Jumat, 8 Agustus 2025 23:50:56 WIB

Strategi Ganda AS yang Rencana Kunjungi Taiwan: Menjaga Demokrasi atau Memancing Perang?
International

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Presiden Taiwan, Lai Ching‑te sedang bertukar cenderamata dengan delegasi kongres AS di Kantor Kepresidenan Taipei

Dalam dunia hubungan internasional, ada kalanya sebuah kunjungan diam-diam dapat berdampak lebih besar daripada sebuah pertemuan tingkat tinggi yang terbuka. Dugaan rencana kunjungan rahasia delegasi Kongres Amerika Serikat (AS) ke Taiwan pada Agustus 2025 kembali memicu respons keras dari Beijing. Juru Bicara Kementerian Pertahanan Nasional Tiongkok, Jiang Bin, secara tegas menegaskan posisi negaranya, dimana Taiwan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Tiongkok, dan segala bentuk pertukaran resmi antara AS dan Taiwan dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip satu Tiongkok.

Namun, apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik drama geopolitik ini? Dari perspektif realis yang menekankan pentingnya kekuatan dan keamanan dalam hubungan internasional, situasi ini mencerminkan dinamika klasik balance of power. AS sebagai kekuatan hegemonik yang semakin merasa terancam oleh kebangkitan Tiongkok, menggunakan Taiwan sebagai "pion strategis" dalam upayanya mempertahankan dominasi di kawasan Indo-Pasifik.

Dukungan AS terhadap Taiwan, meskipun tidak secara formal mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, diwujudkan melalui penjualan senjata, kunjungan pejabat, serta kebijakan-kebijakan yang memberi isyarat dukungan politik. Langkah-langkah ini secara efektif menggoyahkan narasi “satu Tiongkok” yang selama ini menjadi dasar diplomasi Beijing.

Tak heran jika Tiongkok merespons dengan mengerahkan kekuatan militer di sekitar Selat Taiwan setiap kali terjadi eskalasi seperti ini. Dalam kalkulasi realis, keamanan adalah nol-sum game. Artinya, jika Taiwan semakin dekat ke AS dapat dianggap sebagai kerugian strategis bagi Tiongkok.

Namun, tidak semua dapat dijelaskan hanya melalui lensa kekuatan. Paradigma konstruktivis, yang menekankan peran ide, identitas, dan norma internasional, memberikan pemahaman berbeda. Tiongkok dan AS sedang berkompetisi bukan hanya dalam ranah militer dan ekonomi, tetapi juga dalam membentuk narasi global.

Taiwan, dengan demokrasi yang hidup dan sistem politik yang berbeda dari daratan Tiongkok, telah menjadi simbol alternatif atas apa arti “Tiongkok” di mata dunia. Bagi Beijing, ini adalah ancaman terhadap legitimasi politiknya di dalam negeri dan visinya tentang tatanan internasional.

Sementara itu, bagi Washington, dukungan terhadap Taiwan bukan hanya soal geopolitik, tetapi juga tentang mempertahankan “nilai-nilai demokrasi” di kawasan yang menurut mereka kian dikuasai otoritarianisme. Itulah mengapa, isu Taiwan menjadi simbol tarik menarik antara dua visi dunia, yang satu berbasis pada nilai-nilai sosialis sementara yang lain berbasis nilai-nilai liberal global.

Beberapa analis menyebut situasi saat ini sebagai bentuk baru “Perang Dingin” antara Tiongkok dan AS, dengan Taiwan sebagai salah satu titik nyalanya. Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), belanja militer Tiongkok terus meningkat dan kini menempati urutan kedua setelah AS. Sementara itu, Taiwan juga terus memperkuat pertahanannya dengan bantuan senjata canggih dari AS.

Kita tak bisa melupakan kunjungan Ketua DPR AS saat itu, Nancy Pelosi, ke Taiwan pada tahun 2022 yang memicu latihan militer besar-besaran oleh Tiongkok. Itu bukan sekadar “unjuk kekuatan” militer, tapi juga pesan politik yang jelas bhwa Tiongkok tidak akan tinggal diam menghadapi apa yang mereka anggap sebagai campur tangan asing.

Kini, pada thun 2025, pola yang sama tampaknya berulang. Delegasi Kongres AS kembali mencoba memainkan peran politik yang sensitif sehingga membuat Beijing kembali menegaskan batasannya. Pertanyaannya, ke mana arah konflik ini? Ada dua kemungkinan utama. Pertama, dunia bisa kembali pada pendekatan diplomasi multilateral, di mana aktor-aktor seperti Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan bahkan forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dapat menjadi arena dialog terbuka yang jujur tentang status Taiwan dan stabilitas kawasan.

Kedua, yang lebih mungkin terjadi dalam jangka pendek adalah kelanjutan status quo yang rapuh, dimana AS terus mendukung Taiwan secara tidak langsung, Tiongkok terus menekan, dan Taiwan sendiri terus memperkuat kapasitas pertahanannya sambil menjaga jarak aman dari deklarasi kemerdekaan formal.

Taiwan mungkin hanya sebuah pulau kecil dengan populasi sekitar 23 juta orang. Namun, dalam geopolitik global, ia adalah simbol besar tentang nilai, kekuasaan, dan masa depan tatanan dunia. Apa yang terjadi di Taiwan bukan sekadar urusan domestik Tiongkok, melainkan pertarungan narasi dan pengaruh global yang menentukan arah dunia di dekade mendatang. Artinya, jika diplomasi gagal dan ego kekuatan besar terus bertabrakan, bukan tidak mungkin pulau kecil ini menjadi pemantik api konflik yang jauh lebih besar.

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 yang dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner
Giorgia Meloni International

Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

banner