Senin, 16 Juni 2025 23:36:47 WIB

Konflik antara Iran dan Israel bukan lagi sekadar urusan dua negara bermusuhan
International

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi Israel VS Iran

Pada pertengahan Juni 2025, dunia internasional dikejutkan oleh eskalasi terbaru dalam konflik laten antara Israel dan Iran. Serangan militer Israel menyasar fasilitas nuklir Iran di Natanz dan Isfahan, dua lokasi vital dalam pengembangan program nuklir Teheran. Serangan ini menyebabkan kerusakan pada fasilitas konversi uranium di Isfahan, sementara sebagian besar infrastruktur pengayaan di Natanz masih dapat beroperasi. 

Tidak tinggal diam, Iran segera melancarkan serangan balasan dalam bentuk gelombang rudal balistik dan drone yang diarahkan ke sejumlah kota besar Israel seperti Tel Aviv dan Haifa. Serangan tersebut menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur militer Israel, dan dianggap oleh banyak analis sebagai titik balik dalam hubungan permusuhan terbuka kedua negara.

Ketegangan ini menciptakan dinamika baru dalam politik kawasan dan global. Salah satu reaksi yang paling mencolok datang dari Tiongkok. Melalui Duta Besarnya di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Fu Cong, Beijing mengecam keras tindakan Israel, menyebutnya sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan kedaulatan negara lain.

Pernyataan itu diikuti sikap serupa dari Kementerian Luar Negeri Tiongkok yang mengekspresikan keprihatinan mendalam terhadap potensi eskalasi konflik yang lebih luas. Di tengah polarisasi global, respons ini tidak hanya mencerminkan keberpihakan normatif pada prinsip-prinsip hukum internasional, tetapi juga memperlihatkan kalkulasi strategis dan kepentingan geopolitik Beijing yang lebih dalam.

Tiongkok, sebagai kekuatan global yang tengah merancang ulang struktur dunia pasca hegemonik, memandang Iran bukan sekadar negara mitra, melainkan simpul penting dalam konfigurasi kekuatan baru yang tengah dibentuk. Relasi Tiongkok–Iran terikat pada tiga kepentingan strategis utama yakni energi, investasi dalam Belt and Road Initiative (BRI), dan proyek besar membentuk tata dunia multipolar sebagai tandingan dominasi Barat.

Dari aspek energi, Tiongkok adalah importir minyak mentah terbesar dunia. Tidak heran, jika kemudian Tiongkok jadi pembeli terbesar minyak Iran. Menurut laporan detik, pada tahun 2023 ada sekitar 90% dari total produksi minyak mentah Iran dibeli oleh Tiongkok. Jumlahnya berkisar di angka lebih dari 1 juta barel per hari (BOPD). Adapun 10% sisanya kini dibeli oleh sejumlah negara lain.

Sementara itu, data yang dirilis oleh perusahaan pelacakan kapal Vortexa menunjukkan bahwa ekspor minyak Iran ke Tiongkok naik ke angka 1,8 juta barel per hari yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Maret 2025, tertinggi dalam sejarah. Peningkatan ini terjadi di tengah kekhawatiran bahwa sanksi Amerika Serikat (AS) lebih lanjut akan dijatuhkan terhadap Tehran.

Sementara itu, data dari perusahaan analitik Kpler menunjukkan ekspor minyak Iran ke Tiongkok pada Maret lalu sebesar 1,71 juta barel per hari, naik 20 persen dari Februari lalu. Data Kpler menunjukkan bahwa minyak Iran menyumbang 16 persen dari impor minyak mentah Tiongkok melalui laut pada Maret lalu.

Ini menjadikan Iran salah satu dari tiga pemasok utama, di samping Rusia dan Arab Saudi. Namun, berbeda dengan Saudi yang berporos pada Washington, dan Rusia yang dibatasi sanksi global, Iran merupakan mitra marginal yang justru memberikan fleksibilitas lebih tinggi bagi Beijing. Pasokan minyak Iran sebagian besar masuk ke kilang independen Tiongkok melalui jalur grey market, bahkan menggunakan armada kapal bayangan untuk menghindari pengawasan sanksi AS dan Eropa. Ini menegaskan bahwa minyak Iran bukan sekadar sumber energi, melainkan instrumen resistensi terhadap dominasi geopolitik AS.

Lebih jauh, hubungan ini mengakar dalam kepentingan struktural jangka panjang Tiongkok yang ingin mengamankan investasinya di jalur BRI. Sejak ditandatanganinya perjanjian strategis 25 tahun pada tahun 2021, Tiongkok telah menjanjikan investasi hingga USD 400 miliar atau sekitar Rp6.500 triliun di sektor energi, pelabuhan, infrastruktur digital, dan transportasi Iran.

Investasi ini secara langsung bergantung pada stabilitas Iran, sehingga setiap ancaman militer dari pihak luar, termasuk Israel, menjadi gangguan yang harus ditanggapi secara serius oleh Beijing. Serangan terhadap fasilitas diplomatik Iran di Damaskus sebelumnya, dan yang lebih baru terhadap infrastruktur nuklir di wilayah dalam negeri Iran, bukan hanya masalah hukum internasional bagi Tiongkok melainkan juga potensi ancaman terhadap keamanan investasi strategisnya sendiri.

Dalam dimensi diplomatik, dukungan terbuka Tiongkok terhadap Iran juga menjadi bagian dari skenario besar membangun tata dunia multipolar. Iran, yang resmi bergabung dengan organisasi BRICS+ yakni Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan pada awal tahun 2024 bersama Ethiopia, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA), adalah bagian dari manuver strategis Beijing dan Moskow untuk menciptakan blok kekuatan baru yang mampu menyaingi lembaga-lembaga Barat seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

Tiongkok sebagai pemimpin de facto BRICS, menggunakan aliansi ini sebagai medium untuk memproyeksikan pengaruh globalnya, dan dukungan terhadap Iran menjadi simbol bahwa Beijing siap menggunakan kekuatan politiknya untuk mendukung mitra strategis jika kepentingannya terancam. Pendekatan ini selaras dengan kerangka teori hubungan internasional realisme struktural (neorealisme), di mana negara bertindak berdasarkan kepentingan nasional dan distribusi kekuasaan global.

Tiongkok tidak bertindak berdasarkan kesamaan ideologi atau kepedulian normatif semata, melainkan karena pertimbangan strategis rasional untuk memperluas pengaruh, melindungi investasi, dan menyeimbangkan kekuatan dominan lain, dalam hal ini AS dan sekutunya di Timur Tengah. Ketika AS terus menekan Iran dengan sanksi dan menargetkan ekspansi ekonomi dan teknologi Tiongkok melalui pembatasan ekspor chip Kecedasan Buatan (AI) dan perang dagang, maka mendukung Iran menjadi bentuk perlawanan simbolik sekaligus strategis.

Melalui responsnya terhadap ketegangan Israel–Iran, Tiongkok memperlihatkan bahwa ia tidak lagi menjadi kekuatan global yang bersikap netral atau reaktif. Ia secara aktif mengartikulasikan posisinya, mengintervensi melalui jalur diplomatik, dan melibatkan diri dalam konflik regional yang memiliki implikasi global. Ini adalah bagian dari transformasi Tiongkok dari kekuatan ekonomi menjadi kekuatan geopolitik penuh.

Dalam situasi ini, dukungan Tiongkok terhadap Iran bukanlah bentuk sentimentalisme atau ideologisasi hubungan internasional. Ini adalah relasi yang bersifat transaksional dan saling menguntungkan. Iran memberikan energi murah, akses geostrategis, serta pijakan penting dalam jaringan BRI.

Sebaliknya, Tiongkok menawarkan legitimasi politik, perlindungan diplomatik di forum global, dan perimbangan terhadap isolasi yang dipaksakan oleh kekuatan Barat. Ketika Tiongkok membela Iran secara terbuka, ia sedang mendemonstrasikan bahwa dunia multipolar bukan lagi ideal abstrak, melainkan kenyataan geopolitik yang tengah dibangun dengan minyak, proyek investasi lintas benua, serta diplomasi global yang semakin tegas.

Oleh karena itu, konflik terbaru antara Israel dan Iran menjadi ujian langsung bagi keseriusan Tingkok dalam memainkan peran ini. Dunia sedang menyaksikan fase baru dari pertarungan representasi kekuasaan global, di mana bukan hanya rudal dan drone yang menentukan arah sejarah, tetapi juga diplomasi, logistik energi, dan investasi infrastruktur strategis yang membentuk wajah baru tatanan internasional.

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 yang dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner
Giorgia Meloni International

Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

banner