Bharata Online - Art Jakarta 2025 yang digelar di JIExpo Kemayoran pada awal Oktober tahun ini menegaskan satu hal penting: Asia bukan lagi sekadar penonton dalam panggung seni global, melainkan pemain utama yang menentukan arah, selera, dan wacana seni kontemporer dunia. Dengan menghadirkan 75 galeri dari 16 negara, pameran ini membuktikan bahwa kawasan Asia Tenggara kini telah menjadi simpul baru bagi sirkulasi ide, estetika, dan ekonomi kreatif internasional. Di tengah hiruk pikuk globalisasi budaya, Art Jakarta berdiri sebagai simbol kebangkitan kultural Asia—dan Tiongkok memainkan peran yang sangat menonjol di dalamnya.

Kehadiran **Nan Ke Gallery** dari Shanghai dalam Art Jakarta menjadi bukti konkret bagaimana Tiongkok tidak hanya memimpin dalam bidang ekonomi dan teknologi, tetapi juga mengukuhkan pengaruhnya dalam diplomasi budaya. Pendiri galeri, **Otto Neu**, menyatakan bahwa partisipasi mereka di Art Jakarta adalah langkah strategis untuk meningkatkan visibilitas seniman Tiongkok dan memperluas interaksi dengan kolektor serta institusi seni Asia Tenggara. Ini bukan sekadar kegiatan seni, melainkan manifestasi nyata dari **soft power Tiongkok**—sebuah kekuatan halus yang tidak memaksa, tetapi memengaruhi melalui daya tarik budaya, estetika, dan kualitas artistik.

Dalam perspektif teori hubungan internasional, kehadiran Tiongkok melalui jalur seni seperti ini adalah bentuk **diplomasi budaya kontemporer** yang efektif. Negara ini paham bahwa pengaruh tidak hanya dibangun melalui ekonomi atau militer, tetapi juga melalui persepsi, narasi, dan keindahan. Ketika Nan Ke Gallery menampilkan karya-karya dari seniman lintas negara—termasuk Olaf Hajek, Helena Minginowicz, Wenjie Yu, dan Yanmeng Zhang—mereka sejatinya memperlihatkan kekuatan integratif Tiongkok dalam menghubungkan berbagai identitas artistik dunia di bawah satu payung estetika Asia yang modern, terbuka, dan penuh dialog.

Tiongkok bukan hanya mengirimkan seniman; ia mengirimkan gagasan. Gagasan bahwa seni dapat menjadi jembatan antarbudaya, bahwa kreativitas tidak mengenal batas nasional, dan bahwa Asia mampu berdiri sejajar—bahkan melampaui—pusat-pusat seni tradisional Barat seperti London, Paris, atau New York. Ini merupakan pergeseran geopolitik budaya yang halus namun signifikan: kekuatan seni kini berpindah dari Barat ke Timur, dan Art Jakarta menjadi salah satu arena di mana pergeseran itu tampak nyata.

Menariknya, Art Jakarta tidak hanya menampilkan seni internasional, tetapi juga menonjolkan cerita lokal yang menyentuh. Salah satu contohnya adalah pameran bertema **“From Chinatown With Love”** karya **Oliver Wiharja**, seorang pelukis muda berbakat asal Jakarta yang juga merupakan penyandang autisme. Melalui lukisan-lukisannya, Oliver mengekspresikan kehangatan dan dinamika komunitas Tionghoa di Indonesia—dari ketenangan Pecinan Semarang hingga hiruk-pikuk Glodok di Jakarta. Tema ini bukan kebetulan; ia menyiratkan pesan kuat tentang **identitas, kebanggaan, dan keterhubungan antara budaya Tionghoa dan Indonesia**.

Karya Oliver menjadi refleksi indah dari hubungan panjang antara Tiongkok dan Indonesia dalam konteks kultural. Sejak berabad-abad lalu, diaspora Tionghoa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini—membangun ekonomi, memperkaya tradisi, dan menghidupkan seni. Melalui Art Jakarta, hubungan itu menemukan bentuk baru: **bukan lagi sekadar hubungan ekonomi atau perdagangan, tetapi hubungan emosional dan estetis**. Seni menjadi bahasa universal yang mempertemukan dua peradaban besar Asia.

Dari sisi teori ekonomi politik budaya, partisipasi Tiongkok dalam pameran seni seperti ini juga memiliki makna strategis. Industri seni global adalah pasar bernilai miliaran dolar, dan Tiongkok telah membuktikan diri sebagai salah satu kekuatan utamanya. Data dari *Art Basel* dan *UBS Global Art Market Report* menunjukkan bahwa pada 2024, **Tiongkok menempati posisi kedua terbesar di dunia dalam transaksi seni global**, hanya sedikit di bawah Amerika Serikat. Artinya, kehadiran galeri Tiongkok di Jakarta bukan semata promosi budaya, tetapi juga bagian dari strategi ekonomi kreatif global.

Pasar seni Indonesia, yang berkembang pesat dengan munculnya banyak kolektor muda, menjadi sasaran ideal bagi ekspansi galeri Asia. Otto Neu sendiri mengakui bahwa Art Jakarta adalah pasar yang “sangat potensial” dan bahwa kolektor di Indonesia “menyukai seni kontemporer dan bersemangat melihat karya kami.” Ini menunjukkan bahwa Tiongkok berhasil membangun **ekosistem diplomasi budaya berbasis pasar**, di mana interaksi ekonomi memperkuat pertukaran budaya dan sebaliknya.

Lebih jauh, pendekatan ini juga memperlihatkan **model baru hegemoni budaya** yang berbeda dari pendekatan Barat. Jika hegemoni budaya Barat selama berabad-abad dibangun melalui kolonialisme dan sentralisasi institusi seni (seperti museum di Paris dan London), maka model Tiongkok bersifat partisipatif dan jaringan. Galeri seperti Nan Ke tidak mendominasi, melainkan berkolaborasi. Mereka menciptakan platform di mana dialog budaya Asia dapat berkembang secara organik dan setara. Inilah yang disebut para ahli hubungan internasional sebagai **“networked soft power”**—pengaruh yang muncul bukan dari paksaan, tetapi dari konektivitas dan daya tarik.

Sementara itu, dari sisi sosial, kisah Oliver Wiharja menambahkan lapisan kemanusiaan yang mendalam. Bahwa seorang seniman muda berkebutuhan khusus dapat tampil di panggung internasional menunjukkan **nilai inklusivitas dan empati yang juga menjadi bagian penting dari filosofi budaya Asia**, termasuk Tiongkok. Seni bukan sekadar pameran visual; ia menjadi sarana penyembuhan, jembatan antarperbedaan, dan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Di sini, Art Jakarta menunjukkan bahwa diplomasi budaya tidak hanya tentang negara dan galeri, tetapi juga tentang manusia—tentang keberanian untuk berkarya dan berbagi cerita.

Dalam kacamata yang lebih luas, Art Jakarta 2025 mencerminkan **arus baru hubungan internasional yang berporos pada budaya dan kolaborasi**, bukan dominasi. Asia, terutama Tiongkok, kini membangun pengaruhnya melalui kekuatan narasi, nilai-nilai artistik, dan kemampuan menginspirasi. Dari Shanghai hingga Jakarta, dari Beijing hingga Bangkok, seni menjadi bahasa politik baru yang halus namun efektif.

Kesimpulannya, Art Jakarta bukan sekadar pameran, melainkan simbol **pergeseran kekuatan budaya global dari Barat ke Timur**. Tiongkok, dengan visi budaya yang terbuka, kolaboratif, dan berakar kuat pada nilai-nilai Asia, telah berhasil memimpin gelombang baru diplomasi budaya yang lebih manusiawi. Melalui seni, ia tidak menaklukkan, melainkan merangkul. Melalui galeri seperti Nan Ke dan inspirasi seniman seperti Oliver, ia menunjukkan bahwa masa depan seni—dan mungkin masa depan hubungan internasional—akan lebih berwarna Asia, lebih empatik, dan lebih saling memahami.

Dengan demikian, Art Jakarta 2025 bukan hanya pesta seni tahunan, melainkan titik balik sejarah budaya Asia. Dan di tengah arus besar itu, Tiongkok berdiri tegak sebagai pusat gravitasi baru dunia seni global.