Kamis, 12 Juni 2025 23:33:47 WIB

Pelajaran dari Qian Xuesen: Bagaimana AS Kehilangan Keunggulan Strategisnya hingga Dikalahkan Tiongkok?
International

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Qian Xuesen, Ilmuwan Asal Tiongkok yang Dideportasi dari AS

Di tengah meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dalam bidang teknologi dan geopolitik, kebijakan pembatasan visa terhadap pelajar dan peneliti asal Tiongkok kembali mencuat ke permukaan. Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, kebijakan ini diluncurkan dengan dalih kekhawatiran terhadap pencurian teknologi strategis.

Namun di balik narasi keamanan nasional itu, tersimpan risiko bahwa Amerika mungkin sedang mengulangi kesalahan sejarah yang sama dengan mendorong pergi talenta ilmiah unggul yang justru akan memperkuat saingan strategisnya. Kasus klasik yang merefleksikan dinamika ini adalah kisah tragis sekaligus transformatif dari ilmuwan jenius bernama Qian Xuesen.

Qian Xuesen lahir di Hangzhou, Tiongkok pada tahun 1911 dan meraih beasiswa untuk menempuh pendidikan di AS. Ia meraih gelar doktor di California Institute of Technology (Caltech) di bawah bimbingan ilmuwan legendaris Theodore von Kármán. Bersama sejumlah ilmuwan muda lainnya, Qian membentuk kelompok eksperimental yang dijuluki “Suicide Squad,” cikal bakal Jet Propulsion Laboratory (JPL) yakni lembaga yang kemudian menjadi pusat terdepan dalam eksplorasi luar angkasa Amerika.

Qian berperan penting dalam pengembangan sistem propulsi jet, rudal balistik, serta proyek-proyek strategis militer AS, termasuk keterlibatannya dalam Proyek Manhattan dan misi pascaperang Dunia II ke Jerman untuk menyelidiki teknologi roket Nazi. Atas kontribusinya, ia bahkan dianugerahi pangkat kolonel kehormatan di Angkatan Udara AS dan menjabat sebagai direktur Jet Propulsion Center di Caltech pada akhir 1940-an.

Namun karier ilmiah Qian di AS terhenti secara dramatis ketika gelombang McCarthyisme menyapu negeri itu, menciptakan atmosfer histeria anti-Komunis yang menyingkirkan nalar dan menghancurkan banyak karier cemerlang. Qian dituduh memiliki simpati terhadap komunisme, meskipun tanpa bukti yang valid. Rekomendasi dan pembelaan dari koleganya, termasuk dari tokoh seperti J. Robert Oppenheimer, diabaikan.

Pada 7 September 1950, ia ditangkap secara tiba-tiba, diborgol di hadapan keluarganya, dan dipenjarakan dalam kondisi yang sangat buruk. Ia ditahan dalam sel tunggal, diberi makanan tidak layak, dan dipantau setiap sepuluh menit sehingga nyaris tidak bisa tidur. Setelah lima tahun pembatasan gerak dan proses hukum yang melelahkan, Qian akhirnya diizinkan meninggalkan Amerika pada tahun 1955, dan ia pun kembali ke Tiongkok bersama keluarganya.

Apa yang terjadi setelah kepulangan Qian ke tanah air menjadi titik balik sejarah teknologi global. Ia segera menjadi tokoh utama dalam proyek strategis nasional Tiongkok yang dikenal sebagai “dua bom, satu satelit” yakni pengembangan bom atom, bom hidrogen, dan satelit buatan.

Dalam waktu lima tahun, Qian memimpin peluncuran rudal balistik pertama Tiongkok. Hanya empat tahun kemudian, Tiongkok berhasil menguji senjata nuklir pertamanya. Pada tahun 1966, Tiongkok meluncurkan rudal nuklir, dan pada 1970, negara itu mengorbitkan satelit pertamanya, Dong Fang Hong I, menjadikan Tiongkok sebagai negara kelima yang memiliki kemampuan luar angkasa mandiri.

Qian bukan hanya seorang ilmuwan teknik, ia juga perumus kebijakan jangka panjang. Ia menyusun fondasi integrasi teknologi militer dan sipil, membangun sistem ilmiah nasional, dan menjadi presiden pertama Akademi Teknologi Luar Angkasa Tiongkok. Program-program strategis seperti roket Long March yang kini menjadi tulang punggung peluncuran satelit Tiongkok, serta rudal Dongfeng termasuk Dongfeng-21D yang dikenal sebagai “carrier killer” merupakan bagian dari warisan langsungnya. Apa yang dibawa Qian dari Amerika bukan sekadar ilmu pengetahuan, tetapi juga pemahaman struktural atas bagaimana sistem teknologi dan pertahanan Barat dikembangkan dan dikelola.

Kisah ini menjadi cerminan nyata dari konsep reverse brain drain dalam studi geopolitik dan pembangunan. Ketika individu dengan kompetensi tinggi kembali ke negara asalnya setelah mengalami diskriminasi atau pengucilan di luar negeri, mereka dapat menjadi katalisator kemajuan luar biasa.

Dalam kasus Qian, kesalahan strategis AS tidak hanya pada hilangnya seorang ilmuwan, tetapi juga dalam memberikan kesempatan kepada rival strategis untuk membangun kekuatan teknologi berdasarkan transfer keahlian yang dulunya dibiayai dan dibina oleh Amerika sendiri.

Dokumen-dokumen Departemen Luar Negeri AS yang telah dideklasifikasi menunjukkan bahwa pada masa itu pemerintah Eisenhower meremehkan nilai Qian, menganggapnya tak lagi berguna. Pandangan ini terbukti sangat keliru, mengingat peran sentral Qian dalam membentuk Tiongkok modern sebagai kekuatan militer dan teknologi global.

Qian sendiri menolak untuk kembali ke AS, bahkan ketika telah lanjut usia. Pidato dan tulisannya kemudian banyak bernuansa anti-Barat, menunjukkan bahwa perlakuan terhadapnya telah menjadi luka ideologis dan moral yang dalam. Dalam sebuah kartu pos kepada mantan koleganya di Caltech, ia menulis: “Ini adalah bunga yang mekar dalam kesulitan,” menggambarkan bagaimana rasa kecewa pribadi telah diubah menjadi semangat kolektif untuk membangun bangsa.

Melihat ke masa kini, kebijakan pembatasan visa dan pengawasan ketat terhadap pelajar dan peneliti Tiongkok di bawah pemerintahan Trump menghidupkan kembali bayang-bayang masa lalu ini. Dianggap sebagai upaya melindungi kekayaan intelektual nasional, kebijakan ini juga memunculkan kekhawatiran akan munculnya generasi baru “Qian Xuesen” yang dipaksa pulang dan kemudian membantu memperkuat posisi Tiongkok dalam persaingan global. Dengan sekitar 277.000 pelajar Tiongkok yang menempuh pendidikan di AS, potensi kehilangan bakat cemerlang dalam jumlah besar bukanlah risiko yang bisa dianggap remeh.

Kebijakan berbasis ketakutan dan stereotip sempit ini, jika tidak disertai pendekatan berbasis bukti dan tata kelola risiko yang cermat, bisa menjadi bumerang. Sebab ilmu pengetahuan di era globalisasi tidak mengenal batas negara secara mutlak. Kolaborasi internasional telah menjadi bagian penting dari ekosistem riset, dan sikap eksklusif hanya akan memperlemah daya saing sebuah bangsa dalam jangka panjang. Amerika, sebagai negara yang selama puluhan tahun menjadi pusat gravitasi ilmu pengetahuan dunia, seharusnya menjaga reputasi dan tradisi akademik terbukanya, bukan justru membatasi akses dan mempersempit ruang bagi pertukaran ilmiah.

Kisah Qian Xuesen adalah pelajaran abadi bahwa cara suatu bangsa memperlakukan ilmuwannya akan menentukan arah masa depannya. Ia adalah contoh bahwa satu orang dengan ilmu dan tekad bisa mengubah sejarah sebuah negara. Apa yang semula merupakan upaya pengucilan justru menjadi energi transformasi.

Dari titik balik ini, Tiongkok mulai merancang langkah-langkah besar yang kini membawanya menjadi kekuatan strategis dunia, dengan sistem peluncuran satelit sendiri, stasiun luar angkasa, misi ke Bulan dan Mars, serta sistem navigasi global BeiDou yang menjadi tandingan GPS milik AS.

Dalam terang sejarah ini, dunia seharusnya belajar bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari politik, tetapi juga tidak boleh dikorbankan oleh paranoia jangka pendek. Di tengah ketegangan antarnegara, menjaga ruang akademik yang terbuka dan adil bukan hanya soal etika, tetapi juga soal strategi nasional. Ketika ilmuwan diperlakukan sebagai ancaman, dan bukan sebagai aset global, maka sejarah menunjukkan bahwa negara itu sedang menabur benih kerugian strategis yang tak terelakkan.

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 Dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner