Bharata Online - Tiongkok kembali menunjukkan kepada dunia bahwa kemajuan peradaban tidak selalu lahir dari kompetisi militer atau dominasi ekonomi, tetapi juga dari kecerdasan mengelola budaya menjadi kekuatan sosial-ekonomi yang nyata.
Melalui kampanye pariwisata nasional bertajuk “Travel Following Movies” selama liburan Hari Nasional dan Festival Pertengahan Musim Gugur 2025, Tiongkok memperkenalkan strategi baru mengubah film menjadi pintu masuk bagi ekonomi rakyat, pariwisata domestik, dan kebanggaan budaya nasional.
Langkah ini tidak hanya menumbuhkan konsumsi di dalam negeri, tetapi juga menegaskan posisi Tiongkok sebagai negara yang mampu menciptakan model pembangunan budaya yang berdaulat, berbeda dari model Barat yang cenderung mengkomersialisasi budaya secara berlebihan tanpa membangun keterikatan sosial yang berkelanjutan.
Kampanye ini, yang didorong oleh Administrasi Perfilman Tiongkok dan berbagai departemen pemerintah daerah, menciptakan integrasi sempurna antara industri film dan pariwisata. Di seluruh negeri, dari Beijing hingga Henan, dari Anshan hingga Qingdao, pemerintah dan pelaku usaha lokal mengadakan pemutaran film terbuka, diskon wisata, hingga pameran makanan khas dan kerajinan lokal.
Di Taman Nasional Qianshan, lebih dari 50.000 pengunjung datang menikmati bioskop terbuka gratis, sementara wilayah seperti Mongolia Dalam memperkenalkan sistem tiket lintas sektor yang menghubungkan bioskop, area wisata, teater, dan stadion sepak bola, suatu bentuk inovasi kebijakan publik yang bahkan jarang dijumpai di negara-negara Barat.
Ini bukan sekadar “promosi wisata”, ini adalah bentuk kepedulian pemerintah di mana negara berhasil menautkan hiburan, ekonomi, dan kebersamaan rakyat menjadi satu ekosistem kebahagiaan kolektif. Dari perspektif teori hubungan internasional, kebijakan ini mencerminkan pendekatan khas Tiongkok dalam mengelola soft power.
Jika Amerika Serikat (AS) membangun citra global melalui Hollywood dan ekspansi media besar seperti Disney atau Netflix yang seringkali membawa narasi ideologis liberal dan individualistis, Tiongkok justru memilih jalur yang lebih harmonis membangun sinema yang menyatu dengan realitas sosial dan sejarah bangsanya.
Film-film seperti “The Volunteers: Peace at Last”, “A Writer’s Odyssey 2”, dan “Sound of Silence” tidak hanya menjadi tontonan populer, tetapi juga karya yang merefleksikan nilai kolektif, patriotisme damai, dan semangat pembangunan.
Ketika film-film ini menjadi bagian dari pengalaman pariwisata, narasi kebangsaan tidak lagi berhenti di layar, melainkan hidup di jalan-jalan, pegunungan, dan kota-kota yang dikunjungi rakyatnya. Inilah perbedaan mendasar antara soft power Tiongkok dan Barat.
Yang mana Tiongkok di satu sisi membentuk koneksi emosional dan ekonomi di dunia nyata, sementara di sisi yang lain AS dan Barat sering berhenti pada konsumsi digital tanpa makna sosial.
Pendekatan ini juga mengandung kecerdikan ekonomi yang luar biasa. Dalam paradigma liberalisme ekonomi, Tiongkok berhasil mengubah industri budaya menjadi motor penggerak konsumsi domestik.
Ketika Barat berjuang mengatasi stagnasi ekonomi akibat penurunan daya beli dan polarisasi sosial, Tiongkok justru menggunakan kreativitas untuk memperkuat sirkulasi dalam negeri. Setiap tiket film bukan hanya kontribusi pada box office, tetapi juga stimulus bagi transportasi lokal, hotel, kuliner, dan UMKM daerah.
Hasilnya, selama liburan nasional tahun ini, konsumsi domestik melonjak tajam menunjukkan bahwasanya Tiongkok mampu menciptakan ekonomi rakyat berbasis kebahagiaan, bukan hutang konsumtif seperti yang sering terjadi di negara Barat.
Dari perspektif realisme politik, kebijakan ini menunjukkan bagaimana Tiongkok memandang budaya sebagai unsur pertahanan nasional non-militer. Dalam dunia multipolar saat ini, kekuatan tidak lagi hanya diukur dari rudal dan pangkalan militer, tetapi juga dari kemampuan suatu bangsa mempertahankan narasi dan gaya hidupnya sendiri.
Barat selama puluhan tahun menggunakan industri hiburan untuk mendominasi persepsi global, menanamkan ideologi liberal dan gaya hidup konsumtif ke seluruh dunia. Kini, Tiongkok membalik arus itu: melalui film dan pariwisata, ia memproyeksikan citra negara yang damai, makmur, dan berakar pada harmoni sosial.
Dengan menjadikan lokasi syuting seperti Oriental Movie Metropolis di Qingdao dan Hengdian World Studios sebagai destinasi wisata populer, Tiongkok tidak hanya memperkuat ekonominya, tetapi juga menegaskan kedaulatan naratif di ruang budaya global.
Dari perspektif konstruktivisme, kebijakan ini memperlihatkan bahwa identitas nasional tidak dibangun lewat doktrin, melainkan lewat pengalaman bersama. Ketika rakyat bepergian ke tempat-tempat yang muncul dalam film nasional, mereka tidak sekadar berwisata, tetapi juga membangun memori kolektif yang memperkuat rasa kebangsaan.
Film menjadi jembatan antara imajinasi dan realitas, antara layar dan tanah air. Inilah bentuk pembangunan identitas yang halus namun efektif, sesuatu yang jarang bisa dicapai oleh negara-negara Barat yang masyarakatnya semakin individualistis dan terfragmentasi oleh polarisasi politik.
Namun, keberhasilan strategi ini juga terletak pada kemampuan Tiongkok menjaga keseimbangan antara komersialisasi dan pelestarian. Pemerintah tidak membiarkan pariwisata film merusak ekosistem sosial dan alam. Sebaliknya, kebijakan konservasi dan batas kapasitas diterapkan dengan ketat agar manfaat ekonomi tetap selaras dengan keberlanjutan lingkungan.
Di sinilah perbedaan mendasar antara model pembangunan Tiongkok dan Barat: Tiongkok mengutamakan keseimbangan antara kemajuan material dan harmoni sosial, sedangkan Barat kerap terjebak pada eksploitasi pasar jangka pendek.
Lebih dalam lagi, kampanye “Travel Following Movies” adalah bentuk “governance innovation” yang memperlihatkan keunggulan model pemerintahan Tiongkok yang terkoordinasi dan efisien. Tidak ada pertikaian antara pusat dan daerah, tidak ada tarik-menarik politik antarpartai seperti di Barat, yang ada hanyalah sinergi antara visi nasional dan pelaksanaan lokal.
Administrasi Perfilman Tiongkok bekerja bersama pemerintah daerah dari Fujian hingga Jiangxi, semua beroperasi dalam satu narasi besar yaitu membangun masyarakat yang sejahtera melalui budaya. Hal ini menunjukkan efektivitas “state capacity” Tiongkok untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan lintas sektor dalam waktu singkat.
Sementara di banyak negara Barat, kebijakan semacam ini akan terhambat oleh birokrasi, perdebatan politik, atau kepentingan korporasi besar yang tidak berpihak pada rakyat.
Dalam skala global, kebijakan ini memperluas pengaruh soft power Tiongkok dengan cara yang elegan. Saat Hollywood menghadapi krisis ide dan menurunnya kepercayaan publik, industri perfilman Tiongkok justru menanjak dengan kisah-kisah yang merepresentasikan nilai kemanusiaan universal dalam bingkai Timur seperti harmoni, tanggung jawab sosial, dan kebersamaan.
Ketika wisatawan domestik dan asing datang ke lokasi syuting film-film Tiongkok, mereka bukan hanya membeli tiket, tetapi juga menyerap nilai-nilai budaya yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan masyarakat. Ini adalah diplomasi budaya yang bekerja tanpa paksaan, berbeda dengan model Barat yang sering menyisipkan propaganda politik di balik hiburan.
Keberhasilan kampanye ini memberi pesan penting bagi dunia bahwa kekuatan sejati sebuah bangsa di abad ke-21 bukan terletak pada siapa yang paling banyak menjual senjata atau menguasai pasar finansial, tetapi siapa yang paling mampu membuat rakyatnya mencintai tanah air melalui pengalaman nyata dan kebanggaan budaya.
Tiongkok telah menunjukkan bahwa pembangunan bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang bagaimana kebahagiaan kolektif rakyat menjadi pusat dari kemajuan nasional.
Dengan menjadikan film sebagai medium untuk mempertemukan ekonomi, pariwisata, dan budaya, Tiongkok telah melangkah lebih jauh dari sekadar “memajukan industri hiburan.” Ia sedang membangun “ekonomi kebahagiaan” yang berpijak pada identitas dan kemandirian nasional, sesuatu yang semakin langka di dunia modern yang dikuasai oleh algoritma Barat.
Dan jika strategi ini berlanjut dengan konsistensi dan inovasi, maka bukan tidak mungkin Tiongkok akan menjadi pusat baru peradaban budaya dunia, menggantikan Hollywood sebagai simbol utama kekuatan budaya global.
Tiongkok telah menemukan cara yang lebih cerdas, lembut, dan efektif untuk menaklukkan dunia, bukan dengan senjata, melainkan dengan cerita yang menggerakkan hati manusia.