Sabtu, 19 April 2025 16:32:53 WIB
Ketika Dunia Selatan Bangkit Bersama Tiongkok: Akhir dari Dominasi Barat?
International
OPINI/Muhammad Rizal Rumra

Presiden Tiongkok Xi Jinping Berdiri di Panggung Bersama dengan Para Pemimpin Negara dan Pemerintahan Afrika dalam Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerja Sama Tiongkok-Afrika (FOCAC) 2024
Pada abad ke-21, Tiongkok telah tampil sebagai kekuatan ekonomi global yang dominan. Namun, pengaruhnya tidak terbatas pada ranah ekonomi semata, melainkan juga mencakup diplomasi internasional, khususnya di antara negara-negara berkembang atau yang kerap disebut sebagai negara-negara Selatan.
Sebelumnya, negara-negara Selatan kerap berada dalam bayang-bayang pengaruh kebijakan ekonomi dan politik negara-negara maju, terutama Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat. Kebijakan proteksionisme, sanksi ekonomi, serta intervensi politik dari Barat telah lama menjadi hambatan dalam upaya negara-negara tersebut mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini, Tiongkok menawarkan suatu pendekatan alternatif. Melalui kebijakan luar negeri yang lebih inklusif dan berorientasi pada kemitraan ekonomi yang saling menguntungkan, Tiongkok berhasil menarik simpati dan dukungan dari banyak negara Selatan. Investasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur, khususnya melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), serta kemudahan akses ke pasar Tiongkok dan negara-negara mitra, telah mempercepat transformasi ekonomi berbagai negara berkembang. Perubahan ini secara signifikan menggeser dinamika geopolitik dan diplomatik dalam berbagai forum internasional. Tiongkok kini memperoleh penghormatan serta dukungan yang semakin besar dari negara-negara Selatan, dibandingkan dengan AS dan negara-negara Barat.
Salah satu peristiwa yang menggambarkan pergeseran geopolitik ini adalah penolakan Tiongkok terhadap usulan kemitraan eksklusif Group of Two (G-2) bersama AS. Alih-alih menyetujui gagasan tersebut, Tiongkok memilih memperkuat solidaritas dengan negara-negara Selatan, yaitu negara-negara berkembang yang selama ini menjadi korban kolonialisme dan imperialisme.
Penolakan terhadap G-2 ditegaskan oleh Perdana Menteri (PM) Wen Jiabao dalam kunjungan Presiden Barack Obama ke Beijing pada tahun 2009. Ia menyatakan, gagasan pemerintahan bersama antara Tiongkok dan AS bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar diplomasi damai yang dianut Tiongkok. Tiongkok mengkhawatirkan, konsep semacam ini akan memperkuat narasi “ancaman Tiongkok”.
Kekhawatiran dunia Barat terhadap penguatan hubungan Tiongkok dengan negara-negara Selatan bukan tanpa alasan. Bergabungnya Tiongkok dengan negara-negara berkembang telah memberikan suntikan dana dan investasi yang substansial, yang pada akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperkuat posisi tawar negara-negara tersebut di panggung global.
Contoh konkret dari perubahan sikap politik dapat terlihat dari perbedaan perlakuan diplomatik yang diberikan oleh Peru dalam Forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada tahun lalu. Presiden Tiongkok Xi Jinping disambut dengan upacara kenegaraan lengkap dan karpet merah, sedangkan Presiden AS Joe Biden hanya disambut oleh wakil presiden tanpa seremoni serupa.
Posisi dalam foto resmi APEC pun menunjukkan simbol diplomasi, dengan Presiden Peru berdiri diapit oleh Presiden Xi dan John Li Ka-chiu selaku Chief Executive Hong Kong yang berdiri di depan, sementara Presiden Biden berada di barisan belakang.
Tiongkok juga menjadi alternatif penting dalam mendukung negara-negara yang dikenai sanksi oleh Barat. Misalnya, Tiongkok memberikan fasilitas kredit senilai $10 miliar atau sekitar Rp168 triliun kepada Iran ketika negara tersebut mengalami blokade ekonomi. Fasilitas tersebut memungkinkan Iran mengakses kebutuhan penting secara fleksibel, dengan Tiongkok menanggung pelunasannya. Di Irak, Tiongkok turut membangun kembali infrastruktur pendidikan dengan mendirikan 3.000 sekolah, 1.000 di antaranya telah beroperasi pada tahun ini.
Kekuatan diplomasi dan ekonomi Tiongkok juga tercermin dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana negara-negara Arab dan Afrika umumnya memberikan dukungan terhadap posisi politik Tiongkok. Beijing bahkan menjadi tuan rumah bagi berbagai pertemuan penting, seperti perundingan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah, serta pertemuan para menteri luar negeri negara-negara Arab dan Muslim untuk membahas konflik Gaza.
Bantuan ekonomi dan strategis juga diberikan kepada Rusia. Menjelang invasi ke Ukraina, Presiden Vladimir Putin mengunjungi Beijing untuk memperoleh dukungan. Saat sanksi ekonomi diberlakukan terhadap Rusia, Tiongkok membeli minyak dalam jumlah besar dan membayar tunai untuk kebutuhan 30 tahun ke depan.
Selain itu, perusahaan-perusahaan Tiongkok mengambil alih aset-aset yang ditinggalkan perusahaan Barat, sehingga mencegah terjadinya pengangguran massal dan menjaga stabilitas ekonomi Rusia. Hal ini menunjukkan keberhasilan Tiongkok dalam melawan dampak sanksi Barat, yang terbukti tidak efektif bahkan dalam kasus ekstrem seperti Rusia dan Iran.
Tiongkok juga telah memainkan peran penting dalam mendukung pembangunan ekonomi negara-negara berkembang, seperti Ethiopia dan Pakistan. Investasi Tiongkok dalam infrastruktur Ethiopia sejak awal 2000-an telah mendorong urbanisasi dan industrialisasi, meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dari $8,242 miliar atau sekitar Rp138 triliun pada tahun 2000 menjadi $163,7 miliar atau sekitar Rp2,7 kuadriliun pada tahun 2023.
Di Pakistan, Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC) berkontribusi terhadap peningkatan PDB dari $258,7 miliar atau sekitar Rp4,3 kuadriliun pada tahun 2013 menjadi $338,4 miliar atau sekitar Rp5,7 kuadriliun pada tahun 2023.
Kontribusi Tiongkok juga mencakup sektor kesehatan. Sejak 1963, lebih dari 30.000 tenaga medis Tiongkok telah ditempatkan di 76 negara dan wilayah, melayani sekitar 290 juta orang. Saat pandemi COVID-19, Tiongkok mengirimkan 37 tim pakar ke 34 negara dan mendistribusikan lebih dari 2,2 miliar dosis vaksin ke lebih dari 120 negara dan organisasi internasional.
Secara keseluruhan, antara tahun 2013 dan 2018, Tiongkok mengalokasikan RMB 270,2 miliar atau sekitar Rp624 triliun untuk bantuan luar negeri, dengan 47,3% di antaranya dalam bentuk hibah. Bantuan pangan darurat juga diberikan kepada lebih dari 50 negara. Di samping bantuan moneter, Tiongkok juga mendorong kerja sama teknis dan pembangunan melalui program seperti South-South Cooperation Assistance Fund (SSCAF) dan BRI.
Pada akhir tahun 2019, SSCAF telah menggarap 82 proyek di bidang pertanian, perdagangan, dan pengentasan kemiskinan. Sementara pada tahun 2023, BRI mencatatkan nilai investasi hampir $1 triliun atau sekitar Rp16 kuadriliun, melibatkan lebih dari 3.000 proyek, menciptakan sekitar 420.000 lapangan kerja, dan membantu hampir 40 juta orang keluar dari kemiskinan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Tiongkok telah berhasil memperkuat hubungan strategis dengan negara-negara Selatan melalui kontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial. Pendekatan pragmatis dan non-intervensif yang diusung Tiongkok menjadikannya mitra utama bagi negara-negara berkembang, yang kini cenderung lebih memilih kerja sama dengan Beijing dibandingkan dengan negara-negara Barat.
Ke depan, Tiongkok diprediksi akan terus memperkuat posisinya dalam diplomasi global dengan dukungan dari negara-negara Selatan yang semakin solid. Melalui kemitraan ekonomi yang saling menguntungkan, Tiongkok memiliki potensi besar untuk memainkan peran utama dalam pembentukan tatanan ekonomi global yang lebih inklusif dan adil.
Komentar
Berita Lainnya
Politisi Jerman Kritik Parlemen Eropa karena Tetap Operasikan Dua Kompleksnya di Tengah Krisis Energi International
Jumat, 7 Oktober 2022 8:37:55 WIB

Patung Kepala Naga dari Batu Pasir Berusia Ratusan Tahun Ditemukan di Taman Angkor Kamboja International
Jumat, 7 Oktober 2022 16:2:20 WIB

Tiga Ekonom Internasional Raih Hadiah Nobel Ekonomi 2022 International
Selasa, 11 Oktober 2022 12:41:19 WIB

Peng Liyuan serukan upaya global untuk meningkatkan pendidikan bagi anak perempuan International
Rabu, 12 Oktober 2022 8:34:27 WIB

Sekjen PBB Serukan Cakupan Sistem Peringatan Dini Universal untuk Bencana Iklim International
Sabtu, 15 Oktober 2022 8:59:46 WIB

Jokowi Puji Kepemimpinan Xi Jinping: Dekat dengan Rakyat, Memahami Betul Masalah yang Dihadapi Rakyat International
Senin, 17 Oktober 2022 13:29:21 WIB

Forum Pangan Dunia ke-2 Dibuka di Roma International
Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

Australia Janji Pasok Senjata Buat Indonesia International
Jumat, 21 Oktober 2022 9:11:43 WIB

AS Pertimbangkan Produksi Senjata Bersama Taiwan International
Sabtu, 22 Oktober 2022 9:6:52 WIB

Pemimpin Sayap Kanan Giorgia Meloni Jadi PM Wanita Pertama Italia International
Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

Krisis Di Inggris Membuat Jutaan Warga Sengaja Tidak Makan Biar Hemat International
Minggu, 23 Oktober 2022 7:54:8 WIB

Gunung Kilimanjaro di Tanzania Dilanda Kebakaran International
Minggu, 23 Oktober 2022 15:24:53 WIB

Para Pemimpin Negara Ucapkan Selamat atas Terpilihnya Kembali Xi Jinping International
Senin, 24 Oktober 2022 11:47:39 WIB

Menlu ASEAN Akan Gelar Pertemuan Khusus di Indonesia Bahas Myanmar International
Senin, 24 Oktober 2022 16:57:17 WIB

Konser di Myanmar Berubah Menjadi Horor Saat Serangan Udara Militer Tewaskan Sedikitnya 60 Orang International
Selasa, 25 Oktober 2022 10:2:29 WIB
