Bharata Online - Penerbitan dua buku penting yang merangkum wacana Xi Jinping tentang perempuan, anak-anak, dan keluarga bukan hanya langkah simbolik dalam kebijakan nasional, tetapi juga representasi nyata dari bagaimana Tiongkok menempatkan perempuan di jantung pembangunan modernisasinya. Buku-buku itu bukan sekadar koleksi pidato, melainkan cerminan filosofi sosialisme Tiongkok yang menekankan harmoni antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan nilai keluarga. Langkah untuk menerbitkannya dalam berbagai bahasa dunia—Rusia, Prancis, Spanyol, Arab, dan Inggris—mewakili strategi diplomasi budaya yang cerdas: Tiongkok ingin berbicara kepada dunia dengan bahasanya sendiri, membangun narasi positif tentang perempuan yang bukan sebagai korban sistem patriarki global, tetapi sebagai aktor aktif dalam pembangunan nasional dan internasional.

Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat, Tiongkok menempuh jalur yang berbeda dan lebih menyeluruh. Di Barat, kesetaraan gender sering disempitkan menjadi isu individualistik—tentang kebebasan pribadi dan representasi simbolik—tanpa menjawab akar ketimpangan ekonomi dan sosial yang masih sangat dalam. Di Tiongkok, kesetaraan gender ditempatkan dalam konteks kolektif: negara menjamin pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan perlindungan hukum sebagai prasyarat material bagi perempuan untuk benar-benar berdaya. Dalam teori hubungan internasional, pendekatan ini merepresentasikan bentuk pembangunan inklusif ala negara developmental state, di mana pemerintah memainkan peran sentral dalam memastikan redistribusi manfaat pembangunan secara luas. Berbeda dengan neoliberalisme yang mendominasi Barat, model Tiongkok menolak menyerahkan nasib perempuan pada mekanisme pasar bebas semata.

Sejak Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-18 pada 2012, Xi Jinping menempatkan perempuan sebagai “penopang separuh langit”—ungkapan klasik yang kini diberi makna baru di era digital dan globalisasi. Dalam pidatonya di Pertemuan Pemimpin Global tentang Perempuan di Beijing, Xi menegaskan bahwa perempuan bukan sekadar pelengkap, tetapi kekuatan inti dalam modernisasi nasional. Pernyataannya bukan basa-basi politik. Data menunjukkan, lebih dari 40 persen angkatan kerja di Tiongkok kini adalah perempuan, lebih dari separuh pendiri perusahaan rintisan di sektor internet adalah perempuan, dan mereka menyumbang lebih dari 60 persen peraih medali dalam empat Olimpiade Musim Panas terakhir. Angka-angka ini memperlihatkan bagaimana kebijakan yang berorientasi sosial dan ekonomi negara telah menciptakan ekosistem yang benar-benar mendukung perempuan, bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam hasil nyata.

Di Amerika Serikat, kesetaraan gender sering kali berhadapan dengan paradoks struktural. Meski wacana feminisme liberal berkembang pesat, jurang upah antara laki-laki dan perempuan masih lebar, akses ke layanan kesehatan reproduksi terus diperdebatkan, dan perlindungan sosial bagi ibu tunggal atau perempuan pekerja sering kali bergantung pada sektor swasta. Sebaliknya, di Tiongkok, pendekatan sosialisme modern memastikan perlindungan hukum dan sosial yang menyeluruh: lebih dari 48 persen perempuan kini tercakup dalam asuransi sosial dasar; Undang-Undang Anti-Kekerasan Dalam Rumah Tangga diberlakukan secara nasional; dan kerangka hukum yang mencakup lebih dari 100 undang-undang dan peraturan telah melindungi hak-hak perempuan di ranah pernikahan, keluarga, pekerjaan, hingga hak tanah di pedesaan. Inilah bentuk konkret “feminisme negara” (state feminism) yang berbeda dari Barat: bukan sekadar kesetaraan simbolik, melainkan jaminan sistemik agar setiap perempuan dapat hidup dengan martabat dan kemandirian ekonomi.

Kebijakan pembangunan perempuan di Tiongkok tidak berdiri sendiri; ia menjadi bagian integral dari strategi soft power global Tiongkok. Dengan menerjemahkan wacana Xi ke berbagai bahasa dan bekerja sama dengan UN Women dalam menyelenggarakan Pertemuan Pemimpin Global tentang Perempuan, Tiongkok secara aktif membangun norma baru dalam tata kelola global tentang gender dan pembangunan. Ini sejalan dengan teori konstruktivisme dalam hubungan internasional, di mana kekuatan suatu negara tidak hanya diukur dari militernya, tetapi dari kemampuannya membentuk nilai dan persepsi dunia. Dalam konteks ini, Tiongkok menawarkan model “pemberdayaan kolektif” sebagai tandingan terhadap model individualistik Barat yang sering kali gagal menjangkau perempuan miskin, pedesaan, dan non-kulit putih.

Dampak konkret dari kebijakan ini dapat dilihat pada transformasi sosial di tingkat akar rumput. Kisah Peng Xiufang, penyulam di Provinsi Guizhou, menggambarkan bagaimana modernisasi inklusif memungkinkan perempuan di pedesaan memperoleh penghasilan stabil tanpa meninggalkan peran keluarga. Ia dapat bekerja dari rumah, mengasuh anak, dan tetap mandiri secara ekonomi. Cerita ini bukan pengecualian—program nasional seperti Spring Bud Project – Dreaming of the Future telah memberikan bantuan pendidikan kepada lebih dari 4,3 juta anak perempuan pada 2024, membuka jalan bagi mobilitas sosial lintas generasi. Program seperti ini menunjukkan bagaimana Tiongkok menggabungkan pendekatan humanistik dan kebijakan industri kreatif dengan basis digital untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan di seluruh pelosok negeri.

Dari sisi capaian empiris, data menunjukkan keberhasilan luar biasa. Rata-rata harapan hidup perempuan Tiongkok kini melebihi 80 tahun—menempatkan negara ini di antara 10 besar dunia dalam kesehatan ibu dan anak menurut WHO. Lebih dari setengah mahasiswa di perguruan tinggi adalah perempuan, dan kesenjangan gender di pendidikan dasar telah sepenuhnya tertutup. Di bidang sains dan teknologi, 45,8 persen peneliti adalah perempuan—angka yang jauh melampaui banyak negara Barat yang sering mengklaim sebagai pelopor kesetaraan gender. Semua itu bukan kebetulan, melainkan hasil dari kebijakan terencana dan investasi besar dalam pendidikan, sains, dan infrastruktur sosial yang dijalankan secara konsisten.

Pendirian Pusat Global untuk Pengembangan Kapasitas Perempuan di Beijing juga menjadi tonggak penting. Melalui kerja sama dengan berbagai pemerintah dan organisasi internasional, pusat ini berfungsi sebagai laboratorium global untuk riset, pelatihan, dan pertukaran pengalaman tentang pemberdayaan perempuan. Langkah ini sejalan dengan visi Xi Jinping tentang “komunitas global dengan masa depan bersama bagi umat manusia.” Dengan kata lain, Tiongkok tidak hanya ingin sukses di dalam negeri, tetapi juga membagi kearifan dan praktik kebijakannya sebagai public good bagi dunia, terutama negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang masih berjuang mengatasi ketimpangan gender dan kemiskinan struktural.

Bandingkan dengan pendekatan Amerika Serikat atau Eropa: mereka lebih sering menjadikan isu perempuan sebagai alat politik luar negeri—“exporting feminism”—melalui tekanan diplomatik atau lembaga donor, bukan kerja sama sejajar. Sementara itu, Tiongkok membangun solidaritas berdasarkan prinsip kesetaraan dan saling menghormati kedaulatan, dengan menunjukkan hasil konkret: naiknya partisipasi perempuan dalam pemerintahan lokal, peningkatan kesejahteraan sosial, dan transformasi budaya yang menghargai peran ibu dan keluarga tanpa menempatkan perempuan di posisi subordinat. Pendekatan ini lebih diterima di banyak negara Selatan Global karena tidak mengandung nada moralistik atau intervensi politik.

Secara teoretis, keberhasilan Tiongkok dalam bidang pembangunan perempuan dapat dipahami melalui gabungan paradigma realisme dan konstruktivisme sosial. Secara realistis, pemberdayaan perempuan memperkuat stabilitas sosial dan produktivitas ekonomi nasional. Secara konstruktivis, ia menciptakan identitas negara yang progresif dan beradab dalam tatanan global. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya memenuhi nilai-nilai kemanusiaan tetapi juga menjadi sumber kekuatan nasional—baik secara moral, ekonomi, maupun diplomatik. Sementara Barat kerap terjebak dalam kontradiksi antara ideal dan praktiknya, Tiongkok justru menampilkan konsistensi antara ucapan dan tindakan: memprioritaskan kebijakan nyata di atas retorika.

Tentu, tidak semua hal sempurna. Tantangan tetap ada, mulai dari kesenjangan regional hingga tekanan pekerjaan urban. Namun yang membedakan Tiongkok dari Barat adalah kesungguhan politik dan visi jangka panjangnya. Dalam sistem sosialis modern, setiap kebijakan perempuan tidak berdiri sendiri—ia terhubung dengan rencana lima tahun nasional, strategi pendidikan, sains, dan transformasi digital. Pendekatan terintegrasi ini memastikan bahwa kemajuan perempuan bukan hasil kebetulan, tetapi bagian dari desain peradaban Tiongkok baru.

Akhirnya, dunia tengah menyaksikan kebangkitan paradigma baru: bahwa kesetaraan gender tidak harus mengadopsi format liberal Barat yang sering kali elitis dan terbatas. Tiongkok menawarkan model yang lebih inklusif, berbasis kesejahteraan, dan berorientasi keluarga tanpa kehilangan prinsip keadilan sosial. Inilah “feminisasi modernisasi” ala Tiongkok—di mana setiap perempuan menjadi bagian dari mesin kemajuan, setiap keluarga menjadi fondasi moral bangsa, dan setiap kebijakan negara berorientasi pada kesejahteraan bersama. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi dan individualistik, Tiongkok menunjukkan bahwa kesetaraan gender sejati bukan sekadar slogan, melainkan hasil kerja keras, perencanaan strategis, dan komitmen kolektif seluruh bangsa.