Jumat, 16 Mei 2025 16:58:51 WIB
Narasi ‘China Collapse’: Ketika Ekonomi Dijadikan Alat Politik Global
Ekonomi
OPINI/Muhammad Rizal Rumra

Ilustrasi "China Collapse"
Setiap beberapa tahun sekali, opini global digemparkan oleh satu ramalan yang sama bahwasanya ekonomi Tiongkok akan segera kolaps, apalagi setelah Amerika Serikat (AS) kembali menerapkan kebijakan Perang Dagang yang lagi hangat akhir-akhir ini. Seperti gema yang tak kunjung padam, wacana ini datang silih berganti dalam berbagai bentuk seperti deflasi, krisis properti, utang pemerintah daerah, pengangguran kaum muda, hingga masalah demografi akibat populasi menua.
Media-media arus utama Barat, analis pasar, dan bahkan pejabat politik negara maju seolah tak pernah lelah menyuarakan kemungkinan keruntuhan ekonomi Tiongkok, seakan kejatuhan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu adalah sebuah keniscayaan yang tinggal menunggu waktu.
Namun, yang menarik, ramalan ini tak kunjung menjadi kenyataan. Meski badai eksternal dan tantangan domestik silih berganti, ekonomi Tiongkok tetap berdiri kokoh. Tidak hanya bertahan, ia terus menunjukkan performa pertumbuhan yang tangguh, bahkan ketika negara-negara Barat mengalami pelambatan. Mengapa narasi ini terus diproduksi dan disebarluaskan? Apakah ia lahir dari kekhawatiran, atau justru merupakan alat politik yang digunakan untuk menekan kekuatan pesaing global?
Jadi, sebenarnya sejak dekade akhir abad ke-20, narasi mengenai potensi keruntuhan ekonomi Tiongkok terus menjadi isu yang berulang, baik dalam diskursus ekonomi internasional maupun dalam perbincangan publik di berbagai negara. Berbagai isu seperti krisis properti, stagnasi ekonomi, tingkat pengangguran tinggi, hingga fenomena penuaan populasi terus dijadikan landasan oleh sejumlah kalangan untuk menyuarakan bahwa ekonomi Tiongkok berada di ambang kehancuran.
Namun, jika dianalisis lebih jauh, wacana tersebut kerap kali tidak selaras dengan data ekonomi empiris yang tersedia. Bahkan, dalam banyak kasus, narasi tersebut lebih tampak sebagai bentuk propaganda geopolitik daripada representasi objektif terhadap realitas ekonomi Tiongkok. Buktinya, berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Dunia atau Data Moneter Internasional (IMF), tingkat pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok rata-rata mencapai 8,81 persen selama periode tahun 1989 hingga tahun 2024.
Bahkan, pada kuartal pertama tahun 2021, Tiongkok mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang sejarahnya sebesar 18,90 persen. Kontribusi Tiongkok terhadap PDB global pun tidak dapat dipandang sebelah mata, yaitu sekitar 30 persen. Sebagai perbandingan, rata-rata pertumbuhan ekonomi global hanya berkisar di angka 3 persen, sementara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatatkan 3,1 persen, dan AS sebesar 2,8 persen.
Ketimpangan angka ini menggambarkan dengan jelas bagaimana narasi kolapsnya ekonomi Tiongkok sering kali tidak didasarkan pada data empiris, melainkan lebih kepada asumsi dan kekhawatiran geopolitik tertentu. Hal ini bisa dilihat, bahwa ternyata krisis finansial global tahun 2008 menjadi momentum penting yang memperlihatkan daya tahan ekonomi Tiongkok. Yang mana, ketika sebagian besar negara-negara maju mengalami perlambatan bahkan kontraksi ekonomi, Tiongkok justru mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya dan bahkan menjadi motor penggerak utama bagi pemulihan ekonomi global.
Dengan demikian, jelaslah bahwa narasi “China collapse” tidak hanya tidak terbukti secara empiris, tetapi juga mengandung bias ideologis dan politis yang kuat. Mengapa negara seperti AS, yang memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata lebih rendah dibandingkan Tiongkok tidak dipandang dalam kerangka naratif yang sama? Pertanyaan ini membuka ruang untuk melihat bahwa narasi tentang keruntuhan ekonomi Tiongkok lebih merupakan bagian dari strategi politik dan komunikasi, ketimbang analisis ekonomi yang objektif.
Dalam era informasi seperti sekarang, di mana akses terhadap data dan informasi semakin terbuka dan mudah diakses, seharusnya publik semakin memiliki kemampuan untuk membedakan antara opini politis dengan fakta ilmiah. Sayangnya, sebagian besar masyarakat masih menerima narasi populer secara mentah tanpa proses analisis kritis. Fenomena ini tidak jarang diperparah oleh rendahnya literasi media dan ekonomi di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia sehingga informasi dari sumber-sumber tidak kredibel seperti media sosial atau sejenisnya justru dijadikan landasan keyakinan.
Siapa sebenarnya yang berperan penting dalam penyebaran isu ini? Ya, tentu saja negara adidaya yang besar dan kuat yaitu AS yang secara konsisten memproduksi dan menyebarkan narasi bahwa ekonomi Tiongkok akan kolaps. Kenapa bisa demikian? Jika ditelaah lebih lanjut, motif utamanya tampaknya bersifat politis dan strategis.
Pertama, propaganda ini berfungsi sebagai alat untuk mengalihkan perhatian publik domestik dari masalah-masalah struktural yang dihadapi oleh perekonomian AS sendiri. Inflasi yang tinggi, tingginya tingkat utang nasional, defisit anggaran, serta meningkatnya jumlah tunawisma dan pengangguran merupakan isu-isu serius yang tengah melanda AS.
Menurut Departemen Keuangan AS, Amerika diperkirakan akan menghadapi tantangan fiskal jangka panjang yang signifikan. Rasio utang terhadap PDB diproyeksikan melampaui 200% pada tahun 2049 dan bahkan bisa mencapai 535% pada tahun 2099, akibat penuaan populasi dan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi.
Di tengah kondisi inilah, menciptakan “musuh bersama” atau distraksi eksternal dalam bentuk ancaman ekonomi dari negara lain seperti Tiongkok menjadi strategi retoris yang efektif. Selain itu, propaganda tentang keruntuhan ekonomi Tiongkok juga dimaksudkan untuk menciptakan ketidakpercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi negara tersebut.
Dengan menyebarkan keraguan terhadap prospek pertumbuhan Tiongkok, AS berharap dapat menekan aliran Investasi Asing Langsung (FDI) ke negara pesaing utamanya itu. Ini adalah bentuk perang psikologis ekonomi yang bertujuan melemahkan posisi tawar Tiongkok di panggung global. Apakah strategi ini berhasil? Faktanya, bisa dilihat sebagaimana data yang sudah disebutkan sebelumnya, dimana Tiongkok justru terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan dari tahun ke tahun.
Salah satu kesalahan konseptual dalam memahami perekonomian Tiongkok adalah anggapan bahwa negara tersebut telah sepenuhnya menjadi sistem kapitalis seperti AS. Padahal, pada hakikatnya Tiongkok tetap mengusung prinsip-prinsip sosialisme dengan karakteristik nasionalnya. Pemerintah Tiongkok juga tetap memegang peran sentral dalam perencanaan dan pengambilan keputusan strategis ekonomi. Ini membedakannya secara fundamental dengan ekonomi liberal yang mengandalkan mekanisme pasar sepenuhnya.
Tiongkok adalah negara dengan sistem ekonomi yang dirancang. Yang mana, perencanaan ekonomi mereka bersifat jangka panjang hingga 100 tahun menjadi pilar penting dalam keberlangsungan pembangunan negara tersebut. Tidak seperti ekonomi kapitalis yang menyerahkan mekanisme koreksi kepada tangan tak terlihat atau invisible hand, pemerintah Tiongkok justru tidak segan-segan melakukan intervensi aktif dalam mengatur pasar, memperbaiki ketidakseimbangan ekonomi, dan menjaga stabilitas makroekonomi.
Perbedaan ini pula yang menjadi salah satu keunggulan Tiongkok dalam menghadapi krisis. Ketika negara-negara Barat menghadapi kesulitan dalam merespons krisis karena birokrasi yang lamban atau pertimbangan politik partai, Tiongkok malah bergerak cepat melalui para teknokrat dan akademisi yang sangat kompeten di bidangnya.
Mereka seringkali terlibat dalam forum-forum ekonomi, yang melibatkan proses pengambilan kebijakan yang didasarkan pada pertimbangan akademis dan kepakaran. Makanya, biasanya ada 3000 lebih ekonom dari seluruh penjuru negeri ikut terlibat dalam berbagai pembahasan, misalnya mengenai perang dagang dengan AS. Mereka pun menyusun berbagai makalah dan rekomendasi yang pada akhirnya dipilih yang paling relevan dan implementatif oleh pemerintah.
Yang patut digarisbawahi adalah dedikasi para akademisi dan ekonom Tiongkok dalam mendukung kebijakan negara. Mereka hadir tanpa imbalan finansial besar, bahkan menanggung biaya sendiri, semata-mata karena rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa. Solidaritas semacam ini, yang sangat jarang ditemukan dalam sistem kapitalis Barat, menjadi kekuatan moral sekaligus intelektual yang menopang kekokohan ekonomi Tiongkok. Perlakuan semacam ini mencerminkan nasionalisme produktif yang menjadikan ekonomi Tiongkok tidak hanya dijalankan oleh kebijakan top-down, tetapi juga diperkuat oleh partisipasi aktif masyarakat terdidik dan profesional.
Dari sinilah menjadi jelas, bahwasanya perdebatan mengenai masa depan ekonomi Tiongkok tidak semata-mata bersandar pada data ekonomi, tetapi juga sarat dengan kepentingan geopolitik dan ideologi. Fakta-fakta empiris menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki fondasi ekonomi yang kuat dan kapasitas adaptif yang tinggi dalam menghadapi tekanan global. Namun demikian, narasi negatif terus diproduksi dan diulang dari tahun ke tahun, menandakan bahwa ada agenda lain yang ingin dicapai melalui penyebarluasan ketidak percayaan terhadap stabilitas ekonomi negeri tersebut.
Maka, terkait hal ini pertanyaan penting yang harus diajukan bukan lagi "Apakah ekonomi Tiongkok akan runtuh?" melainkan "Siapa yang diuntungkan dari keyakinan bahwa ekonomi Tiongkok akan runtuh?" Di sinilah pentingnya masyarakat global termasuk akademisi, pembuat kebijakan, dan publik luas, untuk memandang isu ini secara jernih, adil, dan berbasis pada nalar ilmiah bukan prasangka atau desakan wacana politik global.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwasanya propaganda yang dilancarkan oleh negara-negara Barat, khususnya AS lebih mencerminkan kegelisahan terhadap bangkitnya kekuatan baru yang dapat menggeser dominasi global yang telah mereka nikmati selama lebih dari satu abad. Strategi komunikasi yang digunakan oleh AS tidak lain adalah untuk mengaburkan kelemahan domestik mereka sendiri serta menghambat kebangkitan Tiongkok melalui persepsi negatif yang disebarluaskan secara sistematis.
Makanya, dalam memahami dinamika ekonomi global saat ini, sangat penting bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia, untuk meningkatkan literasi ekonomi dan berpikir secara kritis. Hanya dengan pendekatan berbasis data, rasionalitas, dan pemikiran analitis, publik dapat terhindar dari jebakan narasi yang bias dan menyesatkan tersebut.
Komentar
Berita Lainnya
Investasi Banyak Masuk ke Jateng, Ganjar: Tingkat Layanan Kita Sangat Serius Ekonomi
Selasa, 4 Oktober 2022 18:8:39 WIB

Perdagangan Jerman mengalahkan ekspektasi pada Agustus , meski ekonomi melambat Ekonomi
Rabu, 5 Oktober 2022 18:2:24 WIB

Krisis Ekonomi 1997 Kembali Bayangi Asia Ekonomi
Kamis, 6 Oktober 2022 13:29:54 WIB

Pakar: Tren konsumsi sehat mencerminkan kepercayaan konsumen yang kuat Ekonomi
Jumat, 7 Oktober 2022 19:14:0 WIB

Perkiraan uang penjualan pembuat chip TSMC, persaingan melambat Ekonomi
Jumat, 7 Oktober 2022 19:44:54 WIB

Mentan-Menkeu G20 & Bank Dunia Kumpul di AS, Cari Solusi Atasi Krisis Pangan Ekonomi
Rabu, 12 Oktober 2022 9:9:53 WIB

Lebih dari Setengah Mobil Baru akan Menggunakan Listrik pada Tahun 2025 Ekonomi
Kamis, 13 Oktober 2022 21:21:32 WIB

Tibet Melihat Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Tahunan Dua Digit Ekonomi
Kamis, 13 Oktober 2022 21:23:14 WIB

Gara-gara Hujan, Petani Risau Harga Cabai dan Beras Naik Ekonomi
Sabtu, 15 Oktober 2022 8:37:6 WIB

PLN: Infrastruktur Listrik Kereta Cepat Rampung Juni 2023 Ekonomi
Sabtu, 15 Oktober 2022 8:43:54 WIB

Antisipasi Resesi Gelap, Sandiaga Uno: Perkuat UMKM dan Kolaborai Ekonomi
Minggu, 16 Oktober 2022 18:8:23 WIB

Huawei akan mendirikan pusat layanan cloud Eropa pertama di Irlandia Ekonomi
Kamis, 20 Oktober 2022 10:1:4 WIB

14 Negara Tandatangani 100 Kerja Sama Dagang dengan Indonesia Ekonomi
Kamis, 20 Oktober 2022 15:36:8 WIB

Sri Mulyani Pede Ekonomi RI Tembus 5,5 Persen pada Kuartal III 2022 Ekonomi
Sabtu, 22 Oktober 2022 11:45:9 WIB
