Kamis, 24 April 2025 20:12:20 WIB

Media Barat, Virus, dan Tiongkok: Saat Isu Kesehatan Jadi Alat Politik dan Bisnis
Kesehatan

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi Virus Pernapasan

Mungkin masih diingat di benak semua orang, ketika dunia dikejutkan oleh pemberitaan dan informasi yang massif mengenai Human Metapneumovirus (HMPV), yakni virus pernapasan yang secara tiba-tiba disebut sebagai "mematikan" di berbagai media asing saat ditemukan peningkatan kasusnya di Tiongkok.

Bagi yang mengikuti perkembangan ini, fenomena ini terasa seperti déjà vu. Ingat COVID-19? Lagi-lagi, Tiongkok dijadikan titik awal narasi tentang ancaman global. Tapi, bagi orang yang berpikir kritis akan bertanya apakah benar Tiongkok selalu menjadi biang keladi, atau justru ada permainan narasi yang lebih dalam yang perlu dibongkar bersama?

Tak bisa dipungkiri, COVID-19 memang pertama kali dilaporkan di Wuhan. Namun narasi yang menyertainya sering kali tidak netral. Media Barat, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, cepat menyebutkan kemungkinan kebocoran lab, menyindir kurangnya transparansi, bahkan tak jarang menggunakan istilah bernada rasis.

Parahnya, dengan kemunculan HMPV belum lama ini yang sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2001, publik lagi-lagi disuguhkan narasi tentang "ancaman baru dari Tiongkok". Padahal, HMPV bukan virus baru. Bahkan negara-negara seperti AS dan Kanada juga mencatat lonjakan kasus, namun tak mendapat sorotan yang sama. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Jadi sebenarnya, perlu diketahui bahwa media itu bukan sekadar penyampai berita. Ia juga bisa jadi alat propaganda baik secara sadar atau tidak. Apalagi dalam konteks geopolitik, membentuk persepsi publik adalah kekuatan yang sangat besar.

Ketegangan antara AS dan Tiongkok dalam bidang perdagangan, teknologi, hingga militer membuat narasi negatif terhadap Tiongkok "menjual". Isu virus menjadi senjata halus untuk membentuk citra Tiongkok sebagai negara yang “kacau”, “berbahaya”, bahkan “tidak kompeten dalam menangani kesehatan publik.” Pemberitaan seperti ini tentu memengaruhi opini publik, bahkan bisa memengaruhi kebijakan luar negeri.

Masih segar diingatan, saat awal COVID-19 merebak, ada kesenjangan informasi luar biasa antara yang terjadi di lapangan dan yang diberitakan. Pemerintah Tiongkok memang lambat di awal, tapi kemudian justru menunjukkan kontrol yang sangat ketat bahkan lebih cepat dari banyak negara Barat.

Namun meski begitu, apa yang terekam di benak banyak orang Barat? Apalagi kalo bukan “Virus Tiongkok”, “ketertutupan informasi”, dan “penyebab pandemi”. Padahal, virus ini tak pandang bulu. Semua negara kelabakan, termasuk negara-negara maju yang sebelumnya merasa aman.

Membiarkan narasi semacam ini terus berkembang tanpa kritik, tentu berbahaya. Pertama, karena memperkuat polarisasi global antara Barat vs Timur yang merugikan kolaborasi ilmiah dan kesehatan. Kedua, karena bisa memperparah diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Asia, sebagaimana yang sempat terjadi selama pandemi.

Dan yang paling penting, narasi seperti ini membuat salah fokus. Alih-alih mencari solusi global, semua negara malah sibuk saling menyalahkan. Oleh karena itu, bijaklah dalam membaca dunia lantaran virus tidak mengenal batas negara. Tapi narasi tentang virus bisa dibuat seolah-olah berasal dari batas tertentu. Jika ingin menjadi masyarakat yang cerdas dan berempati, seharusnya mulai memilah informasi dengan kritis. Jangan biarkan menjadi korban propaganda. Dunia ini terlalu kompleks untuk disederhanakan dalam satu sudut pandang.

Komentar

Berita Lainnya

Kemenkes: Omicron XBB Terdeteksi di Indonesia Kesehatan

Minggu, 23 Oktober 2022 16:42:29 WIB

banner
5 Sarapan Bergizi untuk Menurunkan Berat Badan Kesehatan

Minggu, 6 November 2022 7:42:35 WIB

banner