Kashgar, sebuah kota kuno di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, Tiongkok barat laut, hari ini muncul kembali ke panggung dunia bukan semata-mata sebagai peninggalan arkeologis, melainkan sebagai simbol transformasi modernitas yang menggabungkan konservasi, pariwisata, dan politik identitas.
Kota ini dahulu dikenal sebagai simpul penting Jalur Sutra yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tengah dan Asia Selatan. Posisi strategisnya menjadikan Kashgar pusat peradaban lintas budaya, agama, dan ekonomi. Namun seiring waktu, kota tua ini menghadapi tantangan serius dimana bangunan memburuk, risiko keselamatan meningkat, dan kebutuhan renovasi menjadi mendesak.
Pemerintah kemudian meluncurkan proyek revitalisasi besar yang telah selesai pada tahun 2016 dengan melibatkan penduduk lokal, menjanjikan konservasi sejarah sekaligus peningkatan kualitas hidup. Kini, wajah baru Kashgar terlihat jelas. Jalan-jalan tua yang semula rapuh berubah menjadi destinasi wisata modern dengan fasilitas lengkap, tanpa kehilangan sentuhan historis.
Cerita Maerdan, pemilik kafe yang memadukan artefak tradisional dengan sentuhan modern, menggambarkan bagaimana revitalisasi bukan hanya pembangunan fisik, melainkan juga kebangkitan ekonomi lokal. Kafe, studio foto, dan ruang kreatif tumbuh pesat, menghidupkan ekonomi berbasis pariwisata.
Sejak tahun 2019, tercatat ratusan studio foto dan ratusan fotografer perjalanan yang mendokumentasikan energi kota ini, bahkan menjadikannya profesi baru bagi anak muda setempat maupun pendatang.
Seorang fotografer dari Chongqing, Xiaohu, misalnya, menetap di Kashgar dan kini mampu memperoleh pesanan foto hingga belasan dalam sehari. Narasi-narasi kecil semacam ini membuktikan adanya dampak ekonomi langsung pada komunitas lokal, terutama generasi muda yang melihat peluang karier baru.
Dari perspektif ekonomi politik internasional, revitalisasi Kashgar selaras dengan logika pembangunan berbasis pariwisata dan ekonomi kreatif. Warisan budaya dijadikan komoditas untuk mendatangkan devisa, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan daya tarik kawasan. Keuntungan ini terlihat nyata dengan meningkatnya arus wisatawan domestik dan internasional, berkembangnya bisnis lokal, hingga munculnya profesi baru.
Namun pengalaman global menunjukkan bahwa model pembangunan semacam ini sering menimbulkan ketergantungan pada sektor wisata yang rapuh terhadap fluktuasi global, misalnya akibat pandemi atau ketegangan geopolitik. Bila tidak diimbangi diversifikasi ekonomi, masyarakat rentan terhadap guncangan eksternal yang bisa melumpuhkan ekosistem pariwisata.
Dari perspektif konstruktivis, revitalisasi Kashgar adalah proses penulisan ulang identitas. Arsitektur, jalan-jalan, bahkan kehidupan sehari-hari diproduksi ulang untuk menjadi panggung wisata yang ramah kamera. Pemerintah berusaha menghadirkan narasi sejarah yang indah, damai, dan harmonis, sehingga dapat diterima oleh publik domestik maupun internasional.
Namun, proses kurasi ini tidak netral karena ada seleksi, ada penyaringan, dan ada kemungkinan penyingkiran aspek-aspek sejarah atau budaya yang dianggap tidak sesuai dengan visi pembangunan nasional. Pariwisata dengan demikian menjadi instrumen untuk memperkuat citra negara, sekaligus mengontrol bagaimana identitas lokal dipresentasikan kepada dunia.
Jika dilihat melalui lensa realis, revitalisasi Kashgar tidak lepas dari dimensi keamanan nasional. Xinjiang adalah wilayah strategis, berbatasan langsung dengan Asia Tengah dan menjadi jalur penting bagi inisiatif Belt and Road (BRI). Pembangunan pariwisata di Kashgar bukan hanya untuk ekonomi, melainkan juga bagian dari strategi integrasi wilayah, kontrol sosial, dan stabilitas politik.
Dalam perspektif ini, pembangunan kota bukan sekadar soal estetika dan wisata, tetapi juga instrumen untuk memperkuat legitimasi negara dan memastikan loyalitas penduduk lokal. Berbagai laporan internasional bahkan menyoroti adanya relokasi penduduk dan risiko erosi budaya akibat proyek pembangunan yang massif, menimbulkan perdebatan antara narasi resmi pemerintah dengan kritik organisasi hak asasi manusia.
Geopolitik menambah lapisan makna lain pada transformasi Kashgar. Sebagai simpul BRI, kota ini diproyeksikan menjadi pintu gerbang menuju Asia Tengah. Revitalisasi kawasan kota tua memperlihatkan bagaimana Tiongkok berusaha membangun citra internasional melalui soft power berbasis budaya, sembari memperkuat jaringan konektivitas ekonomi lintas negara.
Kashgar tidak hanya dijual sebagai destinasi wisata, melainkan juga sebagai simbol keterbukaan Tiongkok terhadap dunia luar, bagian dari strategi diplomasi ekonomi yang berorientasi jangka panjang.
Namun, keberhasilan sebuah transformasi kota tidak bisa hanya diukur dari banyaknya turis atau indahnya arsitektur baru. Pertanyaan yang lebih penting adalah sejauh mana revitalisasi benar-benar meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal?
Apakah manfaat ekonomi terdistribusi merata, atau justru menimbulkan kesenjangan antara mereka yang terlibat dalam industri pariwisata dengan yang tersingkir dari pusaran modernisasi? Apakah identitas budaya Uighur tetap hidup secara otentik, atau sekadar dijadikan ornamen yang dipentaskan untuk wisatawan?
Pengalaman internasional dalam pembangunan pariwisata mengajarkan perlunya prinsip keberlanjutan bahwa partisipasi aktif masyarakat lokal dalam perencanaan, transparansi kebijakan relokasi dan kompensasi, serta perlindungan warisan budaya yang tidak direduksi hanya sebagai “atraksi”.
Diversifikasi ekonomi juga krusial agar penduduk tidak semata menggantungkan hidup pada wisata. Tanpa itu, proyek semegah apapun rentan berubah menjadi “etalase” yang indah tapi rapuh.
Kashgar hari ini memang tampak cemerlang, sebuah mutiara yang dipoles ulang agar bersinar di panggung global. Namun kilau itu harus diuji bukan hanya oleh jumlah wisatawan, melainkan juga oleh kualitas hidup masyarakatnya, kelestarian budaya yang otentik, dan ruang bagi komunitas lokal untuk terus mengekspresikan identitasnya.
Transformasi Kashgar adalah contoh nyata dari paradoks modernitas, yang mana terdapat peluang ekonomi dan keterhubungan global di satu sisi, serta risiko homogenisasi budaya dan kontrol politik di sisi lain. Oleh karena itu, Kashgar harus dilihat bukan hanya sebagai kota wisata, melainkan juga sebagai jendela untuk memahami bagaimana pembangunan, identitas, dan geopolitik saling berkelindan di era Tiongkok yang sedang bangkit.