Jumat, 3 Februari 2023 18:18:15 WIB

Percampuran budaya
Sosial Budaya

ANTARA

banner

Pakar budaya Tionghoa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Rahadjeng Pulungsari Hadi, M.Hum. (ANTARA)

JAKARTA, Radio Bharata Online -  Pakar budaya Tionghoa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr Rahadjeng Pulungsari Hadi, M.Hum., menyatakan akulturasi budaya Tionghoa menyumbangkan keragaman budaya Indonesia.

"Percampuran budaya, selama masih disebut akulturasi, tidak memberi dampak negatif. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah ketika budaya luar mendominasi dan lebih dielu-elukan daripada budaya sendiri," kata Rahadjeng Pulungsari Hadi di Kampus UI Depok, Rabu.

Menurut dia, mengalirnya arus budaya luar di era globalisasi harus disikapi dengan bijak. "Kita juga harus menjaga budaya negeri sendiri agar terus berdiri dengan kokoh," ucapnya.

Dikatakannya kebudayaan Tionghoa yang masuk ke Nusantara menambah khazanah budaya Indonesia. Kita tidak perlu khawatir dengan budaya lain yang masuk, karena keragaman budaya Indonesia adalah kekayaan dan kekuatan negeri ini.

"Sepanjang waktu ini, saya melihat generasi sekarang lebih terbuka. Generasi muda etnis Tionghoa tidak lagi terikat pada trauma-trauma politik, bahkan lebih bebas mengekspresikan diri dan lebur dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan hilangnya sekat-sekat sosial di masyarakat," kata Rahadjeng Pulungsari Hadi.

Akulturasi budaya merupakan salah satu strategi para pendatang untuk dapat bertahan. Melalui akulturasi, masyarakat diaspora mengelaborasikan budaya Tionghoa dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Akulturasi budaya ini melahirkan kolaborasi yang unik, karena budaya Tionghoa berpadu dengan budaya Indonesia yang beragam.

Sebagai contoh, akulturasi budaya Tionghoa di Sumatera melahirkan produk yang berbeda dengan akulturasi di Jawa, begitu juga dengan daerah lain. Kebaya Encim misalnya, merupakan produk modifikasi pakaian khas peranakan Tionghoa yang disesuaikan warnanya dengan selera masyarakat Betawi. Sementara itu, di pesisir Jawa, muncul ragam motif baru pada batik Indonesia berupa gambar burung phoenix, naga, serta tumbuhan dan satwa yang disusun seperti dalam seni lukis Tionghoa.

Rahadjeng menyebut pada mulanya, motif berciri khas China diperkenalkan melalui keramik, guci, atau benda lain yang dibawa untuk diperdagangkan oleh saudagar Tiongkok yang datang dengan kapal besar.

Karena perjalanan dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu yang lama, mereka membawa makanan, herbal, dan obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan selama dalam perjalanan. Ketika mereka berlabuh dan menetap di sebuah wilayah, terjadi akulturasi pada aspek sandang, pangan, dan bidang lainnya. Menurutnya, yang menjadi tantangan bagi masyarakat diaspora di seluruh dunia adalah ketika datang ke perantauan, mereka tidak memiliki wilayah. Sebagai pendatang, masyarakat diaspora harus mampu beradaptasi, sebagaimana yang dilakukan diaspora Tiongkok di Indonesia.

Meski tetap memelihara budayanya, pendatang dapat beradaptasi dengan kehidupan setempat. Pada tahap ini, percampuran atau akulturasi budaya terjadi dan identitas nasional terbentuk dengan tetap memperlihatkan identitas budayanya.

"Identitas para perantau terus bergerak, karena tidak bersifat tetap. Mereka perlahan-lahan mengalami proses menjadi atau becoming, tetapi tetap mempertahankan budaya asalnya. Inilah yang menjadi kekhasan dari masyarakat diaspora. Masyarakat diaspora pada umumnya mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari wilayah yang ia tinggali," kata Rahadjeng. (ANTARA)

Komentar

Berita Lainnya

Dengan sejarah lebih dari 2 Sosial Budaya

Rabu, 5 Oktober 2022 20:44:15 WIB

banner
roduksi kapas di Xinjiang mencapai 5 Sosial Budaya

Rabu, 12 Oktober 2022 22:32:41 WIB

banner
Alunan biola Sosial Budaya

Selasa, 18 Oktober 2022 22:53:38 WIB

banner
Meliputi area seluas 180 Sosial Budaya

Rabu, 19 Oktober 2022 10:28:48 WIB

banner
Dalam edisi keempatnya Sosial Budaya

Senin, 24 Oktober 2022 18:0:34 WIB

banner