Pameran otomotif internasional (Internationale Automobil-Ausstellung/IAA) Mobility 2025 di Munich, Jerman, tidak hanya menjadi ajang pamer teknologi dan kendaraan masa depan. Ia menjelma sebagai arena geopolitik baru yang mencerminkan perubahan mendasar dalam keseimbangan kekuatan global.
Tiongkok, yang hadir dengan lebih dari 100 perusahaan sebagai jumlah terbanyak sepanjang sejarah pameran ini tidak hanya menunjukkan keseriusan untuk menguasai pasar kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) dunia, tetapi juga memperlihatkan bagaimana negara itu berhasil menggabungkan kekuatan ekonomi, teknologi, dan strategi diplomatik dalam bentuk baru yaitu ekspansi industri berbasis inovasi.
Transformasi Industri Otomotif Global: Dari Dominasi Eropa ke Ambisi Asia
Selama beberapa dekade, raksasa otomotif Jerman seperti BMW, Volkswagen, dan Mercedes-Benz mendominasi panggung IAA. Namun pada tahun 2025, dominasi tersebut mulai goyah.
Perusahaan-perusahaan Tiongkok seperti BYD, XPeng, GAC, dan Leapmotor tampil agresif dengan inovasi teknologi mutakhir, desain futuristik, serta strategi bisnis yang terstruktur. Mereka tidak hanya memamerkan mobil listrik, tetapi juga mobil terbang, sistem kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) untuk kendaraan, dan teknologi baterai ultra-cepat.
Sebagai contoh, GAC meluncurkan SUV listrik Aion V dengan baterai tahan api dan jarak tempuh 510 km, sementara BYD menghadirkan teknologi ‘flash charging’ yang mampu menambah 400 km hanya dalam waktu lima menit pengisian daya.
XPeng mengedepankan pendekatan berbasis AI dan otomatisasi, bahkan memperkenalkan mobil terbang sebagai bagian dari strategi jangka panjang mereka. Ini semua bukan sekadar pameran teknologi, melainkan deklarasi global bahwa Tiongkok kini menjadi pemimpin revolusi mobilitas di dunia.
Kerja Sama dan Persaingan: Perspektif Teori Hubungan Internasional
Realisme dan Perimbangan Kekuatan
Dari perspektif realisme, kehadiran masif Tiongkok di Pameran IAA 2025 merupakan upaya memperluas pengaruh global melalui kekuatan ekonomi dan teknologi.Di tengah persaingan global dengan Amerika Serikat (AS) dan tekanan geopolitik berupa perang tarif, Tiongkok memilih jalur “geoekonomi ofensif” untuk menegaskan posisinya. Kekuatan tidak lagi dimaknai hanya sebagai kekuatan militer, tetapi juga penguasaan atas sektor strategis seperti industri kendaraan listrik.
Liberalisme dan Interdependensi Global
Meskipun ada ketegangan global, Pameran IAA 2025 juga mencerminkan nilai-nilai liberalisme dalam hubungan internasional, yaitu melalui kerja sama antarkorporasi lintas negara.Produsen mobil Jerman dan Tiongkok justru saling melengkapi. Eropa membutuhkan teknologi digital dan AI dari Tiongkok, sementara Tiongkok membutuhkan pasar, kepercayaan, dan legitimasi dari Eropa. Kolaborasi seperti ini mencerminkan adanya interdependensi yang saling menguntungkan di tengah persaingan global.
Teori Dependensia dan Ketimpangan Rantai Pasok
Namun, dari pendekatan strukturalis dan teori dependensia, kehadiran dominan Tiongkok juga menimbulkan kekhawatiran baru. Kekhawatiran itu tentu datang dari negara-negara Eropa seperti Jerman yang selama ini dominan dalam mobilitas global yang kini semakin terancam.Ketergantungan Eropa terhadap baterai, komponen digital, dan sistem AI buatan Tiongkok bisa menempatkan negara-negara Eropa dalam posisi yang rentan. Terlebih, Tiongkok menguasai sebagian besar rantai pasok baterai global, termasuk pengolahan mineral langka seperti litium dan kobalt.
Institusionalisme dan Tata Kelola Global Baru
Dengan terselenggaranya kongres kendaraan energi baru dunia (World New Energy Vehicle Congress/WNEVC) di Munich secara bersamaan, muncul pula dinamika baru tata kelola industri otomotif global.Pameran ini menjadi ruang penting untuk membentuk norma dan standar baru, seperti efisiensi energi, keamanan digital, dan teknologi otonom. Ini memperlihatkan bagaimana institusi global bisa menjadi wadah rekonsiliasi antara kepentingan nasional, industri, dan lingkungan sehingga hubungan antar negara dapat terjalin dengan baik.
Strategi Lokalisasi dan Adaptasi Tiongkok di Eropa
Berbeda dengan pendekatan ekspor konvensional, perusahaan Tiongkok kini mengadopsi strategi lokalisasi. BYD akan membuka pabrik di Hungaria, XPeng membangun pusat riset di Munich, dan GAC mulai mendistribusikan kendaraan mereka langsung ke negara-negara seperti Polandia, Portugal, dan Finlandia.
Bahkan perusahaan teknologi otomotif Tiongkok, Desay SV berhasil mengadaptasi sistem asisten mengemudi sesuai regulasi Jerman, mulai dari pembacaan rambu lalu lintas hingga etika mengemudi lokal.
Strategi ini menunjukkan bahwa perusahaan Tiongkok bukan hanya ingin masuk pasar, tetapi menyesuaikan diri secara penuh dengan kebutuhan, budaya, dan regulasi Eropa. Filosofi seperti “In Europe, with Europe, for All” yang diusung Desay SV adalah bentuk baru dari diplomasi industri dan soft power ekonomi.
Respon Eropa: Dari Ketakutan ke Inovasi
Tak dapat dipungkiri, lonjakan kehadiran perusahaan Tiongkok membuat industri otomotif Jerman merasa terancam. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan para pemimpin industri seperti Oliver Blume selaku CEO Volkswagen dan Ola Källenius selaku CEO Mercedes-Benz yang menegaskan bahwa mereka tidak akan diam menghadapi persaingan ini.
Mereka menyebut bahwa industri otomotif Jerman sedang berinvestasi “sebesar yang belum pernah terjadi sebelumnya”, dengan fokus pada masa depan elektrifikasi dan digitalisasi.
Namun, resistensi juga muncul dalam bentuk kebijakan. Komisi Eropa merencanakan tarif impor EV buatan Tiongkok hingga 36,3 persen. Meski bertujuan melindungi industri dalam negeri, banyak pihak menilai langkah ini justru bisa merugikan konsumen Eropa, karena harga mobil akan naik dan pilihan menjadi terbatas.
Mengapa Tiongkok Bisa Memimpin Revolusi EV?
Keunggulan Tiongkok dalam industri kendaraan listrik bukan terjadi dalam semalam. Terdapat sejumlah faktor yang mendasari dominasi mereka. Pertama, investasi jangka panjang oleh negara termasuk subsidi besar untuk produsen EV dan pengembangan infrastruktur. Kedua, penguasaan rantai pasok global terutama dalam produksi baterai dan pengolahan mineral penting.
Ketiga, Kemampuan produksi skala besar dan cepat yang memungkinkan mereka untuk menciptakan produk kompetitif dengan harga murah namun fitur canggih. Dan keempat, Fleksibilitas dalam desain dan teknologi serta kesiapan mengadopsi sistem digital dan AI secara masif. Semua ini menjadikan mobil buatan Tiongkok bukan hanya lebih murah, tetapi juga lebih canggih dan relevan dengan kebutuhan mobilitas masa depan.
IAA 2025 sebagai Titik Balik: Mobilitas sebagai Wujud Politik Global
Pameran IAA 2025 menjadi saksi bahwa kendaraan tidak lagi hanya produk industri, tetapi juga alat diplomasi ekonomi, simbol kekuasaan teknologi, dan alat tawar dalam geopolitik. Mobil kini menjadi perpanjangan tangan negara untuk merebut pengaruh, membentuk opini publik, dan memperluas jaringan ekonomi global.
Tiongkok tidak datang untuk sekadar "mencoba-coba" pasar Eropa. Mereka datang dengan kesiapan penuh, riset mendalam, dan tujuan strategis yang jelas untuk menjadi pemimpin global dalam mobilitas masa depan. Di sisi lain, Eropa harus bergerak cepat bukan hanya dalam berinovasi, tetapi juga dalam merumuskan ulang strategi industrialisasi, kemandirian teknologi, dan kebijakan luar negeri berbasis ekonomi.
Penutup: Siapa yang Akan Memimpin Masa Depan Mobilitas?
Pameran IAA 2025 bukan hanya panggung otomotif, melainkan cermin zaman. Ketika perusahaan Tiongkok berada di posisi sentral dan merek Eropa mulai tersisih dari sorotan, dunia menyaksikan pergeseran besar yang tidak bisa dihindari. Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang punya sejarah panjang, tapi siapa yang paling siap memimpin masa depan?
Dalam dunia multipolar seperti saat ini, dominasi tidak lagi tunggal. Tapi kehadiran masif dan terorganisir dari Tiongkok di Munich menjadi tanda kuat bahwa perang masa depan bukan lagi soal senjata, melainkan soal siapa yang mampu menjual masa depan dengan lebih baik. Dan saat ini, tampaknya Tiongkok sedang unggul dalam perlombaan itu.