Kamis, 22 Mei 2025 23:22:2 WIB

Dominasi Dolar AS Terancam: Yuan Tiongkok Pimpin Dunia Menuju Sistem Moneter Multipolar
Ekonomi

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi Dollar VS Yuan

Selama lebih dari lima dekade, sistem petrodolar telah menjadi pilar utama dalam hubungan ekonomi global, di mana perdagangan minyak dunia dilakukan dalam denominasi dolar Amerika Serikat (AS). Sistem ini berawal pada awal 1970-an melalui kesepakatan antara AS dan Arab Saudi.

Dalam perjanjian tersebut, Arab Saudi sepakat menjual minyaknya secara eksklusif dalam dolar AS, dengan imbalan perlindungan militer dan dukungan ekonomi dari AS. Kesepakatan ini menjadi landasan dominasi dolar dalam perdagangan energi internasional serta memperkuat posisi ekonomi dan geopolitik AS di dunia.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran signifikan dalam arah kebijakan Arab Saudi. Salah satu indikator paling mencolok adalah kedekatan yang semakin intensif antara Arab Saudi dan Tiongkok. Pada Desember 2022, Presiden Tiongkok Xi Jinping melakukan kunjungan kenegaraan ke Riyadh dan menandatangani sejumlah kesepakatan strategis, termasuk kesepakatan untuk menggunakan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan energi. Kesepakatan ini membuka jalan bagi penggunaan yuan Tiongkok dalam pembelian minyak Arab Saudi.

Sebagai tindak lanjut, pada November 2023, Bank Sentral Arab Saudi dan Bank Rakyat Tiongkok menandatangani perjanjian swap mata uang senilai 50 miliar yuan atau sekitar 113 triliun rupiah, yang memungkinkan kedua negara untuk melakukan transaksi bilateral dalam mata uang lokal mereka masing-masing. 

Selain itu, Arab Saudi juga sedang menjajaki kemungkinan untuk menetapkan harga sebagian ekspor minyaknya dalam yuan, langkah yang jika diterapkan, dapat mengurangi dominasi dolar dalam perdagangan energi global. Tindakan Arab Saudi tidak lepas dari konteks geopolitik yang berubah. Ketegangan diplomatik antara Saudi dan AS semakin memuncak sejak kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada tahun 2018, yang mendapat kecaman luas dari pemerintahan dan parlemen AS. 

Di sisi lain, respons AS terhadap kebijakan luar negeri Saudi, seperti blokade terhadap Qatar dan keterlibatan dalam perang Yaman, juga dinilai mengganggu hubungan bilateral kedua negara. Keputusan Saudi untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia dinilai sebagai bentuk respons terhadap dinamika tersebut.

Sinyal lain dari pergeseran kebijakan Arab Saudi adalah keterlibatannya dalam kelompok BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Meski Arab Saudi menerima undangan untuk bergabung dengan BRICS pada awal 2024, hingga pertengahan 2025, kerajaan masih belum mengonfirmasi keanggotaannya secara resmi.

Menteri Ekonomi dan Perencanaan Arab Saudi, Faisal Al-Ibrahim, menyatakan bahwa evaluasi keanggotaan masih berlangsung dengan mempertimbangkan posisi strategis kerajaan dalam perekonomian global. Langkah ini menunjukkan bahwa Arab Saudi tengah berupaya menjaga keseimbangan diplomatik antara kekuatan-kekuatan besar dunia.

Meskipun demikian, dominasi dolar AS dalam sistem keuangan global masih sangat kuat. Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), pada kuartal keempat tahun 2023, sekitar 58,41% dari total cadangan devisa global disimpan dalam bentuk dolar AS, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan euro (19,98%), yen Jepang (5,7%), dan pound sterling Inggris (4,8%). Angka ini menegaskan bahwa peran dolar belum tergantikan dalam waktu dekat, meskipun tanda-tanda diversifikasi terus bermunculan.

Langkah Arab Saudi untuk membuka opsi mata uang lain dalam perdagangan minyak juga tidak serta-merta berarti bahwa kerajaan tersebut akan meninggalkan dolar AS secara penuh. Sebaliknya, ini merupakan bagian dari strategi mitigasi risiko terhadap fluktuasi nilai tukar, perubahan kebijakan moneter AS, dan dinamika geopolitik yang tidak stabil.

Selain itu, strategi ini juga sejalan dengan program Vision 2030 yang dicanangkan oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang menargetkan diversifikasi ekonomi Saudi agar tidak lagi bergantung pada sektor energi. Transformasi sistem petrodolar menjadi refleksi nyata bahwa struktur ekonomi global tidak lagi bersifat unipolar.

Meskipun proses diversifikasi ini masih menghadapi banyak tantangan, langkah-langkah yang diambil oleh Arab Saudi dan Tiongkok mencerminkan arah baru dalam hubungan internasional dan sistem keuangan global. Masa depan dominasi dolar mungkin belum tergantikan dalam waktu dekat, namun fondasi bagi sistem moneter yang lebih multipolar mulai terbentuk secara nyata.

Komentar

Berita Lainnya

Krisis Ekonomi 1997 Kembali Bayangi Asia Ekonomi

Kamis, 6 Oktober 2022 13:29:54 WIB

banner