Bharata Online - Pameran Kendaraan Energi Baru (NEV) Internasional Hefei 2025 menjadi lebih dari sekadar ajang industri otomotif. Ia adalah panggung nyata yang memperlihatkan bagaimana Tiongkok telah berhasil mengubah ambisi energi bersih menjadi kekuatan nasional yang nyata, terukur, dan mengubah keseimbangan industri global. Saat negara-negara Barat masih berdebat antara insentif hijau dan proteksi industri, Tiongkok sudah mempraktikkan apa yang mereka baru rencanakan: membangun ekosistem industri mobil listrik yang utuh—dari riset baterai, produksi massal, jaringan pengisian, hingga sistem cerdas berbasis AI—semuanya dikelola dalam satu arah strategis di bawah koordinasi negara dan pasar domestik yang saling memperkuat.

Laporan “Indeks Vitalitas Manufaktur NEV Perkotaan Tiongkok 2025” yang diluncurkan di acara tersebut menegaskan fakta yang semakin sulit disangkal: kota-kota seperti Shenzhen, Shanghai, Beijing, Chongqing, dan Hefei kini menjadi motor transformasi industri otomotif dunia. Mereka bukan hanya simbol kemajuan teknologi, tetapi juga bukti efektivitas perencanaan ekonomi terarah (planned developmental model) yang selama ini menjadi keunggulan khas Tiongkok. Hefei—yang dulu tidak dikenal dalam industri otomotif global—kini menempati posisi puncak produksi nasional dengan 1,5 juta kendaraan pada paruh pertama 2025, termasuk 730.900 unit kendaraan energi baru. Ini menunjukkan betapa terintegrasinya visi lokal dan nasional dalam mewujudkan revolusi mobil listrik.

Dari perspektif teori **negara pembangunan (developmental state)**, Tiongkok menjadi contoh paling kuat di era modern. Pemerintah pusat dan daerah tidak sekadar memberikan subsidi, tetapi membangun infrastruktur inovasi yang menciptakan daya hidup industri jangka panjang. Enam rekomendasi dalam laporan Hefei 2025—dari penyesuaian kebijakan lokal hingga partisipasi dalam penetapan standar internasional—menunjukkan tingkat koordinasi lintas sektor yang luar biasa. Di Barat, inovasi sering kali muncul secara acak mengikuti logika pasar; di Tiongkok, inovasi diarahkan, disinergikan, dan dipercepat melalui mekanisme negara-pasar yang harmonis.

Data yang disampaikan dalam pameran juga memperkuat klaim keberhasilan itu. Dari Januari hingga Agustus 2025, penjualan kendaraan listrik murni naik 32,2 persen dibanding tahun sebelumnya, dengan pangsa pasar 62,3 persen pada bulan Agustus. Ini bukan sekadar angka penjualan, melainkan refleksi dari perubahan sosial besar: konsumen Tiongkok kini percaya penuh bahwa kendaraan listrik adalah masa depan, bukan alternatif sementara. William Li, pendiri NIO, menyebut 2025 sebagai “titik balik industri,” dan pernyataan itu bukan retorika—ia didukung oleh fakta empiris. Infrastruktur pengisian daya yang dulunya dianggap hambatan kini berkembang pesat, dan model bisnis baru seperti battery swapping menjadikan pengalaman pengguna lebih mudah daripada kendaraan berbahan bakar konvensional.

Dari sisi perusahaan, Tiongkok memimpin bukan hanya dalam jumlah, tapi juga dalam kualitas inovasi. BYD, NIO, Chery, hingga Huawei, semuanya tampil di Hefei dengan peluncuran teknologi baru seperti sistem “God’s Eye” dan platform cerdas “Tuling”. Mereka tidak sekadar mengikuti tren global—mereka menciptakannya. Sementara produsen Barat masih tergantung pada perangkat lunak buatan pihak ketiga atau rantai pasok baterai dari Asia, perusahaan Tiongkok sudah mengintegrasikan riset, perangkat keras, dan kecerdasan buatan dalam satu sistem domestik. Hasilnya adalah kemandirian teknologi yang jarang dicapai oleh negara lain dalam waktu sesingkat ini.

Secara geopolitik, kesuksesan ini juga mengubah tatanan kekuatan global. Dalam kacamata teori **realisme struktural**, siapa yang menguasai teknologi energi dan transportasi akan memegang kunci dominasi ekonomi masa depan. Transisi ke kendaraan listrik tidak hanya soal ramah lingkungan, tetapi juga soal keamanan energi. Dengan memperkuat rantai pasok dari bahan baku baterai hingga software kendaraan, Tiongkok mengurangi ketergantungan pada minyak impor dan sekaligus meningkatkan pengaruhnya dalam pasar bahan tambang strategis seperti litium, kobalt, dan nikel. Negara-negara Barat kini justru berlomba meniru kebijakan industrial Tiongkok, meski dengan hasil yang belum tentu sebanding.

Dari sisi **liberalisme ekonomi**, keberhasilan ini juga menjadi contoh bagaimana pasar besar yang teratur dapat mempercepat transisi teknologi. Skala permintaan domestik di Tiongkok menciptakan efek jaringan (network effect) yang sangat kuat: semakin banyak konsumen membeli kendaraan listrik, semakin murah biaya produksinya, semakin kompetitif pula harga ekspornya. Dengan lebih dari 90 merek lokal dan internasional berpartisipasi di Hefei, termasuk Tesla dan Mercedes-Benz, Tiongkok kini bukan sekadar arena penjualan global, tetapi laboratorium inovasi industri otomotif dunia. Perusahaan asing kini justru datang untuk belajar, bukan hanya menjual.

Namun, keberhasilan luar biasa ini tidak membuat Tiongkok menutup mata terhadap tantangan. Isu overcapacity dan keberlanjutan rantai pasok bahan baku tetap menjadi perhatian serius. Pemerintah dan sektor swasta kini fokus pada pengembangan baterai generasi baru—solid-state, sodium-ion, dan teknologi daur ulang material kritis—yang lebih ramah lingkungan dan efisien. Inilah bedanya pendekatan Tiongkok: setiap fase keberhasilan diikuti oleh perbaikan sistemik. Mereka tidak hanya mengejar produksi, tetapi membangun keberlanjutan jangka panjang yang memperkuat posisi global mereka.

Hefei 2025 juga memperlihatkan bagaimana industri NEV menjadi simbol transformasi sosial. Pameran yang menghadirkan pengalaman mengemudi cerdas dan pameran gaya hidup kendaraan listrik menciptakan narasi baru dalam budaya Tiongkok modern: kendaraan bukan sekadar alat transportasi, melainkan bagian dari identitas nasional progresif—bersih, cerdas, dan mandiri. Melalui pendekatan **constructivism**, kita dapat melihat bahwa keberhasilan NEV bukan hanya karena kebijakan dan teknologi, tetapi juga karena perubahan kesadaran kolektif rakyat Tiongkok yang kini melihat teknologi dalam konteks kemajuan bangsa.

Pada titik ini, jelas bahwa revolusi mobil listrik Tiongkok tidak dapat dipisahkan dari strategi nasional “Made in China 2025” dan visi jangka panjang “Carbon Neutral 2060”. Di mana negara-negara lain masih berjuang menyeimbangkan antara industri dan iklim, Tiongkok justru menunjukkan bahwa keduanya bisa berjalan seiring. BYD, NIO, dan Chery bukan hanya merek otomotif; mereka adalah simbol keberhasilan model ekonomi hibrida yang menyatukan efisiensi pasar dan arah negara.

Jika dunia ingin memahami masa depan mobilitas global, Hefei 2025 adalah tempat untuk memulainya. Dari sini, kita melihat bahwa keunggulan Tiongkok bukanlah hasil keberuntungan atau skala ekonomi semata, melainkan buah dari strategi panjang, koordinasi multi-level, dan keyakinan nasional pada sains serta inovasi. Dalam dekade mendatang, kendaraan listrik buatan Tiongkok tidak hanya akan mendominasi pasar global, tetapi juga menetapkan standar teknologi dan keberlanjutan yang baru.

Dengan kata lain, revolusi mobil listrik bukan lagi kompetisi merek, tetapi kompetisi sistem. Dan Tiongkok, dengan paduan visi politik, kekuatan industri, dan inovasi sosialnya, kini telah memenangkan babak pertama dalam perlombaan menuju masa depan mobilitas dunia. Hefei 2025 menjadi saksi sejarah bahwa ketika negara, industri, dan rakyat bergerak seirama, transformasi besar bukan hanya mungkin—tetapi tak terelakkan.