Kamis, 12 September 2024 10:50:23 WIB

Penyebab Kelas Menengah RI Jatuh Miskin
Ekonomi

Endro

banner

Tangkapan Layar Kompas TV Malang

JAKARTA, Radio Bharata Online - Jumlah kelas menengah di Indonesia yang kian merosot, setidaknya disebabkan oleh 5 faktor. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, penyebab pertama adalah lemahnya industri manufaktur yang menjadi pilar utama ekonomi. Hampir sebagian besar kinerja manufaktur pada kuartal ke II tahun 2024 mengalami tekanan, terutama di sektor padat karya.

Anjloknya kinerja industri manufaktur di dalam negeri membuat banyak perusahaan di bidang ini melakukan efisiensi dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kedua, tingginya suku bunga perbankan yang mempengaruhi cicilan rumah, kendaraan bermotor dan kredit konsumsi lainnya. Saat ini, Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan BI Rate sebesar 6,25 persen.

Ketiga, booming harga komoditas sudah lewat, sehingga pekerja di sektor sawit, nikel dan batu bara tidak mengalami kenaikan pendapatan yang signifikan dibanding tahun 2021.

Keempat, kebijakan pajak pemerintah, khususnya penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen, dinilai ikut berkontribusi terhadap naiknya harga berbagai jenis barang di tingkat ritel.  Bhima menyebut, tren ini menunjukkan berkurangnya disposable income per kapita karena berbagai pungutan dan iuran, termasuk pajak yang semakin agresif menyasar kelas menengah.

Dan Kelima, belanja infrastruktur dan investasi yang kurang berkualitas, sehingga serapan tenaga kerjanya kecil dibanding nominal uang yang dikeluarkan.

Sementara itu Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Yorga Permana, menilai kurangnya lapangan kerja di sektor formal, menjadi penyebab menurunnya jumlah kelas menengah.

Ia mengatakan banyak pekerja di sektor formal yang beralih ke sektor informal, terutama pasca pandemi covid-19.  Bahkan banyak angkatan kerja baru yang langsung masuk ke sektor informal karena minimnya pekerjaan di sektor formal.

Padahal menurut Yorga, sektor informal cenderung “tidak layak”, karena tidak mendapatkan pendapatan yang tetap dan memadai, dan tidak memiliki jaminan sosial. (berbagai sumber)

Komentar

Berita Lainnya

Krisis Ekonomi 1997 Kembali Bayangi Asia Ekonomi

Kamis, 6 Oktober 2022 13:29:54 WIB

banner