Jumat, 23 Mei 2025 13:30:44 WIB

Pakar Tiongkok: RUU Pemotongan Pajak akan Perburuk Krisis Utang AS, Meningkatkan Risiko Depresi Ekonomi, dan Hiperinflasi
Ekonomi

Eko Satrio Wibowo

banner

Wei Liang, Wakil Direktur Institut Makroekonomi dan Strategi di Institut Hubungan Internasional Modern Tiongkok (CMG)

Beijing, Radio Bharata Online - Disahkannya RUU pemotongan pajak akan semakin memperburuk krisis utang pemerintah federal AS dengan memperlebar defisit fiskal dan meningkatkan ketergantungan pada penerbitan utang, yang berpotensi mendorong negara tersebut lebih dekat ke ancaman ganda depresi ekonomi dan inflasi, kata para pakar.

Dewan Perwakilan Rakyat AS yang dikendalikan Partai Republik pada hari Kamis (22/5) dengan suara tipis meloloskan RUU pajak dan pengeluaran yang luas, meskipun ada peringatan sebelumnya dari kelompok anggaran bahwa undang-undang tersebut akan meningkatkan utang federal secara signifikan.

Langkah tersebut dilakukan setelah Moody's Ratings memangkas peringkat penerbit jangka panjang dan senior tanpa jaminan AS menjadi Aa1 dari Aaa dengan alasan meningkatnya utang pemerintah dan rasio pembayaran bunga.

Menurut data terbaru dari Departemen Keuangan AS, utang nasional AS telah melampaui 36,2 triliun dolar (sekitar 59 ribu triliun rupiah).

Analis menunjukkan bahwa Amerika Serikat menghadapi dilema struktural yang berakar pada melemahnya kredibilitas dolar AS dan krisis utang yang berkembang.

Defisit fiskal yang berkepanjangan telah mengganggu keseimbangan penawaran-permintaan obligasi Treasury. Pada saat yang sama, kesenjangan yang semakin besar antara aktivitas keuangan dan ekonomi riil telah semakin mempercepat erosi kepercayaan pada sistem keuangan AS.

"Amerika Serikat saat ini menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan hegemoni keuangannya, di antaranya status dan kredibilitas dolar AS menonjol sebagai masalah struktural yang tidak dapat diselesaikan. Mengapa demikian? Karena penerbitan dolar pada dasarnya didukung oleh obligasi Treasury AS. Saat ini, AS sedang bergulat dengan krisis fiskal yang parah, yang ditandai dengan tren jangka panjang di mana pasokan obligasi pemerintah secara signifikan melebihi permintaan. Ketidakseimbangan ini pasti mengarah pada peningkatan imbal hasil. Selama bertahun-tahun, pemerintah AS dan sektor keuangannya terus-menerus menguras kredit dolar, meskipun tingkat kerusakan ini masih sulit diukur," jelas Wei Liang, Wakil Direktur Institut Makroekonomi dan Strategi di Institut Hubungan Internasional Modern Tiongkok.

Cui Fan, Profesor di Universitas Bisnis dan Ekonomi Internasional, menambahkan bahwa Amerika Serikat menghadapi dilema dalam hal mengelola plafon utangnya.

"Dalam situasi saat ini, Amerika Serikat menghadapi dilema kritis atas utang nasionalnya. Di satu sisi, jika pagu utang tidak dinaikkan, negara tersebut berisiko terjerumus ke dalam depresi ekonomi, yang berpotensi memicu jurang utang. Di sisi lain, jika pagu utang dinaikkan, beban utang akan bertambah berat. Untuk mengatasinya, pemerintah mungkin akan mencetak lebih banyak uang untuk membeli obligasi, sebuah langkah yang dapat memicu hiperinflasi dan menyebabkan gagal bayar secara de facto. Dalam skenario seperti itu, risiko seputar obligasi Treasury AS akan semakin meningkat, membuat negara tersebut terjebak di antara dua ancaman depresi ekonomi dan inflasi. Faktanya, kedua ancaman tersebut ada secara bersamaan," papar Cui.

Komentar

Berita Lainnya

Krisis Ekonomi 1997 Kembali Bayangi Asia Ekonomi

Kamis, 6 Oktober 2022 13:29:54 WIB

banner