Masalah Palestina kembali menempati panggung utama politik global, bukan hanya karena tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Gaza, tetapi juga karena dinamika diplomasi internasional yang memperlihatkan pergeseran orientasi negara-negara besar maupun menengah.
Pernyataan Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 23 September lalu, menegaskan bahwa konflik Palestina bukan sekadar isu lokal, melainkan titik sentral yang mengganggu stabilitas regional, memperburuk keamanan global, dan menekan prospek ekonomi dunia.
Wakil Tetap Tiongkok untuk PBB, Geng Shuang, menegaskan bahwa penderitaan rakyat Palestina akibat blokade dan serangan militer Israel telah menimbulkan efek domino di Lebanon, Suriah, Yaman, hingga Iran, bahkan ke negara yang relatif netral seperti Qatar.
Dengan bahasa lugas, ia menekankan bahwa solusi militer tidak akan pernah menyelesaikan akar masalah, dan satu-satunya jalan keluar adalah gencatan senjata segera, penghentian agresi Israel, serta implementasi solusi politik yang adil dan abadi.
Jika dilihat dari perspektif teori hubungan internasional, posisi Tiongkok merepresentasikan sebuah kombinasi antara realisme dan konstruktivisme. Dari sisi realisme, Beijing menyadari bahwa instabilitas di Timur Tengah akan mengancam kepentingan energinya, rantai pasok global, dan stabilitas harga komoditas internasional. Itulah mengapa, Tiongkok mendorong penghentian konflik agar risiko bagi ekonomi global dapat ditekan.
Namun, dari sisi konstruktivisme, Tiongkok juga memproyeksikan citra moral sebagai kekuatan yang berpihak pada keadilan global dan aspirasi rakyat Palestina, sebuah strategi soft power yang memperkuat kepemimpinannya di antara negara-negara Global South.
Dengan menyatakan dukungan pada Deklarasi New York, Tiongkok ingin menunjukkan konsistensi bahwa ia menempatkan Palestina sebagai isu prinsip, bukan hanya pragmatisme jangka pendek.
Di sisi lain, kegagalan DK PBB untuk meloloskan resolusi gencatan senjata akibat veto negara anggota tetap adalah cerminan klasik dari logika realis bahwa kepentingan strategis negara besar lebih dominan daripada norma internasional. Hal ini menegaskan keterbatasan PBB sebagai institusi multilateral ketika menghadapi konflik yang menyangkut sekutu utama negara veto.
Keadaan ini, secara langsung maupun tidak, merusak kredibilitas DK PBB dan memperkuat pandangan bahwa reformasi PBB khususnya terkait mekanisme veto menjadi kebutuhan mendesak.
Namun, liberalisme institusional menunjukkan sisi lain bahwa meski DK PBB lumpuh, diplomasi multilateral masih berlangsung lewat konferensi tingkat tinggi, deklarasi kolektif, dan peran negara-negara menengah yang mengisi kekosongan.
Konferensi internasional yang digagas Prancis dan Arab Saudi, serta partisipasi aktif negara-negara seperti Indonesia, menunjukkan adanya arsitektur alternatif yang berupaya menjaga relevansi PBB meski terhambat veto.
Gelombang pengakuan negara Palestina oleh Inggris, Kanada, Australia, dan beberapa negara Barat lainnya memperlihatkan dimensi konstruktivis yang kuat. Keputusan ini bukan semata-mata produk kalkulasi kekuasaan, tetapi juga hasil dari perubahan norma internasional dan tekanan domestik.
Inggris, misalnya, yang memiliki sejarah kolonial langsung dalam pembentukan Israel modern, kini mencoba menebus “tanggung jawab sejarahnya” dengan pengakuan resmi terhadap Palestina. Tindakan ini memiliki bobot simbolik besar yang menandai bahwa pengakuan Palestina tidak lagi tabu bagi negara-negara Kelompok Tujuh (G7), sekaligus membuka jalan bagi normalisasi diplomasi baru yang lebih setara.
Respon positif Palestina, melalui Presiden Mahmoud Abbas, menunjukkan bahwa pengakuan internasional bukan sekadar simbol, tetapi modal politik yang memperkuat legitimasi Otoritas Palestina dalam memimpin transisi pascaperang.
Indonesia menampilkan diri sebagai aktor menengah yang mengambil posisi unik. Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di forum tinggi PBB menegaskan dukungan penuh pada solusi dua negara, sekaligus menyampaikan kesiapan Indonesia untuk mengakui Israel dengan syarat bahwa Israel lebih dahulu mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Sikap ini menunjukkan fleksibilitas diplomasi Indonesia untuk tetap menjaga prinsip solidaritas dengan Palestina, tetapi juga membuka ruang kompromi pragmatis yang dapat menjembatani kepentingan Barat dan Dunia Islam.
Dari perspektif teori middle power diplomacy, langkah Indonesia ini merupakan bentuk kontribusi negara menengah dalam mengisi celah yang ditinggalkan oleh kegagalan negara besar sebagai sebuah upaya untuk menyeimbangkan kepentingan normatif yaitu hak rakyat Palestina dengan kebutuhan realistis yakni jaminan keamanan Israel.
Namun, di luar diplomasi, realitas kemanusiaan tetap menjadi faktor utama yang mendorong desakan global. Gaza berada di ambang kehancuran total yang mana infrastruktur luluh lantak, rumah sakit tak berfungsi, dan ratusan ribu pengungsi menghadapi kelaparan.
Data dari lembaga kemanusiaan internasional mencatat lonjakan korban sipil, terutama perempuan dan anak-anak. Krisis ini memperlihatkan jurang besar antara norma hukum humaniter internasional dengan praktik nyata di lapangan.
Seruan Geng Shuang agar Israel memenuhi kewajibannya sebagai kekuatan pendudukan adalah refleksi dari prinsip international humanitarian law yang menuntut perlindungan bagi warga sipil di wilayah konflik. Fakta bahwa prinsip ini terus dilanggar menunjukkan betapa lemahnya daya paksa hukum internasional tanpa dukungan politik negara besar.
Pergeseran posisi negara-negara Barat juga membuka peluang terbentuknya norma baru. Pengakuan Palestina oleh Inggris dan Kanada bisa menjadi titik balik, membentuk critical mass yang mendorong negara lain mengikuti langkah serupa. Jika arus ini semakin kuat, Israel akan menghadapi tekanan diplomatik yang lebih besar untuk kembali ke meja perundingan.
Momentum ini penting dimanfaatkan oleh negara-negara seperti Tiongkok dan Indonesia untuk memperkuat koalisi global yang menuntut implementasi solusi dua negara. Dengan demikian, isu Palestina bisa bertransformasi dari sekadar konflik regional menjadi instrumen pembentukan tatanan internasional baru yang lebih inklusif, di mana suara negara-negara Global South lebih diperhitungkan.
Dari sudut pandang struktural, ada tiga pelajaran utama. Pertama, norma internasional bisa berubah cepat ketika tekanan moral, opini publik, dan inisiatif diplomasi bergabung. Kedua, kelemahan DK PBB memperlihatkan kebutuhan mendesak reformasi institusional agar lembaga multilateral benar-benar bisa menjadi alat penyelesaian konflik, bukan justru sandera veto.
Ketiga, solusi jangka panjang hanya bisa dicapai dengan kombinasi pendekatan seperti penghentian pertempuran, pemulihan akses bantuan kemanusiaan, jaminan keamanan bagi Israel dan Palestina, serta transisi politik yang kredibel bagi rakyat Palestina. Semua ini memerlukan koordinasi nyata, bukan sekadar deklarasi.
Dengan demikian, pernyataan Tiongkok, sikap Indonesia, dan pengakuan negara-negara Barat terhadap Palestina sesungguhnya adalah tiga fragmen dari mosaik politik global yang sedang bergerak.
Palestina bukan lagi hanya persoalan Timur Tengah melainkan menjadi ujian moral, politik, dan struktural bagi seluruh komunitas internasional. Dunia saat ini berada pada persimpangan, apakah kita memilih mempertahankan tatanan yang tersandera veto dan kepentingan sempit, atau membangun tatanan baru yang menjadikan perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan sebagai kepentingan paling rasional bagi semua?
Apabila momentum ini gagal dimanfaatkan, penderitaan Palestina akan terus berulang, dan dunia akan menyaksikan bukan hanya kegagalan diplomasi, tetapi juga krisis kemanusiaan yang semakin dalam, yang pada akhirnya mengguncang stabilitas global. Namun, jika koalisi baru ini berhasil, maka Palestina bisa menjadi pintu masuk bagi lahirnya tatanan internasional yang lebih adil dan seimbang.