Minggu, 27 Juli 2025 23:46:19 WIB

Indium Selenida dan Revolusi Teknologi: Saat Tiongkok Buktikan Kemandirian dan Tak Lagi Bergantung pada Teknologi Tinggi AS dan Barat
Teknologi

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi Semikonduktor Emas Indium Selenida

Di tengah rivalitas yang kian tajam antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dalam bidang teknologi tinggi, dunia kembali dikejutkan oleh pencapaian ilmiah strategis dari para peneliti Tiongkok. Ilmuwan dari Universitas Peking dan Universitas Renmin berhasil mengembangkan metode baru produksi massal material semikonduktor mutakhir indium selenida, yang dikenal sebagai “semikonduktor emas.” Temuan ini tidak hanya mengguncang fondasi teknologi chip berbasis silikon yang selama ini mendominasi, tetapi juga membuka babak baru dalam persaingan global atas kontrol teknologi paling vital abad ke-21, yakni semikonduktor.

Selama puluhan tahun, silikon telah menjadi tulang punggung industri chip dunia, dari ponsel pintar, kendaraan otonom, hingga sistem kecerdasan buatan militer dan sipil. Namun, batas fisik silikon kini telah makin mendekat. Dalam konteks ini, pencarian global terhadap material semikonduktor generasi baru menjadi perlombaan strategis yang menentukan arah supremasi teknologi global. Dalam momentum inilah, indium selenida hadir sebagai alternatif yang tidak hanya menjanjikan kinerja jauh lebih tinggi, tetapi juga konsumsi energi yang jauh lebih efisien. Namun, hingga kini, tantangan terbesar dari material ini adalah soal bagaimana memproduksinya dalam skala besar dan dengan kualitas tinggi yang konsisten. Di sinilah posisi penelitian dari tim Tiongkok menjadi krusial.

Metode yang dikembangkan oleh tim Tiongkok secara signifikan mengatasi tantangan tersebut. Dengan menggunakan teknik pemanasan dalam kondisi tertutup rapat terhadap film amorf indium selenida dan logam indium padat, para peneliti menciptakan antarmuka cair yang kaya indium di pinggir film. Dalam kondisi ini, atom-atom indium yang menguap secara perlahan tersusun menjadi kristal indium selenida berkualitas tinggi dengan keteraturan atom yang presisi dan stabil. Kunci keberhasilan dari pendekatan ini adalah kemampuannya menjaga rasio atom ideal 1:1 antara indium dan selenium, sebagai sebuah prasyarat penting yang sebelumnya sangat sulit dicapai dalam proses manufaktur skala industri. Dengan metode ini, tim ilmuwan berhasil menciptakan wafer berdiameter lima sentimeter serta membangun rangkaian transistor berkinerja tinggi dalam skala besar yang langsung dapat digunakan dalam produksi chip terintegrasi.

Prestasi ilmiah ini merupakan lebih dari sekadar pencapaian laboratorium. Ia menandai lompatan besar dalam industrialisasi teknologi semikonduktor generasi baru. Ketika publikasi ilmiah internasional ternama seperti Science menyebut karya ini sebagai “kemajuan dalam pertumbuhan kristal,” maka dunia akademik internasional pun memberikan pengakuan eksplisit atas kualitas sains dan rekayasa material Tiongkok yang selama ini sering diremehkan. Dalam konteks hubungan internasional, hal ini mencerminkan pergeseran strategis yang lebih dalam, dimana Tiongkok bukan lagi pengekor atau pengimpor teknologi Barat, tetapi telah menjadi aktor utama dalam menciptakan arsitektur teknologi global baru.

Menurut perspektif realisme dalam hubungan internasional, persaingan antara kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok tak hanya berlangsung di bidang militer dan ekonomi, tetapi juga dalam penguasaan teknologi strategis. Semikonduktor, dalam hal ini, bukan hanya komoditas industri, melainkan senjata geopolitik. AS selama ini menggunakan dominasinya di bidang semikonduktor mutakhir sebagai alat pembatasan seperti melalui embargo ekspor, kontrol teknologi, dan blacklist terhadap perusahaan Tiongkok seperti Huawei. Namun, keberhasilan Tiongkok mengembangkan dan memproduksi sendiri material alternatif dari silikon ini berpotensi melumpuhkan senjata geopolitik tersebut.

Dari sudut pandang teori dependencia dan sistem dunia, pencapaian ini bisa dilihat sebagai bentuk dekolonisasi teknologi. Tiongkok, yang selama era 1990-an hingga awal 2000-an masih sangat tergantung pada impor teknologi inti dari negara-negara Barat, kini perlahan menempati posisi core dalam ekosistem global. Kemandirian teknologi dalam pengembangan dan manufaktur semikonduktor tingkat lanjut merupakan indikator utama dari transisi ini. Lebih jauh lagi, jika teknologi chip berbasis indium selenida ini berhasil dinormalisasi dalam produksi dan diekspor ke negara-negara berkembang lainnya, maka Tiongkok tidak hanya akan menjadi produsen teknologi, tetapi juga pencipta standar global yang baru.

Terobosan ini pun memiliki dampak strategis yang luas terhadap bidang-bidang seperti kecerdasan buatan, pengemudian otonom, komunikasi optik, bahkan teknologi kuantum. Keunggulan indium selenida dalam hal sensitivitas cahaya dan efisiensi energi menjadikannya sangat ideal untuk digunakan dalam sistem penglihatan mesin dan prosesor kecerdasan buatan generasi baru. Jika Tiongkok berhasil menanamkan teknologi ini dalam arsitektur produk-produk masa depan baik sipil maupun militer, maka negara itu tidak hanya akan unggul dalam kapasitas manufaktur, tetapi juga dalam kecepatan inovasi. Dengan kata lain, dominasi teknologi yang selama ini diklaim AS bisa segera memasuki fase kemunduran relatif.

Tentu saja, tantangan besar masih menanti Tiongkok. Rantai pasok logam langka seperti indium, kendala dalam hak kekayaan intelektual global, dan kepercayaan internasional terhadap produk semikonduktor Tiongkok tetap menjadi hambatan struktural. Namun, jika pengalaman Tiongkok dalam menyusul dan bahkan menyalip Barat di bidang teknologi 5G dan kendaraan listrik bisa dijadikan acuan, maka kemungkinan keberhasilan adopsi industri dari semikonduktor emas ini sangat terbuka.

Dari perspektif Neo-Gramscian, dominasi global AS dibangun bukan hanya dari kekuatan koersif, tetapi juga melalui kepemimpinan dalam produksi pengetahuan dan teknologi. Ketika pusat-pusat penelitian Tiongkok kini menjadi penghasil inovasi utama yang diakui jurnal-jurnal paling bergengsi dunia, maka narasi hegemonik AS sebagai satu-satunya “kiblat teknologi” dunia mulai terkikis. Dunia kini menyaksikan munculnya pusat baru dalam produksi teknologi tinggi yang tidak berbasis di Silicon Valley, melainkan di Beijing dan Shenzhen.

Dengan semua itu, persaingan AS-Tiongkok di sektor semikonduktor kini bukan lagi tentang siapa yang memproduksi lebih banyak chip, melainkan siapa yang menguasai material dasar dan arsitektur fundamental dari chip masa depan. Dominasi global dalam era digital ditentukan bukan oleh kapasitas untuk membeli atau merakit, melainkan oleh kapasitas untuk menciptakan dan menetapkan standar teknologi. Tiongkok kini berada di titik kritis yang memungkinkan dirinya untuk melompat ke posisi ini, dan terobosan dalam produksi massal indium selenida bisa menjadi momen transformasional yang mempercepat proses tersebut.

Jika AS gagal menanggapi dengan inovasi yang setara, dan hanya mengandalkan strategi pembatasan dan embargo, maka posisi hegemoniknya di bidang teknologi dapat benar-benar digantikan. Dunia teknologi sedang bergeser dari Silicon ke “semikonduktor emas,” dan tampaknya, Tiongkoklah yang memegang cetak biru masa depannya.

Komentar

Berita Lainnya