Minggu, 22 Juni 2025 23:45:46 WIB

Perang Dagang AS-Tiongkok : Logam Tanah Jarang Jadi Senjata Strategis Tiongkok Taklukkan AS?
International

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Gambar : Unsur Logam Tanah Jarang

Rare Earth Element (REE) atau logam tanah jarang telah menjadi salah satu komoditas strategis paling penting dan diperebutkan di dunia saat ini. Di tengah gencarnya transisi energi global, akselerasi digitalisasi, dan perkembangan industri pertahanan berteknologi tinggi, REE kini dijuluki sebagai “harta karun baru”.

Meskipun tidak sepopuler minyak bumi dalam diskursus publik, peran REE dalam menopang teknologi modern baik sipil maupun militer tidak dapat dianggap remeh. Unsur-unsur seperti neodymium, praseodymium, dysprosium, dan terbium memiliki fungsi penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, ponsel pintar, magnet permanen, sistem radar, mesin sinar-X, hingga jet tempur F-35 dan drone militer seperti Predator.

Namun, di balik meningkatnya permintaan global terhadap REE, muncul tantangan struktural yang membuatnya menjadi sangat strategis dan sensitif secara geopolitik. Meski secara geologis cukup melimpah, unsur REE jarang ditemukan dalam bentuk endapan yang ekonomis untuk dieksploitasi.

Selain itu, banyak sumber REE yang mengandung unsur radioaktif, sehingga proses pengolahan dan pembuangannya memerlukan teknologi canggih, infrastruktur berstandar tinggi, dan biaya yang tidak sedikit. Proses ekstraksi dan pemurniannya sendiri sangat kompleks, dan hingga saat ini, belum ada kolaborasi global yang solid untuk mengembangkan teknologi pengelolaan REE secara terbuka dan inklusif.

Dominasi Tiongkok dalam rantai pasok REE dunia menegaskan dimensi geopolitik dari komoditas ini. Pada tahun 2017, saat Tiongkok memasok 98% kebutuhan tanah jarang Eropa, Uni Eropa (UE) membentuk Aliansi Bahan Baku Eropa untuk memulai diversifikasi. Lima tahun kemudian, Tiongkok masih menyediakan 90% tanah jarang di seluruh dunia. Namun, seiring dengan upaya untuk benar-benar mematahkan dominasi Tiongkok, Barat menyadari bahwa ini bukanlah tugas yang mudah. Lebih dari sekadar kekuatan ekonomi, dominasi ini telah menjadi alat politik yang sangat efektif.

Dalam kerangka teori realisme dalam hubungan internasional, negara dipandang sebagai aktor rasional yang berupaya memaksimalkan kepentingan nasionalnya melalui akumulasi kekuatan dan kontrol sumber daya strategis. Tiongkok menggunakan dominasi REE sebagai leverage geopolitik terhadap negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS).

Contoh paling konkret dari penggunaan REE sebagai senjata dagang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Trump. Ketika AS menaikkan tarif terhadap produk Tiongkok, Beijing merespons dengan kebijakan pembatasan ekspor terhadap tujuh jenis unsur REE berat yang sangat vital bagi industri teknologi dan pertahanan AS.

Langkah ini memunculkan efek domino yang serius. Mulai 4 April 2025, Tiongkok mewajibkan semua perusahaan yang hendak mengekspor REE untuk memperoleh lisensi ekspor khusus. Ini bukan hanya pembatasan administratif, tetapi merupakan sinyal tegas bahwa Tiongkok dapat mengendalikan aliran pasokan strategis global sesuai dengan kepentingannya.

AS yang selama ini sangat bergantung pada pasokan REE dari Tiongkok, menghadapi dilema besar. Berdasarkan data, ada sekitar 70% pasokan REE yang diimpor oleh AS antara tahun 2020 hingga 2023 berasal dari Tiongkok. Ketergantungan ini menempatkan AS dalam posisi sangat rentan, terutama karena unsur REE berat memainkan peran vital dalam teknologi militer tingkat tinggi, mulai dari sistem rudal Tomahawk hingga pesawat tempur generasi kelima.

Situasi ini mencerminkan bagaimana kepentingan pertahanan nasional dapat terganggu oleh kerentanan rantai pasok mineral kritis. Meskipun AS masih mengoperasikan tambang REE Mountain Pass di California, negara ini belum memiliki fasilitas pengolahan REE berat secara mandiri. Upaya diversifikasi pasokan, seperti mengeksplorasi cadangan di Ukraina dan Greenland, masih terkendala berbagai hambatan, mulai dari aspek geopolitik hingga ketidaksiapan teknologi.

Dalam paradigma liberalisme internasional, situasi semacam ini seharusnya mendorong kerja sama antarnegara untuk membangun sistem pasokan REE yang berkelanjutan dan saling menguntungkan. Namun, rivalitas politik dan ekonomi global justru menghambat terbentuknya kemitraan yang solid dalam pengelolaan REE. Alih-alih membentuk koalisi bersama, negara-negara besar justru bersaing ketat untuk mengamankan pasokan masing-masing dan memperkuat otonomi strategisnya.

Di tengah kompetisi global ini, Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk mengambil posisi strategis dalam rantai pasok REE dunia. Sebagai salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi cadangan REE dari mineral ikutan seperti monasit, yang ditemukan terutama di Pulau Bangka dan Belitung. Kawasan ini berada pada sabuk mineralisasi yang sama dengan Myanmar, Vietnam, dan Malaysia yang telah lebih dahulu mengeksplorasi dan memanfaatkan REE secara lebih agresif.

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan kesadaran terhadap pentingnya pengembangan REE, salah satunya dengan membentuk Konsorsium Logam Tanah Jarang (LTJ) dan memasukkan REE sebagai bagian dari prioritas hilirisasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045.

Namun demikian, program hilirisasi REE masih tertinggal dibandingkan dengan komoditas lain seperti nikel, tembaga, dan aluminium. Hal ini menunjukkan bahwa REE belum mendapat porsi kebijakan yang memadai, padahal prospeknya tidak kalah strategis, bahkan bisa menjadi pilar kemandirian industri nasional ke depan.

Tantangan utama dalam pengelolaan REE di Indonesia bukan pada eksplorasi semata, tetapi pada ketiadaan teknologi pengolahan yang memadai, belum adanya roadmap nasional yang komprehensif, serta belum terbentuknya pasar domestik yang mampu menyerap hasil hilirisasi.

Tanpa kehadiran offtaker industri dalam negeri, pengembangan REE hanya akan menjadi kegiatan hulu yang tak berdampak signifikan pada nilai tambah ekonomi. Di sisi lain, masih lemahnya ekosistem riset, belum adanya pusat unggulan teknologi REE, serta ketidaksiapan regulasi lingkungan juga menjadi penghambat serius.

Untuk mempercepat pengembangan REE nasional, diperlukan serangkaian langkah strategis yang bersifat lintas sektoral dan jangka panjang. Pemerintah perlu segera menyusun peta jalan pengembangan REE yang meliputi seluruh tahapan rantai nilai, dari eksplorasi hingga pemanfaatan industri. Pusat riset dan pengembangan teknologi REE harus dibentuk secara terintegrasi, melibatkan perguruan tinggi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan mitra internasional.

Regulasi investasi juga harus diperkuat agar lebih ramah terhadap pelaku industri dan memberikan kepastian hukum dalam jangka panjang. Lebih dari itu, diperlukan pendekatan kolaboratif berbasis kepercayaan dalam kerangka konstruktivisme hubungan internasional, agar Indonesia bisa menjalin aliansi teknologi dan dagang dengan negara-negara yang memiliki kepentingan serupa.

Dengan dukungan kebijakan yang konsisten, penguatan kelembagaan, dan sinergi antara sektor publik dan swasta, Indonesia memiliki peluang nyata untuk menjadi pemain utama dalam industri REE global. Tidak hanya sebagai pemasok bahan mentah, tetapi sebagai produsen bernilai tambah tinggi yang menopang kemandirian industri strategis nasional. Dalam lanskap geopolitik yang semakin kompleks, penguasaan atas REE bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga pertahanan, kedaulatan, dan keberlanjutan masa depan bangsa.

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 yang dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner
Giorgia Meloni International

Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

banner