Kamis, 24 Juli 2025 23:42:57 WIB
Ketika Spirit Imam Husein Iran dan Strategi Tiongkok Bersatu: Berhasil Tumbangkan Kezaliman Zionis Israel dan Hegemoni AS
International
OPINI/Muhammad Rizal Rumra

Ilustrasi Israel vs Iran
Konflik 12 hari antara Iran dan Israel yang berakhir pada 24 Juni 2025 tidak bisa dipahami hanya sebagai pertikaian militer biasa. Di balik dentuman rudal dan serangan udara, perang ini memuat makna simbolik dan transformasional dalam sistem internasional pasca-Perang Dingin. Narasi kemenangan tidak lagi semata-mata milik pihak yang memiliki kekuatan militer dominan, tetapi berpindah ke mereka yang mampu mengatur ritme konflik, mempertahankan legitimasi, dan menundukkan musuh melalui strategi ideologis dan geopolitik yang cerdas.
Perang ini juga menyibak perubahan besar dalam struktur kekuasaan global, memperlihatkan bahwa Amerika Serikat (AS) dan Israel sebagai dua pilar dominasi dunia unipolar, kini harus berhadapan dengan blok kekuatan baru yang tidak hanya kuat secara militer dan ekonomi, tapi juga secara naratif dan simbolik. Dalam konteks ini, Iran dan Tiongkok tampil sebagai poros tandingan yang bukan hanya menahan laju dominasi Barat, tetapi juga mulai membentuk arsitektur tatanan multipolar baru yang berlandaskan solidaritas, kedaulatan, dan perlawanan terhadap hegemoni.
Narasi kemenangan versi Israel dengan cepat dikonfrontasi oleh fakta di lapangan. Meskipun Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengklaim "kemenangan bersejarah", justru Iran yang secara aktif menunjukkan inisiatif dalam mengakhiri konflik. Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menegaskan bahwa gencatan senjata diambil setelah lawan mengalami kerugian berat. Bahkan sehari sebelum gencatan berlaku, Iran meluncurkan serangan balistik ke pangkalan udara Amerika di Qatar menandakan sebuah aksi dengan posisi ofensif, bukan defensif.
Apa yang terjadi sebenarnya bukanlah hasil dari keberhasilan militer Israel, melainkan manifestasi dari kegagalan strategi Barat yang dipimpin AS. Donald Trump, yang kembali ke Gedung Putih, sempat melontarkan ultimatum keras pada Iran usai menyerang tiga fasilitas nuklirnya. Namun reaksi cepat dan berani dari Iran justru membalikkan keadaan. Di sinilah titik baliknya: Iran tidak menyerah, tapi memaksa musuhnya untuk mundur.
Dalam paradigma realisme dalam hubungan internasional, kekuasaan ditentukan oleh kemampuan mempertahankan kepentingan vital nasional. Iran menunjukkannya bukan hanya melalui pertahanan militer, tapi juga kemampuan strategis untuk memaksa dua musuh besarnya yakni Israel dan AS untuk menyetujui gencatan senjata tanpa prasyarat. Ini merupakan bentuk keseimbangan kekuatan baru, di mana aktor non-Barat mulai menunjukkan otonomi dan pengaruh nyata.
Namun kekuatan Iran tidak berdiri sendiri. Dukungan strategis dari Tiongkok menjadi variabel kunci dalam keberhasilan ini. Jika dianalisis dengan pendekatan neorealisme ofensif, Tiongkok melihat Iran sebagai proxy strategis di kawasan Teluk sebagai bagian dari upaya sistematis Beijing untuk menyeimbangkan hegemoni AS. Sejak dekade 1980-an, Tiongkok menjadi penyokong utama teknologi rudal Iran, termasuk propelan dan bahan baku utama lainnya.
Keterlibatan ini bahkan terus berlanjut hingga saat perang berlangsung. Pengiriman lebih dari 1.000 ton natrium perklorat dari Tiongkok ke Iran pada awal tahun 2025 menjadi indikasi penting bahwa Iran telah membangun sistem ketahanan rudal yang terstruktur. Bahkan di tengah embargo dan ancaman sanksi, Iran tetap mampu menghujani wilayah Israel dengan rudal presisi tinggi yang sebagian besar berbasis teknologi hasil transfer pengetahuan jangka panjang dengan Tiongkok.
Koalisi strategis ini tidak terbatas pada dimensi militer. Dalam kacamata liberalisme institusional, hubungan ekonomi yang saling menguntungkan memainkan peran besar dalam menopang daya tahan Iran. Sejak tahun 2021, Tiongkok membeli minyak Iran secara besar-besaran, mengabaikan ancaman sanksi AS. Dengan 90 persen ekspor minyak Iran ditujukan ke Tiongkok, Teheran mampu menjaga stabilitas makroekonomi selama konflik, yang dalam situasi lain bisa memicu kehancuran total seperti yang dialami Irak atau Suriah.
Tidak hanya di medan militer dan ekonomi, kemenangan Iran juga didorong oleh kekuatan ideologis yang mengakar kuat, sebuah variabel yang kerap diabaikan dalam teori hubungan internasional konvensional. Dalam perspektif konstruktivisme, identitas, ide, dan nilai-nilai moral memainkan peran krusial dalam membentuk realitas politik global. Iran membingkai konfliknya sebagai lanjutan dari perjuangan Sayyidina Imam Husein melawan kezaliman di Karbala. Tragedi Karbala menjadi narasi sentral perlawanan terhadap Zionisme dan imperialisme Barat.
Simbolisme ini bukan sekadar alat propaganda, melainkan mekanisme legitimasi yang efektif. Dalam kondisi di mana kekuatan militer tidak seimbang, narasi perjuangan moral memberikan Iran kekuatan spiritual untuk bertahan. Narasi ini juga menggema di berbagai belahan Dunia Islam, memperkuat solidaritas rakyat dan negara-negara Dunia Selatan terhadap perjuangan Iran dan Palestina. Dengan demikian, Iran tidak hanya melawan dengan senjata, tapi dengan cerita, identitas, dan moralitas.
Peran Tiongkok dalam ranah ini juga tidak kecil. Beijing tidak hanya mendukung Iran secara material, tetapi juga menjadi mitra strategis dalam menyebarkan narasi anti-hegemoni. Melalui media dan forum multilateral seperti Shanghai Cooperation Organization (SCO), Tiongkok mengangkat posisi Iran sebagai bagian dari perjuangan kolektif Dunia Selatan melawan dominasi Barat.
Proposal gencatan senjata empat poin yang disampaikan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada pertengahan Juni 2025 menjadi titik krusial. Seruan damai itu bukan hanya retorika, melainkan representasi dari strategi energi dan keamanan regional Tiongkok. Beijing tidak menginginkan kekacauan di kawasan yang menjadi sumber energinya, sekaligus ingin menunjukkan bahwa kekuatan non-Barat bisa memediasi perdamaian dengan lebih adil.
Dari seluruh dinamika tersebut, tampak jelas bahwa perang ini merupakan transformasi dari paradigma hubungan internasional yang lama. Dunia tidak lagi dikendalikan oleh satu pusat kekuasaan. AS yang selama ini menjadi polisi global, mulai kehilangan legitimasinya. Israel, yang mengandalkan superioritas teknologi militer, kini harus menghadapi kenyataan bahwa moralitas publik internasional tidak lagi berpihak pada kekuasaan, tetapi pada nilai keadilan.
Iran menunjukkan bahwa perlawanan yang diilhami oleh nilai spiritual dan dukungan kolektif global bisa menjadi kekuatan penyeimbang baru. Tiongkok pun berhasil menunjukkan bahwa dominasi global tidak harus dibangun melalui invasi, tapi cukup dengan kesabaran, strategi jangka panjang, dan investasi pada mitra-mitra strategis yang tepat.
Konflik ini bisa dibaca sebagai pertarungan antara dua dunia, yaitu dunia hegemonik yang mewakili kekuasaan militer, kapitalisme, dan ekspansi geopolitik, versus dunia alternatif yang didorong oleh solidaritas, resistensi ideologis, dan kerja sama antarkekuatan Dunia Selatan. Di tengah pergeseran tatanan global dari unipolar menuju multipolar, Iran dan Tiongkok tampil sebagai penulis baru dari narasi sejarah yang berbeda.
Kemenangan Iran atas Israel, dengan segala dukungan dari Tiongkok, adalah lebih dari sekadar peristiwa geopolitik. Ia adalah deklarasi bahwa tatanan dunia lama sedang runtuh. Dan seperti Karbala, sejarah kembali membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak selalu dimiliki oleh yang besar dan kuat secara fisik, tetapi oleh mereka yang sabar, konsisten, dan memiliki legitimasi moral di mata dunia.
Komentar
Berita Lainnya
Peng Liyuan menyerukan upaya global untuk mendorong pendidikan bagi anak perempuan dan perempuan ke arah yang lebih adil lebih inklusif dan lebih berkualitas dan kontribusi untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan global dan membangun komunitas dengan masa depan bersama untuk manusia International
Rabu, 12 Oktober 2022 8:34:27 WIB

Presiden RI Joko Widodo memuji gaya kepemimpinan Presiden Tiongkok International
Senin, 17 Oktober 2022 13:29:21 WIB

Forum Pangan Dunia ke-2 yang dibuka di Roma International
Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

Giorgia Meloni International
Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

Sebuah insiden kebakaran terjadi di Gunung Kilimanjaro di Tanzania International
Minggu, 23 Oktober 2022 15:24:53 WIB

Serangan udara oleh militer Myanmar menewaskan lebih dari 60 orang International
Selasa, 25 Oktober 2022 10:2:29 WIB
