mendalam seperti ini justru menjadi instrumen untuk meredam konflik dan memperkuat stabilitas regional.

Namun, kedekatan ini tidak serta-merta menandakan keberpihakan Indonesia secara total terhadap Tiongkok. Dalam strategi hubungan internasional, pendekatan yang diterapkan Indonesia saat ini lebih tepat disebut sebagai “hedging”, yaitu upaya menyeimbangkan risiko dengan menjalin hubungan strategis ke berbagai arah secara simultan.

Ini berbeda dengan “bandwagoning” (ikut pada satu kekuatan dominan) maupun "balancing" (mengimbangi satu kekuatan dengan beraliansi pada lawannya). Melalui "hedging", Indonesia tidak hanya mempertahankan kedaulatan diplomatik, tetapi juga mengoptimalkan manfaat ekonomi dan keamanan dari berbagai kutub kekuatan global. Teori "hedging" ini banyak digunakan untuk menjelaskan strategi negara-negara Asia Tenggara yang berada di bawah bayang-bayang rivalitas AS–Tiongkok.

Bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok BRICS pada tahun 2025 memberikan dimensi baru dalam strategi politik luar negeri Indonesia. BRICS merupakan blok negara-negara berkembang yang menantang dominasi ekonomi politik negara-negara Barat dan membuka jalur alternatif dalam kerja sama keuangan, pembangunan infrastruktur, dan inovasi teknologi.

Keikutsertaan Indonesia dalam forum ini tidak hanya memperluas kanal diplomatik, tetapi juga memperkokoh posisi tawar di mata negara-negara Kelompok 7 (G7). Langkah ini sesuai dengan konsep "multi-alignment" yang mendorong keterlibatan aktif dalam berbagai poros kekuatan internasional demi memaksimalkan manfaat nasional dan mencegah ketergantungan pada satu kutub global.

Implikasi dari pendekatan "hedging" ini terhadap masyarakat Indonesia cukup signifikan. Pertama, dari sisi ekonomi, diversifikasi mitra dagang ke berbagai negara memberikan bantalan penting dalam menjaga stabilitas harga, mencegah kelebihan pasokan, dan menghindari keterpurukan jika salah satu pasar utama mengalami disrupsi.

Kedua, peningkatan investasi asing dari baik Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, maupun AS menciptakan lapangan kerja baru di berbagai sektor, mulai dari infrastruktur, manufaktur, hingga ekonomi digital. Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan nasional yang menekankan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan.

Namun demikian, tidak dapat diabaikan bahwa kebijakan "hedging" juga membawa risiko inheren. Hubungan yang memburuk dengan salah satu kekuatan besar dunia bisa memicu pembalasan ekonomi atau tekanan diplomatik yang signifikan. Misalnya, jika Indonesia dianggap terlalu dekat dengan Tiongkok, bukan tidak mungkin AS akan meninjau ulang kerja sama pertahanan atau perdagangan.

Sebaliknya, jika terlalu condong ke Barat, Tiongkok bisa menahan investasi atau menghambat ekspor Indonesia. Oleh karena itu, keahlian diplomatik dan sensitivitas geopolitik menjadi kunci dalam menjalankan strategi ini. Pemerintah Indonesia harus mampu menjaga komunikasi yang terbuka dan seimbang dengan semua pihak, sambil memperkuat posisi tawar melalui kerja sama regional dan kapasitas nasional.

Dalam konteks Indo-Pasifik yang semakin strategis dan sensitif, Indonesia juga perlu memperkuat kehadiran dan kapabilitas militernya di kawasan perbatasan, khususnya di Laut Natuna Utara yang kerap menjadi wilayah sengketa di Laut Cina Selatan. Upaya memperkuat coast guard nasional, meningkatkan kemampuan patroli laut, dan menjalin latihan bersama dengan negara-negara seperti Jepang, Australia, dan AS merupakan langkah-langkah konkrit yang perlu terus diperluas. Ini bukan dalam rangka memilih kubu, tetapi mempertegas kedaulatan wilayah Indonesia sesuai hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982.

Selain itu, penguatan diplomasi ekonomi harus diimbangi dengan transformasi dalam negeri, khususnya peningkatan daya saing industri nasional, penguatan teknologi lokal, dan pengembangan energi terbarukan. Dengan demikian, ketergantungan terhadap modal dan teknologi asing dapat diminimalisasi, sehingga posisi tawar Indonesia tidak hanya bergantung pada manuver diplomatik, tetapi juga pada kekuatan riil dalam negeri.

Dengn demikian, strategi Indonesia dalam menavigasi pertarungan dua raksasa dunia ini dapat menjadi model bagi negara-negara berkembang lainnya. Dengan menggabungkan prinsip moral politik luar negeri "bebas dan aktif", pendekatan realistis dalam mengamankan kepentingan nasional, serta keterlibatan aktif dalam forum multilateral, Indonesia menunjukkan bahwa tidak memilih bukan berarti lemah, dan menjaga keseimbangan bukan berarti ambigu. Justru di tengah dunia yang terpolarisasi, strategi seperti inilah yang memberi ruang bagi aktor-aktor menengah untuk tampil sebagai jembatan dialog dan kekuatan penyeimbang dunia multipolar yang sedang tumbuh.

Komentar

Berita Lainnya

Kegiatan interaktif tentang adat istiadat Indonesia

Rabu, 5 Oktober 2022 15:20:17 WIB

banner
Kapolri Jenderal Pol Indonesia

Jumat, 7 Oktober 2022 10:59:49 WIB

banner